MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

Trimester Ketiga, Sarat Makna

Trimester Ketiga, Sarat Makna
Add Comments
Senin, 27 Agustus 2018

PULANG KAMPUNG


11 Juni 2018...

Saya tatap lekat lekat segala sisi kamar kost. Bertahun tahun saya menghuni tempat ini, menorehkan banyak kenangan; suka dan lara di sini. Bahkan jejak Pace ada di beberapa sudutnya, di lantai depan TV, di pinggir kasur, duduk di meja belajar, menyeruput kopi mengepul sambil berdiskusi ringan di balkon sampai kucek kucek bilas bilas di tempat cucian yang ada tepat di belakang kamar. 

Pernah juga suatu malam saking nggak ada kerjaannya, kita menggelar tikar di balkon lalu kita tiduran di sana. Rencananya Pace tiduran lalu saya nemplok di bahunya kayak di Drama Korea. Ceritanya mau ngobrol ngobrol romance sambil liat bintang. Bukan bintang yang didapat, tapi nyamuk yang ngang nging dan hawa panas yang justru mengelilingi.

“Pace, kayaknya kita harus pindah aja ke kamar.”

“Itu ide yang brilian mace.”

Drama Koreanya gagal, saudara saudara.


Tak hanya itu, kami juga terkadang terjerebab dalam drama rumah tangga baru episode “Aku maunya ini kamu maunya itu terserah apa maumu.” Syukurlah ini tak pernah terjadi lebih dari 24 jam, apalagi tiga hari.

Tapi hari ini, detik ini juga saya harus mengucapkan ‘good bye’ tanpa ‘see you again’pada dinding itu, lemari dua pintu itu, tralis besi yang berkelok kelok merayap di jendela, juga pada pendingin ruangan yang berjasa mendinginkan kami berdua. Good bye juga berlaku pada seisi penghuni hari yang bertahun tahun saya lewati bersama; teman teman kost, teman teman guru di sekolah, teman teman di English course, warga Cibubur, pengendara ojek online langganan sampai seluruh staff Plasa Cibubur dan Mall Ciputra juga kepada jalanan Kasuari Raya, kelokan jalanan Pondok Rangon dan macetnya jalan alternatif Cibubur karena pengadaan proyek MRT. Goodbye pada jam kerja mulai jam 7 pagi sampai Maghrib dan pulang ke kost semata mata hanya untuk tidur saja.

“Workaholic” Sebutan dari teman teman saya.

Saya melirik ke bawah.

“Nah, ini dia alasannya.”

Perut yang makin membesar, berisikan cinderamata dunia hasil kerjasama penuh cinta dibalut doa bersama Pace.

Intisarinya adalah : Hari ini saya pulang kampung dan meninggalkan pekerjaan saya bersama seluruh aktivitas di Jakarta demi si buah hati yang mulai bertumbuh di bulan ke-tujuh.

“Wes siap Ke?” Ibu memberi aba aba untuk menutup pintu kamar kost dan memberikan lambaian terakhir.

“Dadaaaaah kost.”

Pagi itu, saya bersama Ibu plus tiga koper, dua tas dan tiga kardus; pelan tapi pasti; meninggalkan rumah kost bersama sopir Grabcar. Kami membelah jalanan Ibu kota menuju ke bandara Halimkusuma demi satu misi pasti ; pulang kampung!

Bersama Ibuk
Ini adalah awal trimester ketiga yang penuh liku liku; perjalanan berharga untuk saya dan juga Pace; kami berdua.


DIKEPUNG KEJENUHAN

Lebaran usai dan social media saya penuh dengan cerita teman teman saya yang kembali bergelut dengan pekerjaan mereka. Mereka bertemu dengan anak anak, mengajar dengan semangat penuh setelah hampir sebulan menghabiskan waktu bersama keluarga, berkumpul dan bersosialisasi dengan banyak orang. Tapi saya?

Dari matahari terbit sampai ealah terbit lagi saya hanya bergulat di dalam rumah. Tak ada lagi schedule rutin, target harian, rencana nonton dan hang out bersama teman kerja. Tak ada murid, teman kerja, layar besar berbayar, diskon lipstik matte sampai Roasted Milktea apalagi Spicy Ichiban Ramen. Biasanya saya tampil rapi dengan goresan lipstik matte dan ulasan make up minimalis. Tapi sekarang? Daster gombrong dengan tampilan seadanya karena toh juga nggak kemana mana.

Saya sering melamun. Tak terasa kufur nikmat menerpa; tidak sadar bahwa ada harta paling berharga tumbuh di rahim saya; tidak sadar bahwa ada sosok paling dekat sedunia walau berada jauh di mata yang tak henti hentinya berusaha dan berdoa untuk saya.

“Andai bisa, biar Pace aja yang ngerasain semua. Pedihmu itu, sakitmu itu. Biar Pace aja yang hamil. Biar kamu yang di sini. Bener Mace.” 

Pace ikut stress dan merasa bersalah karena gempuran keluhan terus saya lemparkan. Pace merasa bersalah karena tidak bisa ikut hadir menemani momen momen kehamilan; tak bisa menghibur dalam jangkauan lengan, memberi makan ( baca : memasak ), melihat bersama perkembangan anak dalam layar akibat pancaran tranducer dokter Robby, tak bisa merasakan tendangan dan sepak terjang si baby secara realtime.  Saya berada di desa kecil nan asri di salah satu sudut Semarang dan Pace sedang menimba ilmu di salah satu district penuh kangguru di Adelaide, Australia Selatan. Kami terpisah Samudera Hindia selama delapan bulan terhitung sejak awal Januari sampai September 2018 tanpa pernah bertatap muka secara realtime di antaranya. Tak disadari, saya terjebak dalam golongan orang yang kufur nikmat.

UJIAN SELANJUTNYA

Lika liku kehamilan tak berhenti sampai di situ. Dalam usia kandungan yang beranjak 35 minggu, buntelan cinta masih sungsang dan terus pewe di posisi itu.

"Bismillahirrahmanirrahim. Coba saya putar ya. Relaks ya..."

Saya terlentang pasrah sambil menutup mata dan mencoba tenang. Saya meletakkan tangan di atas kepala sembari membaca doa. Saya mengamalkan belly breathing atau bernafas dengan perut karena di pernafasan model ini saya merasa lebih tenang. Saya harus serileks mungkin karena kalau tegang justru otot perut juga akan tegang dan perut akan mengeras. Saya terus berdoa dan berkomunikasi dengan buntelan cinta dari hati ke hati sembari pak Dokter menekan nekan perut di bagian kepala dan pantat bayi sambil mencoba menggeser.

"Ayo sayang, mau diputar ya... Yang rileks ya...nanti kalau berhasil Ibu belikan es krim. Nang ning nung ning nang ning nungg..."

Dokter mencoba memutarnya dari luar beberapa kali dan hampir menyentuh panggul.
Tuing!!!! Buntelan cinta kembali ke posisi semula; sungsang. Kemudian dokter memprediksi bahwa tali pusatnya pendek dan menariknya ke posisi semula.

Keadaan itu terus berlanjut sampai minggu ke 37++. Ditambah lagi buntelan cinta ternyata juga mengalungi tali plasenta sebanyak satu kali. Walau pinggul saya besar tetapi kemungkinan untuk bisa melahirkan normal atau C-section adalah berbanding seimbang; 50 : 50. Allah Maha Tahu yang terbaik.

INTI SARI KEHIDUPAN

Tapi, apakah saya masih tetap menjadi golongan yang kufur nikmat? Apakah hanya karena ketidak berdayaan saya akan diskon lipstik matte, kekenyalan mie montok di Marugame Udon atau layar berbayar dengan segepuk popcorn rasa caramel dan gaji per bulan di level lumayan untuk bisa mengakomodasi itu semua saya terus terusan stress dan tidak ikhlas? Atau karena buntelan cinta sungsang maka seolah olah saya orang paling menderita sedunia?

Di trimester ketiga ini sungguh saya banyak belajar, teman. Saya banyak belajar dari orang orang di sekitar saya, dan yang paling mengena adalah belajar dari Pace. Pace adalah radio motivasi; tak henti hentinya mengumandangkan ajakan untuk terus sabar, ikhlas dan semangat.

Selalu bersyukur mace, Allah akan melipatgandakan orang orang yang mensyukuri nikmatnya.”

“ Sabar Mace, InshaAllah kita bisa melalui ini semua bersama.”

“Percaya bahwa ujian ini adalah tanda Allah sayang sama kita.”

Saya menjawab dengan penuh khidmat.

"Iya, Pace... Maafkan aku yang suka khilaf ya"

"Ya udah itu dilap dulu."

Waduh! Ternyata saya bercucuran air mata sampai ke leher leher.

"Lapin....."

Untunglah saya cepat sadar dan kembali ke jalan yang benar. Betapa saya kemudian sadar bahwa saya tidak menyadari betapa Allah begitu sayang kami berdua. Allah memberikan rejeki yang diidam idamkan oleh para pasangan seantero dunia; keturunan. Dibandingkan dengan apa yang telah dan sudah saya dapatkan di Jakarta, jelas rejeki ini tidak bisa dibandingkan. Kami kemudian sama sama belajar banyak hal melalui video tatap wajah jarak jauh setiap hari.

“Pace sayang sekali sama Mace dan dedek.” IWalau sebagian menganggap ini "ouch! too cheesy I can't handle it!" tapi ini adalah bahan bakar semangat saya yang langsung berkobar. Perhatian dan rasa sayang pace yang dikirimkan dari benua lain sana nyatanya tidak hilang ditelan jarak. Kalau Andika Kangen Band hanya peduli sebatas "Tadi malam dengan siapa berbuat apa", tapi Pace begitu mendetail bertanya tentang "Tadi makan sama apa, protein dan kalsium sudah terpenuhi belum, vitamin sudah dimakan belum." Sampai sampai Pace mengirimkan tabel Angka Kecukupan Gizi Ibu Hamil dan Tabel Komposisi Gizi Daging Ayam dan Daging Hewan Konsumsi Lainnya. Tiap malam Pace mereview dan menganalisa kecukupan protein makanan yang sudah saya makan. Saya mendadak kuliah Gizi.

Terlebih lagi ada keluarga yang terus ada, mendukung dan mendoakan. Kalau dulu di Jakarta tiap kali mau ke dokter kandungan hanya bertemankan pengendara ojek online. Berbanding terbalik dengan sekarang. Setiap Senin pagi pagi sekali kami membelah jalanan Ambarawa menembus Bawen dan berakhir di Salatiga; 25 kilometer dari rumah bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Bapak dan Ibu. Antrian yang mengular kami tunggu dengan penuh kesabaran sampai siang di RSIA Mutiara Bunda, Salatiga demi buntelan cinta yang diidam idamkan kelahirannya oleh seantero keluarga.

Justru di rumah gizi makin tercukupi dan sayur buah buahan melimpah ruah plus segar segar. Makan sehat bukan lagi idaman karena Ibu selalu memasak sayuran dan menyediakan banyak buah buahan. Kalau dipikir pikir pun makin ke sini makin enak karena bisa istirahat di rumah, jalan pagi berselimut udara sejuk to the max dan situasi sekitar yang teramat alami. Ah, benar kata Pace. Hidup harus selalu disyukuri.

SABAR, IKHLAS DAN SELALU BERSYUKUR

“Aku ikhlas jalan apapun yang dedek pilih untuk lahir nanti, yang penting anak kita dan aku selamat dan sehat ya Pace...”

Saya yang bersikukuh untuk bisa melahirkan normal juga pada akhirnya tidak terlalu termakan ambisi dan mencoba ikhlas dengan pilihan melahirkan yang terbaik nanti. Apa yang saya pikirkan sekarang adalah keselamatan dan kesehatan dedek dan juga saya. Melihatnya tangan dan kakinya menggeliat, melihatnya lahir dengan sehat dan lengkap adalah keinginan terbesar saya, teman. Tak ada lagi keinginan lain saat ini. Hanya itu saja.

Cobaan dan ujian membuat saya menjadi semakin dewasa dan kuat. Sungguh, saya manusia yang penuh dengan khilaf dan rentan mengeluh. Tapi, bukankah hidup adalah ladang belajar, beramal dan mengambil pelajaran hidup di tiap tiap kejadian? Kami berdua sedang sama sama belajar untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik. InshaAllah. Mimpi kami bisa menjadi Ayah dan Ibu terbaik untuk buntelan cinta.

Mimpi kami masih berkerlip di tempat semula.

Nanti, kami bertiga akan berkumpul bersama dan meniti masa depan gegap gempita. Nanti, ada saatnya kami bisa hidup dikelilingi berkah di bawah atap yang sama, menatap dinding yang sama dan bertatap muka di jangkauan lengan saja. Nanti, kami akan main kuda kudaan dengan buntelan cinta bertengger di punggung Ayahnya dan Ibu juga ikutan naik biar seru macam di sinetron keluarga Cemara. Nanti, semua ada saatnya. Benar kata peribahasa,

“Berakit rakit dahulu, berenang renang ke tepian.”

Yakin saja bahwa Allah memberikan ujian pada orang orang yang beriman. Dan Dia tidak akan menguji manusia melebihi kemampuan manusia itu sendiri. Apa yang menjadi ujian kami jelas masih dalam kapasitas kami untuk bisa lulus dan naik kelas.

Menjalani hidup bersama Pace dengan mengantongi buntelan cinta selama sembilan ini benar benar mengubah hidup saya. Kebaikan Pace benar benar menjadi semangat andalan untuk bisa terus berjuang.

Doakan kami untuk selalu istiqomah membangun rumah tangga berkiblat sakinnah mawaddah warrahmah ya, Teman. Kami meminta doa supaya buntelan cinta bisa lahir ke dunia dengan penuh cinta dan harapan, sehat dan tidak ada kekurangan suatu apapun.

Dan untuk teman teman yang masih berusaha, teruslah berusaha. Yakinlah Allah pasti akan memberikan karunia keturunan di saat yang tepat, dengan cara yang tepat. Dan untuk teman teman yang sedang menanti kelahiran buntelan cinta macam saya, semangat selalu.

Ikhlas, sabar dan selalu bersyukur. InshaAllah.


Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. Posting curhatan mommy sm calon debay nih wkwkkk... Sabar mom, hidup emang harus ada cobaan, kalo gak gitu bakal garing. Nikmati, jalani, syukuri

    BalasHapus
  2. Semoga nanti dedek bayi bisa lahir selamat dan ga kurang apapun ya mba. Gitu juga dengan ibunya :). Salut dgn semua pasangan yg bisa bertahan LDR begini. Butuh kesabaran dan kepercayaan sangat kuat :). Krn aku pernah gagal akibat LDR, makanya sedikit trauma . Syukurnya dgn yg skr, ga mengalami itu lg.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ammin Ya Rabb makasih banyak mbak Fanny...Iya, harus extra sabar dan percaya ya...semoga kita semua bisa langgeng ya Mbak..saling mendoakan :)

      Hapus
  3. ma syaa Allah
    semoga dimudahkan persalinannya y mba
    segera ngumpul lagi mb
    saya pun merasakan ldm sejak 2016 sampai sekarang
    semoga segera berakhir ldm ini huhu
    semangat selalu y mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa Aamiin Ya Rabb makasih mbak Miyosi. Waaah, ternyata ada yang lebih lama dari saya ya mbak...semoga kita bisa cepat berkumpul dengan pasangan kita ya mbak..Semangattt!!

      Hapus
  4. Alhamdulillah Kak Mutiah, Aamiin Ya Rabb terimakasih yaaa

    BalasHapus
  5. Sabar ya sist, LDR bisa makin menguatkan kok.
    Alhamdulillah lho masih bisa berkomunikasi meski jarak jauh Meyk, aku doakan lancar2 ya semuanyaaa

    BalasHapus