Saat melangkah masuk ruang dokter, gue panik banget. Gue masih seperempat abad dan masih banyak mimpi yang belum gue kejar, masalah dapet apa nggak sih urusan belakangan. Mana temen gue satu demi satu menikah. Tapi gue masih sibuk ngurusin jari.
Ditemani dengan nenek dan Ibu gue mempersiapkan hati menerima kenyataan terburuk yang bisa saja terjadi.
Gue disuruh tiduran, mulut gue dioborin, tensi gue diukur, lalu bu dokter mengangguk angguk menandakan dia sudah menemukan pencerahan atas apa yang terjadi sama gue.
"Ini alergi. Amoxilin. Dua atau tiga hari lagi bercaknya akan hilang..."
Gue sujud syukur alhamdulillah. Setelah dokter melihat semua obat gue kemarin, dia berketetapan hati. Gue cuman alergi.
"Bukan akibat cacing yang masuk ke dalam tubuh saya khan dok? Ikan? Ubur ubur?"
Nenek gue cuman geleng geleng. Renang di Umbul Ponggok bikin gue depresi. Akhirnya gue dikasih antibiotik baru dan gue pulang ke rumah.
Tapi, jalan yang harus gue tempuh untuk gelar sembuh ternyata masih sangat berliku, gaes. Sehari sebelum gue berangkat ke Jakarta, gue kembali ke salah satu dokter. Kalau kemarin gue berobat karena bercak bercak merah, hari ini tujuan gue berobat untuk ngecek jahitan sekaligus ganti perban sebelum ke Jakarta.
Lo tau nggak jahitannya kayak apa? Sebenernya gue nyimpen fotonya, tetapi demi kebaikan bersama, nggak akan gue sebarluaskan. Benang jahitannya berwarna hitam, persis banget kayak benang buat jahit baju. Seratnya gede, diakhiri dengan ikatan mati sedemikian rupa. Andaikate kemarin gue bisa request,
"Ini mau diikat model apa mbak?"
"Ditali pita aja ujungnya dok, biar kayak kado."
Sesampainya di dokter yang kedua, gue kembali diperiksa. Gue tiduran dengan Ibu gue yang berdiri di samping gue. Dia menggenggam tangan gue erat.
"Aduuuh!! Ike takutttt...."
Bu dokter mulai membuka perban gue dan jahitan gue mulai menyembul dari dalam.
"Ibu..aduh duh...sakiitt."
Dokter lalu membuka jari gue tanpa ampun sampai jahitan gue tertarik.
"Aduuuuuuh...aku nggak tahan Ibu...sakiiiiiitttttt!!!"
"Bertahan Ke....dorong terus Ke....dorooong!! Sedikit lagiiii!!!!"
"Nggak Bu, sakiiiittttt!! Aku nggak bisaaa!!!!"
"Apa sih Ke!" Ibu gue malu.
"Hah?!"
Gue baru sadar. Gue cuman ganti perban, bukan lahiran.
Tapi, belum terlepas dari terkejutnya gue saat jari gue tiba tiba di-jembeng- dibuka secara paksa, dokter memberikan keputusan yang amat mengejutkan.
"Ini sih nggak usah diperban, mbak...Alah..cuman luka segini doang...biar cepetan kering jahitannya. Kalau dibungkus terus ya nggak kering kering...." Dokter PD luar biasa.
"Hahh??!! Nggak diperban dok?" Jadi, gue akan kemana mana dengan benang terurai di jari gue begitu?
"Nanti kalau udah seminggu, bisa dilepas sendiri jahitannya. Gini nih, yang ujung ini dipotong terus ditarik..."
"WHATTTT??!! GUE HARUS LEPAS JAHITANNYA SENDIRI?"
"Ini gampang Mbak..."
Semuanya terlihat gampang di mata dokter satu ini. Bagi gue, ini sama susahnya dengan soal UAN matematika dulu saat SMA. Abis UAN, gue nangis dan nggak doyan makan sebulan. Akhirnya, jahitan gue nggak diperban dan gue pulang.
---
Tanggal 4 Januari siap nggak siap gue harus ke Jakarta karena gue harus kembali bekerja tanggal 5. Gue berangkat dari Bawen sehabis maghrib naik bis. Begitu gue membuka mata nanti, gue akan sampai ke Jakarta pagi hari, lalu gue pulang dan mandi dilanjutkan berangkat kerja. Rencana sudah terusun rapi.
Diantarkan oleh kakek gaul gue, nenek, Ibu, Nicken dan Astrid gue tancap gas ke terminal Bawen. Selepas maghrib, bis datang dan datanglah waktu untuk berpisah. Gue masuk bis, duduk di salah satu seat dan melambaikan tangan seperti biasa. Semenit kemudian, gue menerima BBM dari Nicken, adek pertama gue.
"Mbak, Astrid nangis kejer..."
"Bilang aja, 180 hari lagi Mbak Ike akan pulang.."
"Udah mbak, dia tambah kejer.."
"Wah, salah strategi."
Tapi, buat Astrid ini adalah salah satu peningkatan yang luar biasa karena biasanya dia akan mulai menangis saat gue naik bis.
"Dada...mbak...Ikeeeee....huaaaaaaaaa"
Dia lalu melambai lambaikan tangannya di balik jendela bis sambil berlinangan air mata. Gue berasa kayak mau berangkat jadi TKI di Arab Saudi.
But I know how she felt. No unwanted farewell be so FUN. It's painful, brother. It is really painful.
Malam menjelang dan pagi merekah. Gue udah sampai Cikarang, lalu mulai menembus Ibu Kota. Jam menunjukkan pukul 8 dan gue sedang akan menjejakkan kaki saat.....
"Tasnya yang ini Mbak?"
"Bukan. Tas saya jauh lebih gede Pak.."
"Lah, yang mana ya Mbak?"
"Yang kayak rudal Rusia pak...Gede."
Kemudian dia sibuk mencari di bagasi sayap kanan dan sayap kirisecara bergantian. Gue lirik pak kondektur. Mukanya berubah, seperti tidak menemukan apa apa di kedua bagasi. Gue mulai mengendus adanya hal yang tidak beres akan terjadi sama gue.
"Apa lagi Tuhaaaaan?"
"TASNYA TERTUKAR MBAK!!"
Deng deng deng deeeeeeeeng!!
"APA PAK??!!! KATAKAN SEKALI LAGI, PAK! TERTUKAAAAAAAR????!!!!" Gue berharap pak sopir adalah agen yang menyamar lalu saat gue mulai glesotan karena tak sanggup menghadapi semua ini, dia akan berkata.
"SURPRISEEEE!!! Anda sedang ada di SUPER TRAP!! Kamera ada di sana, lalu di sebelah sana, melambai ke kamera....Kena deeeeeh!!" Lalu tas gue akan dikembalikan dan beres semua perkara (selain perkara jari menjari).
Tapi, ternyata pak sopir adalah pak sopir, bukan agen. Dan gue sedang tidak ada di Super Trap tetapi di dunia nyata, yang memang menyimpan banyak jebakan.
"Terus gimana dong Pak? Itu isinya baju baju saya yang bagus,Pak. Di kost sisanya jelek jelek semua,Pak!"
"Santay mbak...Santay..ini cuman tertukar kok.nggak mungkin hilang.." Pak sopir mencoba menghibur dengan menghubungi entah siapa. Tetapi, wajah pak Sopir jauh dari kesan santai dan tentang kata kata 'nggak mungkin hilang', terkesan tersimpan kata,
"Allohualam..." di dalamnya.
"Yah, putri aja bisa tertukar...apalagi cuman tas Mba...hehehe.." Pak kondektur mencoba menghibur. Kayaknya dulu dia kebanyakan nonton Nikita Willy di RCTI.
Gue akhirnya pulang ke kos dengan langkah gontai tanpa tas gunung kesayangan gue. Pak Sopir berjanji akan mencari, gue tinggal menunggu manakala janji akan ditepati. Semoga pak sopir bukan calon pejabat. Gue telpon Ibu gue.
"Bu, aku dosa apa ya?"
"Udah sampai? Kenapa?"
"Apakah aku pernah menyakiti hatimu, Ibu?"
"Ke?? SEHAT??"
"Kenapa kesialan bertubi tubi menghampiri, Ibu?? Jawaaab akuu!! Kenapaaaa???!!" Ibu gue diam sebentar. Mungkin dia sedang dzikir meminta pertolongan karena anaknya jadi depresi.
"TAS GUNUNGKU.....KETUKER, IBU."
Deng deng deeeeeeeeng......
"APPAAAAAA????!!!"
"Terus gimana? Udah minta nomor sopirnya belum? Bisa dilacak nggak? Kira kira bisa dipulangin nggak? Apa aja di dalam tasnya? Dompet kamu dimana?? Blahblahblahblah..."
HUFT!! Setelah menjawab pertanyaa pertanyaan Ibu guru sebanyak satu setengah kertas folio, gue hanya bisa menatap nanar atap kamar gue dan menatap sekeliling dinding kost gue. Gue merebahkan badan. Gue........nangis. Bukannya apa apa, katenye nangis bisa melepaskan suatu hormon yang menjadikan pikiran dan hati tenang. Daripada gue pendem sendiri, lalu tiba tiba gue glesotan di tengah jalan sambil lepas baju.
"Kenape lu Mik?" Mbak Tutik angkat bicara. Jarak kamar kita yang super deket, cuman berjarak sekitar 50 cm jelas nggak bisa nutupin suara tangisan gue.
"Ketawa Mbak, nangislaaaah." Pake nanya.
"Kenapa emangnya?"
"Menangislaaaaaaaaaaaaaaaaah bila harus....menangiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiis..karena kitaaa...semuaaaaa...manusiaaaaaaaaaaaa. Manusia bisa terlukaaaaa...manusia....pasti menangissss...dan manusia pun bisa mengambil hikmaaaaahnya.." Gue nyanyi lagunya Dewa 19 untuk menjelaskan semuanya. Gue rasa cuman anak 90an yang tahu lagu ini.
Gue mengalokasikan waktu sekitar 5 menit untuk nangis karena setelah ini gue harus segera mandi dan berangkat kerja. Jangan tanya kenapa...Karena temen kerja lo juga nggak akan mau tahu penderitaan lo. Yang penting lo kerja. Yang penting lo nggak nambahi kerjaan mereka. Titik.
That's how we work, though.
Tapi, gue inget kate pepatah.
Mau kaki pincang dijahit dua, tas ketuker entah kemana, sekujur badan bentol merah gatal luar biasa, dan tubuh masih demam, LO HARUS TETAP KERJA!! Itu.
Akhirnya dengan jari kanan segede singkong rebus dan mata segede pia Semarang, gue nyalain motor gue. Gue yakin.
"It's only a bad day, not a BAD LIFE, mamen."
to be continued....
sumpah ngebacanya miris gitu ih, udah kakinya ada jahitan, badan bintik2 merah, eh tasnya ketuker. fix.. daku stres kalau kayak gitu.
BalasHapussemangat ya ke, semangat! btw tasnya udah kembali belom? isinya baju2 bagus lagi, aku pasti njerit nangis2 , hahaha
Aduuh Mey... nasibmu nak, trus gimana nasip tasnya? udah balik belum? emangnya tasnya mirip banget ya? kok sampe ketuker...
BalasHapusTrus masalah jempol gimana? udah sembuh belom? gak bisa pake sepatu ya? paka to be continue lagi. Penasaran gimana akhirnya perjalanan hidupmu yang berliku ini. Semoga cepet sembuh dan tasnya bisa kembali... :)
bahahaha, drama abis yak scene dokternya. kayak mau melahirkan aja... nggak kuat, terus ditemanin sama keluarga. hmm.. beneran kayak sinetron, banyak dramanya. bukan cuma di dokter doang, ada lagi scene tas yang tertukar.
BalasHapuskeren, berarti dikau profesional. bertanggung jawab sama pekerjaan...!
Weleh ubur ubur masuk dalam tubuh bisa jadi squidwort tuh kayak dalam filem naruto.
BalasHapusEh itu foto heather bikin gue salah fokus, kirain gak pake celana, kampret -_-"
Maaf gak sempet baca part 1 nya..
BalasHapusTapi dari cerita yg ini. Bisa dilihat bahwa Allah masih sayang ama Meyke. Segala bentuk cobaan dalam hidup bisa diartikan juga sebagai tanda sayang Allah pada kita. Kita hanya perlu sabar aja menghadapinya.
Oh ya. Itu tasnya balik lagi gak ?