Setting waktu : Juni 2008-Juli 2009
Mentari sedang akan menukik maksimal saat ku dapati
diriku berdiri bersama teman teman seumuran yang belum aku kenal sepenuhnya.
Lengkap dengan baju kebesaranku plus topi warna biru yang menancap erat di
kepala, aku dengan mahfum mendengarkan penjelasan perdana Bapak Kepala Sekolah.
Lapangan super lebar dengan rumput yang tertata apik di sela sela jari kaki
tampak tergelar begitu luas, terkepung bangunan berlantai dua. Bangunan itu
begitu kompak berbalut warna merah tua bercampur coklat yang semakin menambah
efek megah. Pun taman tampak cantik mengitari lapangan, berjajaran di setiap
depan kelas. Aku berdiri di antara para anak anak berumur sama yang juga
berbalutkan seragam yang masih senada, bawahan biru dengan atasan putih bersih.
Hari ini jelas hari yang aku tunggu. Hari ini adalah akhir dari segala usaha
dan segenap daya upayaku sekaligus awal dari perjuangan yang baru. Aku tak
pernah tahu kala itu kalau ini juga awal dari rasa yang menggaung tanpa henti
di penjuru relung.
“Tia
Kusuma Putri, 11 B!”
“Melisa
Cahyaningtyas, 11 E!”
“Septilia
Putri, 11 D!”
Akhirnya, setelah melalui tes masuk yang mendebarkan, untuk
pertama kalinya aku menginjakkan kaki di SMA Bumi Pertiwi dengan status baru.
Di hari Senin ini aku resmi berstatus murid SMA. Rasa bangga bisa masuk ke SMA
ini tak bisa kututupi, walau kadang rasa sedih berpisah dengan teman-teman SMP
masih menyeruak.
Hari-hari putih biru sepertinya telah berakhir, meskipun
tubuh ini masih ditutupi seragam putih biru SMP kesayanganku. Tak ada lagi geng
rumpi yang selalu ramai bergosip ria di kantin waktu istirahat. Tak ada lagi
ocehan riang Mitha, tak ada lagi ceramah dari bunda Derra, tak ada lagi tingkah
usil Juni dan Dewi. Tak ada lagi kami, yang selalu membuat ribut kantin waktu
jam istirahat.
Hanya aku, ya hanya aku satu-satunya dari kami berlima
yang diterima di SMA favorit ini. Bahkan hanya aku lulusan dari SMP Negeri 2 yang
bisa sampai ke tahap ini. Seleksi yang sangat ketat tampaknya menggugurkan
harapan teman-temanku. Dan hanya aku, yang mungkin sedang dipayungi
keberuntungan bisa terus menapakkan kaki di sini.
Kuedarkan pandanganku ke sekitar, mencoba mengamati
wajah-wajah baru. Wajah-wajah yang selanjutnya akan mengisi hari-hariku.
Wajah-wajah yang tampak ceria dan ramah. Semoga saja aku bisa mendapat teman
baru di sini.
Sedetik kemudian pandanganku berhenti. Sosok ini terlalu
menarik perhatianku.Tinggi, jangkung dan sedikit hitam, dengan sederetan gigi
rata terlihat dari balik bibirnya yang tersungging. Bahkan dari pandangan
pertama aku bisa menilai bahwa dia adalah orang yang ramah dan hangat. Sesekali
dia tertawa dan lagi-lagi memperlihatkan sepaket lesung pipi dengan deretan
giginya yang rapi.
Tak terasa sudah lebih dari 5 menit dan aku masih terus memperhatikan
sosok itu. Aku seperti dihipnotis, pandanganku tak mau lepas darinya. Sampai kemudian.
“Elita
Sulistyawati, 11 A!”
Hening.
“Elita
Sulistyawati, 11 A!”Kembali
nama itu dibacakan.
Sesaat gamang, kucerna lagi nama yang barusan dipanggil.
Ya itu namaku! Lalu dengan langkah penuh energi kuayuhkan kaki menuju ke sisi
lain lapangan, bergabung dengan calon teman-teman sekelas yang lain. Nama-nama
selanjutnya pun mulai dibacakan kembali.
Tapi mataku, mataku ini masih menatap sosok yang sedari
tadi menarik perhatianku itu. Bahkan sadar atau tidak, hatiku mulai berdo’a,
agar kami ditakdirkan dikumpulkan di satu kelas nantinya.
“Cahyo Satriaputra,
11 A”
Sosok itu memalingkan wajah ke arah suara, kemudian
melangkah menghampiri barisan dimana aku menjadi salah satu pengisinya. Jelas
saja hatiku bersorak sorai tak karuan disusul kupu-kupu yang berjejalan
memenuhi hatiku. Do’aku terkabul.
Dia pun berdiri persis di sampingku, bahkan satu gerakan
saja sepatuku bisa menggapai sepatunya. Tubuhnya yang jangkung langsung
memberikan bayangan teduh. Dia melindungiku dari paparan sinar matahari yang
panasnya sampai ke ulu hati. Tapi, aku tak berani menengok sedetik pun. Yang
ada aku hanya menunduk sedalam mungkin sambil sesekali melirik ke arah
sepatunya. Ya, nyaliku hanya sampai pada lirikan ke arah sepatunya. Paling
maksimal aku mencuri lirik ke bahunya yang segaris dengan mataku. Mana bisa aku
melirik ke lesung pipinya, memandang wajahnya pun aku tak mampu mendongak.
Kepalaku terasa begitu berat. Bila di sinetron yang sering aku lihat di malam
hari, adegan selanjutnya adalah.........
“Hai,
namaku Satria, kamu siapa?”
Dia dengan begitu macho mengulurkan tangannya ke arahku.
Pelan tapi pasti aku menjawab kayuhan jarinya dan berkata
“Hai, aku Elita...” Senyuman paling
manis se alam semesta aku sunggingkan sambil menatap malu dua bola matanya.
Kembali dia menapakkan kedua belah lesung rupawan. Dari
berjabat tangan, kita lalu berjabat hati. Indahnya hidup ini.
Sedetik, dua detik, tiga detik... Aku terus menunggu
untuk bisa berperan menjadi serupa sinetron anak remaja di malam hari.
“Baiklah
anak anak, sekarang kalian bisa menuju ke ruang kelas masing masing...Barisan
dibubarkan...”
Seiring bubarnya barisan, bubar pula segala angan yang
bermain riang di otakku. Nyatanya ini adalah kehidupan yang sangat beda dengan
sekedar sinetron. Tak ada hai-namaku-Satria dan tak ada pula hai-aku-Elita.
Tapi tak apa. Ini barulah permulaan. Kupu-kupu masih terus berterbangan
menyesaki hatiku. Toh kita akan bertemu setiap hari selama setahun ke depan.
Saat pembagian tempat duduk, entah bagaimana ceritanya
atau bagaimana aku bisa mengelabui keadaan, aku duduk di sisi paling kanan
kelas, persis di bawah jendela yang langsung menghadap ke lapangan upacara.
Tapi bukan bagian ini yang penting.Aku duduk persis di depannya, di depan
Satria. Yang berjarak bahkan kurang dari 1 meter saja. Iya, demi apa aku bisa
duduk tepat di depannya!! Mulai sekarang, dia akan memandangi punggungku
seharian. Semenjak itu pun aku berusaha untuk duduk indah dengan punggung tegak
mendongak. Setiap kali aku mengendur, aku ingat satu hal.
“Kei, Satria di belakangmu. Kei, Satria sedang memandang
punggungmu!”
Di hari Senin, di satu hari bersejarah bagiku, di hari
dimana nasib membawa kita ke jarak satu meter saja, setiap hari, dari pukul 7
pagi, sampai pukul 2 siang, selama setahun kedepan! Dan aku menyadari satu hal.
Sesuatu telah datang, dari mata turun ke hati. Iya, dari mata turun ke hati, di
kerlingan pandang kali pertama. Bisakah aku mengatakan serupa ini? Aku terjatuh
di pandangan kali pertama dan kupu kupu berterbangan memenuhi rongga perut,
masuk ke rongga dada. Semenjak itu, entah kegilaan apa yang membuat dia begitu
merasuki rongga dada dan menjejali rongga hati.
*****
“El, bolpen...” Ucapnya sembari mengantukkan ujung sepatunya ke kaki
kursi kananku. Tuk tuk tuk...
“Nih...” Aku sodorkan satu bolpoin hitam ke arahnya, sambil
melirik ke arahnya untuk sekedar mengobati rasa ingin melihatnya. Apa apaan
ini, bahkan hitungan menit pun bisa membuatku begitu ingin memusatkan mataku
padanya walau hanya sesaat.
“Makasih...” Dia lalu menggenggam sebilah bolpoin pemberianku dan
melanjutkan menulis sesuatu di bukunya. Bagiku Satria adalah orang yang susah
ditebak. Dia terkadang begitu serius mengerjakan tugas sampai seorang pun tak
bisa mengganggunya. Namun, di lain hari dia bisa saja kocak luar biasa dan
terus menjahiliku tanpa henti.
“Tuk
tuk tuk!” Aku pura pura
sibuk menyalin catatan satu papan tulis ke buku yang penuh dengan rumus kimia.
“Tuk
tuk tuk!!” Kini energi yang
dia keluarkan lebih besar.
“Apa
sih Sat!” Aku pura-pura
marah. Seketika aku menoleh ke arahnya dengan campuran ekspresi antara pura-pura
marah dan kegirangan. Aku menelan senyum mati-matian. Aku terus menampakkan
ekspresi serupa “please, jangan ganggu!”
“Serius
amaaat El!” Dia mengulum
senyum.
“Iya,
emang kamu, bisanya ganggu muluuu...” Aku memaju-majukan bibir serupa manyun. Lalu kita bercanda di sisa
pelajaran. Dia melemparkan cerita lucu lalu kita tertawa tergelak-gelak.
Tawanya menarikku lebih dalam dan dalam. Sedari awal dia duduk di belakangku,
aku selalu berangkat lebih awal. Aku akan tersenyum di sepanjang jalan dengan
wajah Satria yang bertengger di angan-angan. Aku akan melangkahkan kaki dengan
riang tak peduli berapa banyak PR yang harus ku emban.
Satria serupa meringankan beban menjadi kesenangan.
Dengan langkah riangku itu, aku menunggu satu moment tertentu. Pada pukul 06.45
Satria akan melangkah melewati pintu dengan tas punggungnya berwarna serba
hitam lalu senyum simpul ke arahku yang sudah duduk manis di bangku, tepat di
depan bangkunya. Dia lalu akan duduk dan meletakkan tasnya di laci.
“Ada
PR apa?”
“Kimia,
Fisika, Matematika, Seni Rupa.”
“Owh...beres.” Di tampangnya yang terkadang terlihat malas-malasan,
Satria sebenarnya anak yang rajin. Dia selalu mengerjakan PR dan bisa mencapai
urutan 3 besar di kelas. Perilakunya yang santai tapi pintar semakin menarikku
untuk mengitari porosnya.
Di tahun pertama, kebersamaan begitu memukau hati. Setiap
hari dia selalu datang pagi pagi, lalu melemparkan senyum khasnya, senyum
berlesung pipi dengan sepaket gigi ratanya dan sekonyong konyongnya melemparkan
pantatnya di bangku tepat di belakangku. Di sela sela pelajaran, dia tak henti
hentinya membuatku selalu memutar kepala ke belakang, meladeni setiap tingkah
konyol khas anak SMA. Hal yang paling aku suka adalah mengerjakan tugas
kelompok. Guru akan menyuruh kami untuk mengerjakan tugas secara berkelompok
dengan jumlah anggota empat murid. Semesta seperti mendukung penuh gejolak
hatiku. Kini, dia tepat di pelupuk mata dalam arti harafiah. Kini, pantulannya
menjalar dari retina lalu sekejab menginvasi seluruh hati. Dua jam masa
pengerjaan tugas itu adalah masa masa paling menyenangkan sepanjang kelas berlangsung.
Kami tak hanya mengerjakan tugas tetapi kami berkelakar dan berbagi gelak tawa
tanpa henti.
Ah, hal lain yang aku suka dari seorang Satria adalah
tulisan tangannya. Bahkan, dibandingkan dengan tulisan tanganku sendiri,
tulisannya jauh lebih rapi dan meliuk liuk indah. Dia adalah sosok sederhana
dengan suara berat yang terdengar berwibawa. Dia begitu gemar menebar senyum
dan sekali lagi memperlihatkan jajaran giginya yang tertata rapi dengan
sepasang lesung pipi yang tercetak jelas di pipinya. Matanya sipit hingga
selalu terkatub tiap kali dia tertawa. Bahkan, aku sering mengulum senyum
seorang diri setiap kali aku mengingat tingkahnya, setiap kali aku mengingat
percakapan konyol di antara kami.
Tahun pertama di bangku berbalut seragam putih abu abu
adalah tahun paling berbalut bahagia bagiku. Kini, kita tak hanya bercakap
bertatap muka, tetapi juga bercakap lewat untaian kata di pesan singkat. Tak
jarang aku mengirim SMS singkat kepadanya sekedar untuk bertanya tentang PR
atau ulangan yang akan datang walau nyatanya sudah jelas jelas semua PR dan
ulangan katam aku catat. Dari SMS tentang PR, percakapan kami akan berlanjut
kemana mana. Tak jarang pula aku curhat tentang banyak hal dan membangun percakapan
dengannya serupa membangun percakapan dengan seorang kakak, hal yang sedari
kecil ingin sekali aku miliki.
Entah kegilaan nomor berapa lagi, tapi bagiku Satria bak
bunglon yang setiap saat bisa menjadi apa yang aku butuhkan. Dia kadang bisa
menjadi teman kelas, pelawak, pemberi semangat, penasehat ulung, dan juga
seorang kakak. Bunga bunga berbiji harapan bulir demi bulir tumbuh subur
menyeruak ke seluruh penjuru kalbu. Tahun pertama, serasa ku ingin mengecapnya
selamanya.
Namun, seperti halnya Selasa menjemput Senin, serupa itu
pula waktu terus bergulir....
*****
Menginjak tahun kedua....
Aku duduk di posisi bangku yang sama, tepat di pojok
paling kanan di bawah jendela. Bedanya, setiap kali aku menoleh ke belakang,
tak ada lagi sosok berlesung pipi berbadan jangkung.Tak ada lagi bunyi tuk tuk
di salah satu kaki kursiku.Tak ada lagi tawa gelak yang berderai-derai di
sepanjang pelajaran. Tak ada lagi Satria yang hanya berjarak kurang dari satu
meter saja dariku. Di tahun kedua kami harus berpisah karena memang tidak lagi
satu kelas.
Scene scene penuh gelak tawa selalu berputar putar di
otakku setiap kali kesepian melandaku di dalam kelas. Aku mulai rajin menoleh
ke luar, berharap barang sekejab Satria mungkin sedang melintas di depan kelas.
Saat istirahat, aku mulai rajin pergi ke kantin dengan berputar arah demi
melewati depan kelasnya, berharap barang sekejab aku bisa melihatnya keluar dari
dalam kelas. Saat pulang pun aku mulai
rajin duduk dulu di depan kelas, berharap barangkali dia akan pulang melintasi
depan kelasku.
Aku masih membangun harapan. Aku masih menanti sosok
Satria untuk bisa memancarkan radar yang sama dengan dentuman hati yang senada.
Aku masih menanti Satria mengungkapkan segala hal yang ingin sekali aku dengar.
Satu tahun kebersamaan bisa jadi melahirkan banyak rasa.
*****
“Suka
aku nggak?” Aku mengusap
pipinya lembut dengan ujung jariku sebelum tidur.
“Suka
aku nggaaaaak??” Aku
mengulangi pertanyaanku dengan nada yang setingkat lebih tinggi. Dia masih
tersenyum simpul dengan begitu rupawan. Rupa yang menawan itu masih saja
tersenyum mematung di selembar bidang datar.
Foto dirinya yang aku simpan kupandangi tiap tidur, berharap
suatu saat nanti selembar foto bisa menjadi sosok Satria yang nyata.
Tiap malam aku tidur dengan mendekap serpihan masa yang
terabadikan. Setelahnya aku terus hidup dengan mendekap satu harapan yang terus
membara.
*****
Tapi semuanya seakan semakin bertolak belakang. Hati ini
makin mengagumi Satria, sementara sosoknya seakan semakin jauh.
Satria menjadi salah satu murid paling populer di
sekolah. Satria terpilih sebagai ketua Paskibra di sekolah, satu jabatan yang
tak mudah dicapai dan banyak menjadi incaran banyak cowok di sekolah. Otomatis
dengan embel-embel ketua Paskibra, sosok Satria menjadi dikagumi banyak cewek
di sekolah.
Dan aku, aku juga mengaguminya, bahkan sebelum Satria
menjadi seorang ketua Paskibra. Namun apalah aku ini, sekarang aku hanya mampu
melihat sosoknya dari balik jendela kelas setiap kali dia berlatih di lapangan
upacara. Semakin kukagumi, sosok itu seakan makin jauh.
Satria seakan menghilang dari kehidupanku. Dia ada, tapi
tak sepeti dulu. Bahkan ketika kami bertemu, dia hanya tersenyum sesaat. Senyum
yang selalu kurindukan, tapi tanpa memanggil namaku.
Aku berharap, waktu dapat terulang kembali. Waktu dimana
aku dan Satria bisa tertawa bersama, waktu aku dan Satria begitu dekat, bukan
tentang jarak tapi juga tentang hati.
*****
Menginjak tahun ketiga, Satria
benar benar hilang dari pandangan. Bukan, dia bukan berpindah sekolah. Hanya
saja, banyak jarak terbentang di antara kita. Bahkan, kini tak pernah lagi aku
memberanikan diri untuk menyapanya lewat untaian kata kata. Dia semakin
populer, dan aku semakin terbenam seorang diri. Aku terbenam di rasa yang aku
ciptakan sendiri sejak kali pertama menangkap sosoknya di lapangan sekolah
hingga kini akan segera beranjak mengatamkan balutan putih abu abu. Satria tak
pernah tahu.
Ingin sekali rasa ini kupendam,
dan biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu. Tapi apalah daya, semakin kupendam
semakin kukagumi sosok Satria. Hingga akhirnya aku memutuskan, akan kuungkapkan
rasa ini. Aku sudah siap jiwa
dan raga. Aku tidak bisa terus menunggu dengan jawaban yang kian lama tampak
memudar. Aku bahkan sudah melangkah ke umur 17 dan aku siap untuk ini. Hatiku
berdegup sangat kencang dengan arus keringat yang mengalir deras. Sekali dalam
hidupku ini kali pertama aku melakukan hal senekat ini.
Semalam aku tak tidur. Mungkin karena begitu banyak rasa
yang meluap dan memuncah meruah-ruah, ada 3 lembar surat terlipat rapi di dalam
amplop berwarna biru muda, warna favoritnya. Entah apa yang aku pikirkan. Sejak
setahun yang lalu bahkan dia tak hanya hadir menemani hariku, dia juga begitu
rutin mengunjungi lelapku di malam hari. Bak remaja beranjak dewasa, aku
terkena konspirasi hati di level dewa.
Kuberikan surat yang kutulis untuknya di lorong sekolah.
Lirih mulut ini berucap “Aku suka
kamu.... Sat, sejak pertama kita bertemu...”
Sejenak kami terdiam, sedetik kemudian aku berlalu begitu
saja. Dia pun berdiri termangu tak bisa berkata kata.Lalu, apakah masa lalu
hanyalah kenangan nan lalu yang telah katam dilalui tanpa berbekas apa apa?
Langkah berlalu ku terasa begitu lamban. Aku berharap di
sela langkah laluku dia memanggil namaku. Memanggil nama yang sering dia
panggil setahun yang lalu. Maka aku akan menoleh dengan mata yang menembus
retinanya. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah...
Aku masih terus melangkah...
Beku.
comment 0 comments
more_vertTerimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.
Terimakasih .... :)