MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

Penyebab Matrescence dan Cara Menghadapinya, Ibu Muda Wajib Tahu!

Penyebab Matrescence dan Cara Menghadapinya, Ibu Muda Wajib Tahu!
Add Comments
Rabu, 27 Maret 2019


“Kok diameter perutku sekarang berlipat lipat ukurannya daripada dulu ya?”

“Duh kenapa sekarang kalau lari kayak banyak yang ikut mantul mantul begini ya?”

“Sanggup nggak ya jadi Ibu yang baik buat Julio?”

“Bisa nggak ya aku jadi istri yang baik buat Ayah Julio? Masak aja belum katam, sering marah marah walau kadang ditahan, kurang qana’ah lagi.”

“Duh, bosen kali nih kerjaannya Cuma ngasuh anak tiap hari. Bahkan udah hampir setahun aku nggak ke salon."

“Kesepian kali aku nih.”

Itu adalah beberapa contoh pikiran pikiran saya begitu menyandang status Ibu baru, dulu. Banyak perubahan dalam hidup saya; perubahan fisik yang tak terhindarkan, perubahan hormon yang mengakibatkan mood swing, perubahan tanggung jawab, perubahan rutinitas, perubahan pola pikir, ahh semuanya pokoknya berubah. Memang, sejak menjadi Ibu hidup saya berubah total.


Dari wanita karier yang mengajar dari jam 7 pagi sampai 8 malam menjadi Ibu Rumah Tangga. Dari yang tinggal di kota besar dengan fasilitas serba ada dan hiburan serba di depan mata jadi tinggal di desa kecil yang bahkan mau ke mall aja harus 2 jam perjalanan dari rumah. Dari yang punya banyak teman dan tempat hang out jadi Cuma di rumah, sama anak dan keluarga aja. Dari yang mengerjakan banyak hal jadi ‘Cuma’ mengasuh anak aja. Dari yang bisa cari uang sendiri jadi mengandalkan suami saja.Dari yang punya kehendak bebas jadi punya pergerakan yang terbatas. Dari yang Cuma mikirin hidup sendiri saja jadi mikirin bagaimana anak bisa hidup dengan bahagia dan layak sampai bertahun tahun ke depan. Dan dari tubuh yang langsing dengan perut rata jadi tubuh yang tiba tiba menggembung di beberapa bagian khususnya perut yang kayak hamil empat bulan. Dari 48 kilo jadi 58 kilo, itu pun susah turunnya.

“Saat menjadi seorang Ibu, terjadi banyak perubahan di dalam hidupnya. Wanita tersebut membutuhkan suatu masa transisi untuk beradaptasi dengan perubahan itu dan identitas barunya. Masa transisi itu disebut dengan Matrescence.”

That’s exactly what I feel! Saya langsung manggut manggut begitu membaca materi Bu Anissa Rezy L,M.Psi.Psikolog saat menghadiri sebuah Kulwap beberapa waktu lalu. Banyak kali pikiran yang berkecamuk dalam benak saya. Takut bila berlama lama mengubangkan diri di kondisi yang sedemikian rupa akan mengubah saya menjadi pribadi yang kufur nikmat, bahkan bisa berlanjut menjadi postpartum depression, saya jadi aktif follow akun akun instagram yang membahas tentang motherhood dan parenting.

Apalagi di saat saat ‘genting’ macam ini saya harus berjauhan dengan supporting system nomero uno saya, suami. Yes, saya dan suami sedang menjalani LDM karena suami harus merajut mimpi di benua seberang demi masa depan kami yang gemilang, InshaAllah.

Dan ternyata saya nggak sendiri. Banyak ibu ibu baru/ibu yang sudah punya anak beberapa pun ikut menghadiri kulwap itu demi “menyelamatkan diri”, demi aware tentang apa yang sedang dilalui. Karena dengan begitu, kita jadi tahu apa yang harus kita lakukan ke depannya. Ada beberapa penyebab/perubahan yang harus kita hadapi begitu menjadi Ibu baru.

PERUBAHAN APA SAJA YANG TERJADI?

1.PERUBAHAN FISIK

Sumber : marketupdate.in

Selama kehamilan, jumlah hormon progesteron dan estrogen meningkat. Kedua hormon ini memegang peranan penting dalam membantu janin tumbuh dan berkembang. Saat melahirkan, jumlah hormon tersebut menurun secara drastis dan menyebabkan ketidakseimbangan hormon. Akibatnya, kita sering dilanda mood swing, kelelahan dan kerap susah tidur.

Kadar hormon oksitosin kita juga meningkat. Hormon ini membuat Ibu menjadi lebih waspada dengan kebutuhan anak. Di sisi lain, hormon ini juga meningkatkan kadar kecemasan kita sebagai Ibu. Selain perubahan hormon, juga perubahan bentuk fisik seperti payudara, rahim dan vagina yang kadang membuat Ibu tidak nyaman.

Itu juga yang saya rasakan. Kadang tiba tiba bahagia tiada tara, besoknya sedih macam dunia mau runtuh saja (kadang tanpa alasan yang jelas). Kadang juga pingin marah marah mulu. Kadang sampai sebal bukan kepayang dengan suami. Padahal dianya nggak kenapa napa, wong ketemu aja enggak. Haha

2.  PERUBAHAN DINAMIKA KELUARGA

moneycompass.com

Seperti yang dilansir dari kulwap kemarin, memiliki anak berarti membentuk keluarga baru dengan dinamika keluarga yang baru. Terbuka kemungkinan baru apakah keluarga menjadi lebih intim dan memiliki hubungan yang lebih dekat, atau justru menambah beban stress pada keluarga.

Selain itu, Ibu (dan juga ayah) Akan mengalami kembali (re-experience) masa kecilnya. Ibu akan berusaha meniru dan mengulang cara mengasuh yang dinilai baik, dan berusaha untuk tidak mengulangi serta berusaha meningkatkan pola pengasukan yang kurang tepat. Terkadang proses re-experience ini dapat membangkitkan luka luka lama yang terpendam/innerchild.

So true, saya juga mengalami dinamika keluarga plus recalling memory saat saya kecil dulu. Karena kami menjalani LDM sejak saya belum mengandung, sampai akhirnya mengandung dan kini menjadi Ibu, ada perubahan dinamika komunikasi di antara kita. Contoh, dulu belum tentu video call setiap hari dan malah kadang rentan berantem kalau terlalu banyak berkomunikasi karena kadang jadi ngomong yang nggak penting dan ujung ujungnya memanas. Hahaha. Kini, Pace selalu berusaha untuk video call tiap hari dan kebanyakan percakapan mengusung tema anak.

“Gimana Julio hari ini?”

“Dia udah bisa apa, mace?”

“Rewel nggak? Nenennya oke? Mpupnya lancar?”

“Gimana hidup mace di sana? Sudah bersyukur hari ini?”

 and so on.. Kami jadi jarang berantem dan bisa mulai selow menghadapi satu sama lain. Tapi tiap keluarga pasti punya persoalan masing masing  pasca memiliki anak. Masalah pasti ada, solusi bicarakan bersama. (Ceileh, sok bijaksana. Hahaha)

3. AMBIVALENCE

goodtheraphy.org

Adanya perasaan tarik menarik antara ingin selalu dekat dengan anak, namun juga memiliki keinginan untuk memiliki ruang untuk diri sendiri. Hal ini sebenarnya wajar terjadi, tapi seringkali Ibu merasa bersalah ketika memiliki perasaan tersebut atau merasa menjadi Ibu yang tidak baik.

Macam saya ini, kalau anak nggak tidur tidur kok rasa rasanya pingin dia segera tidur biar bisa selonjoran sambil minum kopi dan baca buku atau ngeblog. Tapi kalau anak tidur melulu kok jadi cemas, takut dia sakit, takut kenapa napa dan kangen kali pingin ngajak main sambil peluk pelukan. Ribet kali perasaan Ibu satu ini, entah maunya apa. Hahaha. Untungnya saya tidak tinggal sendiri , melainkan tinggal di rumah orang tua dan banyak tangan yang siap membantu untuk mengasuh Julio.

Dan bagi teman yang mengasuh anak sendiri saja (berdua dengan suami), adalah Ibu Ibu tangguh yang harus banget diapresiasi. Saya percaya kalian bisa melaluinya, selama suami bisa diajak berkolaborasi membangun tim yang solid dan kompak. Saya memang suka amazed dengan teman teman yang ikut merantau bersama suami dan harus mengurus si kecil sendiri. Tapi yakinlah, usaha tidak akan mengkhianati hasil seperti teman mengkhianati teman yang nggak ngaku berteman (halah, opo iki). Tetap semangat, tetap berusaha dan be a happy mother as always!

4. FANTASI VS REALITA


Saat hamil, wanita cenderung membentuk fantasi mengenai bayinya. Fantasi ini terbentuk dari observasi pengalaman para wanita di sekitarnya, termasuk keluarga dan teman. Fantasi yang muncul bisa berupa jenis kelamin, ciri fisik (warna kulit, bentuk wajah, berat badan),hingga temperamen anak (mudah ditenangkan, murah senyum, jarang menangis). Termasuk fantasi seorang Ibu ideal.
Namun terkadang fantasi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan membuat Ibu kecewa.

Dulu, pertama kali saya hamil saya menginginkan anak perempuan. Bisa dikasih bando, rambut dikucir tiga, pake rok tutu aduh manis sekali. Walau Pace tiap kali ditanya jawabnya, apa saja sedikasihnya Alloh, saya tahu kalau dia juga pingin anak perempuan. Alhamdulillah, anak kami laki laki dan sehat wal-afiat tiada kekurangan suatu apapun. Afterall, itulah yang terpenting. Manusia boleh berencana, tetapi Allah sebaik baiknya penentu nasib umat-Nya.

5. PERASAAN BERSALAH DAN MALU

Sumber: neafamily.com

Adanya standar tentang ‘ibu ideal’ atau ‘ibu sempurna’ , yaitu seorang Ibu harus menjadi Ibu yang ceria, bahagia, selalu mementingkan anak, hanya sedikit memiliki kepentingan pribadi, tidak pernah menyesali keputusan yang dibuat, serta selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk anak.  Keinginan untuk menjadi sempurna sering mengakibatkan munculnya perasaan bersalah dan malu.

Perasaan bersalah biasanya muncul akibat Ibu harus memilih antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan anak. Misalnya Ibu pekerja merasa bersalah karena harus meninggalkan anak. Malu biasanya muncul akibat adanya perasaan ada suatu yang ‘salah dengan saya’. Perasaan ini muncul akibat membandingkan dirinya dengan standar ‘ibu ideal’.

Perasaan bersalah dan malu ini jarang dibicarakan Ibu karena adanya ketakutan dihakimi oleh orang sekitar. Akan tetapi jika tidak dibicarakan, perasaan tersebut dapat memicu gangguan lain, misalnya postpartum depression.

Pernah baca belum tentang ceritanya salah satu driver online yang resign dari perusahaan tempat dia kerja dulu karena ingin mengurus istrinya yang punya gangguan mental setelah melahirkan? Jadi si istri ini harus melahirkan secara caesarian karena sudah kontraksi terus menerus tetapi tidak ada pembukaan. Begitu melahirkan, bukannya kata kata supporting yang dikeluarkan, tetapi malah jugdment macam, “Kok caesar sih, malas ngeden ya?”, “Kan ngabisin uang banyak jadinya...”, “Wanita itu benar benar jadi Ibu kalau melahirkannya secara normal” dan kalimat nyinyir lainnya. Dan itu dikatakan oleh mertua dan orang orang terdekatnya.

Lalu, apa yang terjadi? Karena dihantam kalimat kalimat negatif setiap hari saat si mertua mengurus anaknya di rumah, si Ibu ini pernah suatu malam anaknya menangis dan tidak mau diam, dia malah membanting anaknya di kasur. Pak sopir alias suaminya jelas marah marah dan mendiamkan dia selama beberapa hari. Sejak saat itu, si Ibu juga tidak mau menyusui. Beberapa hari berikutnya, si Ibu tiba tiba mencelupkan dirinya di bak mandi, tengah malam! Jelas suami makin menjadi jadi marahnya dan meneriaki dia orang gila. Makin hari, makin menjadi jadi. Sering melamun dan tiba tiba menangis. Setelah berkonsultasi, ternyata istrinya terkena postpartum depression akibat nyinyiran orang sekitar yang mengakibatkan perasaan malu, merasa bersalah, capek, dan perasaan negatif lainnya. Solusinya, terapi di rumah sakit jiwa. Betapa kata kata itu bisa membangun dan menghancurkan seseorang, bukan?

Saya juga caesarian. Tanpa bermaksud membandingkan, baik suami dan keluarga saya mendukung penuh metode ini bila memang ini yang terbaik. Setelah operasi sesar sambil menahan perih yang menjalar, tidak ada satu pun kalimat judmental dari siapapun.

Owalah caesar ya? Ya udah nggak papa, yang penting Ibu dan anak selamat dan sehat ya..”

“Owh sesar ya? Nggak papa, walau pun mahal, uang bisa dicari lagi...InshaAllah rejeki lancar ke depan..”

“Nggak papa Mace, sesar nggak masalah... aku tetap mencintaimu.” (kalimat dukungan paling manjur, Hahaha)

Alhamdulillah, walau tetap ada perasaan merasa bersalah macam,

“Yaelah Mey, pake sesar segala. Temen temenmu aja melahirkan tinggal ngeden di bidan, beres. Lemah amat jadi Ibu Ibu ngana ya..”

Tapi dengan dukungan moril dari suami, keluarga dan teman teman, saya bisaa melaluinya.

Sebagai manusia yang berakal, kita pasti tidak mau menikmati segala keperihan hidup paska melahirkan dong ya? Jadi, kita butuh strategi nih bu Ibu. Masih menurut Bu Anissa Resi, ada empat cara untuk melalui matrescence!

Empat Cara untuk melalui Matrescence :

1.SELF CARE

-Buatlah daftar aktivitas yang membuat Ibu senang (misalnya me-time pergi ke salon, atau minum kopi sambil baca buku, ngeblog macam saya, nonton drama Korea; apa saja yang bikin kita happy)

-Jangan ragu untuk meminta bantuan orang lain (curhat ke suami atau teman, atau bahkan tenaga profesional bila dirasa perlu. Kita sendiri yang tahu persisi tentang diri kita, bukan?”

-Selfcare isn’t selfish! Justru ini penting karena dengan diri sendiri yang terurus kita juga bisa fokus mengurus anak. )

-Be patient with yourself until you can find your ‘new normal’. Sabaaaaar dulu karena terbiasan akan lingkungan dan perubahan baru dalam hidup itu butuh proses. Nikmati prosesnya karena itu yang menjadikan kita lebih kuat.

-Ubat mindset kita untuk menjadi ‘perfect mom’ (Semakin cepat kita menerima bahwa kita bukanlah ibu yang sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Allah, semakin cepat pula kita akan menerima kenyataan bahwa anak kita juga tidak sempurna.)

-Cobalah menjadi Ibu yang penuh kasih sayang dan otentik, daripada berusaha untuk menjadi ‘Ibu yang sempurna’

-Buatlah skala prioritas aktivitas yang akan dilakukan ( Kalau saya, saya bikin bullet jurnal mulai dari montly log, weekly log sampai rapid logging; berisi perencanaan kegiatan dari rencana bulanan, mingguan sampai harian. Semua yang ingin saya lakukan saya tulis di situ. Semua ini berawal dari blog teman saya. Boleh banget mengunjungi Ewafebri’s Blog untuk tahu semuanya tentang Bullet Journal. And it works! Hidup saya yang semula kayak ‘Cuma’ ngemong anak, sekarang berasa punya banyak kegiatan yang bikin saya lebih bahagia)

-Good enough mom is enough.

-Turunkan standardmu. Saat Ibu memiliki standard tinggi tentang pencapaiannya dalam satu hari, akan besar kemungkinan Ibu merasa kecewa lalu melampiaskan rasa marah kepada diri sendiri, bahkan anak.

-Cobalah mentoleransi diri bahwa kita tidak bisa melakukan semuanya. We are a human, afterall.

2. TERKONEKSI KEMBALI DENGAN PASANGAN


Saat memiliki anak, seringkali hubungan antar pasangan terlupakan. Padahal dukungan pasangan adalah faktor protektif terpenting bagi ibu dalam menjalani matrescence. Jadi tetap menjaga agar api asmara tetap berkobar.

Tetap berusaha menjaga intimasi dengan berpelukan, melakukan pillow talk dengan topik pembicaraan selain anak, bahkan melakukan kencan dengan pasangan. Nah, di sini saya merasa sedih. Karena boro boro meluk, nyentuh aja nggak sanggup. Huhu.

Perlu diingat bahwa Ibu dan pasangana dalah satu team dan memerlukan kerjasama. Cobalah saling mengkomunikasikan bagaimana kita dibesarkan; gaya pendisiplinan, value dalam keluarga, budaya, bagaimana afeksi dan argumen disampaikan, dsb. Melalui komunikasi itu, kita akan lebih mengenal diri pasangan masing masing dan mulai mendiskusikan cara apa yang akan digunakan untuk menjalankan rumah tangga ini.

Nah, bagi LDM macam saya ini, bagi saya, kata kata puitis bak pujangga betapa sangat berharga (sebagai pengganti skinship). Saya akan merasa bahagia tiap kali Pace WA,

“Mace,I love you to the outermost galaxy and back.”
“Mace, Pace nih sayang sekali sama Mace. Mace yang sabar ya...”
“Pace sayang Mace dan Julio. Semoga ke depannya lebih baik ya..” 

Dan segudang kalimat pengungkapan cinta lainnya. It sounds cheesy and cliche in one way. Tapi bagi kami (saya khususnya), penyataan semacam itu menjaga api api cinta terus membara. Hahaha...

Bagaimanapun, dukungan suami di saat matresencence begini adalah dukungan yang paling diperlukan dan paling manjur, termasuk dukungan untuk terus melakukan hobi kita selain terus fokus mengurus anak. And I thank to my husband for always supporting me in blogging and learning English! It means a lot for me.

3.MARI BERINTERAKSI SOSIAL

-Carilah keluarga atau teman yang menurut kita dapat memberikan dukungan positif pada kita.

-Pahami bahwa pelaku mom-shaming sebenarnya merasa tertekan dan kurang percaya diri dengan pilihan yang ia ambil. Mereka butuh untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ia adalah Ibu yang baik, walau dengan cara yang salah yaitu merendahkan Ibu lain. Jadi, kalau ada yang nyinyirin kita di hadapan kita, katakan saja dalam hati, “Kasihan kali dikau, Bu. Sering merasa rendah ya jadi cenderung merendahkan orang lain. Santai Bu, aku tidak akan terpancing. Hidupku sudah indah, tak peduli kau berkata apa, dududududu...”

4. BATASI INFORMASI

Di era digital ini, segala informasi ada di genggaman. Akan tetapi jika tidak dikelola dengan baik, hal tersebut justru akan mengakibatkan ‘tsunami informasi’. Duh serem ya, Bu. Ibu akan merasa kebingungan dan kewalahan dengan info info tersebut. Apa akibatnya? Ibu merasa tertekan, tidak kompeten, dan kewalahan dengan seluruh informasi tersebut.

Jadi, kita harus pintar pintar menyaring informasi yang ada. Jangan dikit dikit percaya dan diresapi, lalu ada info baru juga langsung dipercaya. Pusing nanti kitanyaaa....

Well, hidup kita ini dihadapkan dengan banyak fase, matrescence salah satunya. Ini adalah kodrat kita sebagai seorang Ibu. Yang paling penting adalah bagaimana kita berperan dengan sebaik baiknya versi kita dan menjadi Ibu yang bahagia. Karena Ibu yang bahagia akan melahirkan anak yang bahagia. Dan Ibu bahagia pasti didukung penuh oleh suaminya. Maka, yuk berbahagia bersama dan menjadi keluarga sakinnah, mawaddah, warrahmah...Aamiin Ya Robbal Alamiin... Semangat ya bu ibuuu...

"A good enough mother is less about aiming for a low bar and more about accepting the fact; You can only do your best - Alexandra Sacks"



Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. aku pernah ngalamin fase ini , dan lumayan lama.tp skr sih alhamdulillah udh ga ngerasa depresi ato bad mood ga berkesudahan. Salah satu cara yg aku lakuin, itu komunikasi dgn pasangan mba. aku curhat ama suami, kalo aku stress, pusing menghadapi anak2 yg masih bayi (waktu itu), trus ditambah hobi travelingku jd terhalang. kalo dulu tiap tahun bisa 2-3 kali jalan ama suami, pas hamil kedua aku sampe 2 thn ga kemana2. disitu rasanya udh mau gila.

    tp akhirnya suami ngerti. dia tau aku hobi trveling, dan itu udh kayak candu. akhirnya kita bikin kesepakatan, aku boleh ttp trveling walo dibatasi. dalam setahun 1x dengan sahabat, 1x hanya berdua suami, dan 1x dengan keluarga komplit. dan aku setuju. sejkak itu, yg aku rasain beda. aku ga lagi ngerasa tertekan, sedih, marah2. karena inget ada hobi yg aku tunggu di depan. itu malah bikin aku ttp fokus jadinya handle masalah kantor, anak2 dan suami :D.

    jadi bener sih, komunikasi ama pasangan itu udh paling bener banget utk mengatasi fase matrescence ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah pengalaman yg berharga dan bikin mental kita makin kuat ya mbak begitu mengalami dan bisa mengatasinya.
      Alhamdulillah suami makin ngerti dan kerennya ngasih ijin traveling bareng Sahabat, berdua saja dan family traveling. Samaaa banget sya jga suka traveling, suami pun. Tapi sayang, kami sedang berjauhan jdi nggak mungkin bisa traveling sendiri an atau pun barengan.
      Semoga ke depannya bisa ya mbak, family traveling itu udah jadi cita cita saya hihi
      Semangatttt ya mbak, komunikasi dengan pasangan adalah koentji!

      Hapus
  2. bagus sekali bu ini artikel nya,nanti mau saya bagikan ke istri saya...

    BalasHapus
  3. Saya baru tahu nih, sama istilah matrescence. haha. Saya bukan target pembaca kali ya? Saya belum nikah, belum pernah hamil, mbak :D
    Tapi lumayanlah buat pengetahuan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba bisa untuk memperkaya wawasan dlu hihi

      Hapus
  4. Wah baru tahu ada istilahnya juga... tapi poin poinya 'ngena banget' mba, nice artikel.... terima kasih untuk sharing kecenya, semoga dengan semakin tahu dan paham, kita bisa menerima setiap keadaan dengan lapang dada dan bahagia ya... 😊

    BalasHapus
  5. Memang perlu dukungan dr lingkungan terdekat bagi ibu pasca melahirkan. Perubahan yang besar dlm hidup seorang ibu bisa merubah perilakunya. Yg paling oenting komunikasi dengan suami yang efektif. Jgn menyalahkan atau menekan istri

    BalasHapus
  6. Saya juga cesarian ;)
    Habis lahiran dlu ujiannya banyakkkk banget :) Tapi masya Allah, itu memang yg terbaik bagi saya. Alhamdulillah, anak tumbuh sehat, ceria & imajinasinya tinggi.
    Jadi tak ada masalah dengan normal/cesar, ASI/bukan, jangan pernah menjudge orang lain.
    yg penting kita sudah berusaha menjadi ibu terbaik utk buah hati kita ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali mbak Hastin.. Yg pnting kita bahagia anak bahagia semua bahagia

      Hapus
  7. Sepakat... Seorang ibu harus bahagia, karena ia akan menularkan rasa itu kepada anak, pasangan dan orang di sekitarnya. Jika keluhan ini muncul..sikap terbaik adalah melawannya dan memperbanyak rasa syukur. Menjadi seorang ibu adalah anugerah luar biasa dari sang Pencipta. Semangat para ibu💪💪

    BalasHapus
  8. Perubahan fisik sih ya mba yang paling kentara ketika kita jadi ibu baru, selain itu memang ada perdebatan batin ketika pengen me time tapi gak pengen juga jauh2 dari anak

    BalasHapus
  9. Keren sharingnya. Makasiy mba

    BalasHapus
  10. Menjadi ibu memang tidak mudah y mba
    Semoga bisa jadi ibu yg baik

    BalasHapus
  11. Wajar sih setiap ibu muda terjadi peralihan peran. Dan yamg secara bathin belum siap memang kudu adaptasi. Tapi pelan dan lama2 bisa kok menjalani peran sebagai istri, ibu dan juga diri pribadi. Nikmati dan jalani, pasti ada kepuasan tersendiri bila melihat kluarga jd bahagia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, yg penting sabar dan terus belajar juga berjuang. InshaAllah semua indah pada waktunya

      Hapus
  12. Yaaah, jangankan ibu baru Mbak. Saya aja yg udah hampir punya 3 anak ini masih sering merasa takut, cemas, dsb nya. Apalagi ini jarak anak lumayan rapat, huhuhuh. Takut malah setelah lahiran nanti jadi depresi, hiksss. Anyway thanks sharingnya ya Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama sama mbak Diah, semangaaaattt! Keren kali udah punya 3 anak mbak, aku berapa ya hehehe

      Hapus
  13. semangat mbak, aku pun kini LDM kudu jadi mamak-mamak setrong dengan 2 anak. Aku pun dulu mengalami hal-hal yang mbak meykke tulis, sampai skarang aja fisik di perut offside belum balik ke datar lagi ini...suka dibilang..gi isi lagi ya? ya iyalah, isi nasi ama singkong hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha bisa aja mbak Novya.. Wah ibu superb nih, semangat terus ya mbakkk suhu hihi

      Hapus
  14. Betul sekali ini mba, Support dari pasangan sangat dibutuhkan serta berpikiran positif juga. Makasih ya mb .

    BalasHapus
  15. Masa transisi memang penuh adatasi ...mencari lingkungan yang positif itu kuncinya ya.. Tfs...mantab ulasannya

    BalasHapus
  16. Ya ampuuun, baca ini kok makjleb banget ya mba. Bacanya pun sambil ngangguk-ngangguk gitu, dalam hati ini mah gue banget. But, aku sekarang sedang belajar untuk berdamai dengan kondisiku yang menurut aku nih aslii gak nyaman. Soalnya, kalaupun disesali, toh banyak hal luar biasa yang harus aku syukuri bukan. Meski, dalam hati masih ada ngenes-ngenesnya gitu mba heheh

    BalasHapus
  17. Gila penjelsannya jelas banget dari masalah sampai solusi...buat ibu muda atau calon ibu muda

    BalasHapus