Menjalin
hubungan dan berusaha untuk bersama dalam ikatan bernama ‘kita’ bagiku adalah
sebuah investasi waktu. Dan investasi
sejauh yang aku tahu hanya akan berakhir pada dua kemungkinan pasti, meraup untung
atau terlilit rugi. Investasi waktu yang
ditanam dari sebuah hubungan pun hanya akan bermuara pada dua kemungkinan pasti, berakhir
dengan pekikan SAH disertai alunan doa tiada henti atau berakhir SUDAH disertai
deraian luka yang bila kurang beruntung akan terus mencabik cabik hati.
Kita pernah
berusaha untuk merakit masa depan bersama dalam balutan rasa yang senada.
Kita pernah berusaha untuk merajut masa selama 1740
hari terhitung sejak kau memamerkan SIMmu padaku dan aku dengan begitu riang
menimang KTP baruku. Dulu, apapun itu kau selalu ada untukku. Saat kemarahanku
meledak begitu impulsif bak remaja yang sedang akan menginjak dewasa atau saat
hatiku dijejali bunga sejuta warna dengan riang yang mengudara di segala
penjuru arah mata angin, kau tetap ada di situ. Semata mata untukku.
Apakah kau ingat
awal perjumpaan kita? Duduk berjam jam di game center demi menari bersama di
dunia maya masih dalam balutan seragam putih abu abu. Kita berlomba memencet
panah atas bawah kanan kiri dengan spasi sebagai ketukannya. Aku akan begitu
senang bila mampu menang darimu. Apakah kau tahu betapa senangnya aku
memenangkan hatimu?
Kita pernah
merajut kenangan bersama walau lewat cara yang begitu sederhana. Denganmu, hal
sederhana terasa begitu istimewa.
Apa kamu masih ingat ketika kita mengarungi jarak
25 kilometer bersama demi mengantarkanku pulang. Dengan berselimutkan mantel
yang sama, aku meringkuk tepat di balik punggungmu, mendekapmu erat dan meletakkan
kepalaku di samping nadi lehermu. Di jarak 0 cm, aku berharap perjalanan ini tak mencapai akhir. Tak
peduli bajuku kuyup dan ujung jemariku kisut, hatiku mengembang hangat suam
suam kuku. Kita akan mengarungi semua perjalanan di depan bersama, sejauh
apapun itu, selama apapun itu, sekeras apapun itu. Ku mendekap hatimu lekat
lekat. Kini, kerongkonganku terasa tercekat dan hatiku memucat.
Masih bisa
kukecap jelas jelas saat kau tiba tiba muncul di depan rumah di banyak kali kita bertengkar. Sepasang manik
matamu sekejab meluluhkan hatiku. Lalu, kita akan
mengakhiri perjumpaan malam dengan ulasan senyum di bibir dan rangkaian kalimat
terakhir sebelum terpisah jarak.
“Kalau udah
sampai rumah, SMS ya?” Aku pikir siklus ‘kita’ akan terus berulang hingga kau
tak harus pulang karena pulangmu ada padaku, karena aku adalah rumahmu.
Sempat
ku menerbangkan angan, tak hanya tumbuh bersama, kita juga mampu menua dalam
balutan cinta dan derap langkah seirama.
Kau tahu khan,
kita tumbuh bersama. Kita melewati masa putih abu abu dengan hati penuh
gejolak. Tak jarang kita bertengkar. Tak jarang pula kita saling melemparkan
diam. Kala itu aku berharap kau akan mengajukan perdamaian duluan. Padahal kau
juga berharap aku akan mengajukan perdamaian duluan. Lalu kita melewati masa
kuliah bersama. Kita semakin dewasa dan rasaku padamu semakin mengangkasa. Aku
selalu menerbangkan doa untuk matematika
ajaib dimana aku ditambah kamu akan menghasilkan satu.
"Hope we are not only growing up together, but also growing old as one heart, together."
Aku selalu mengumpulkan serpihan momen kita yang terbidik
kamera. Saat kita masih lugu dengan rasa yang menggebu di bangku SMA, lalu saat
kita mencoba menjalani hidup lebih berarti
di bangku kuliah denganmu di sisiku dan aku di sisimu. Segera akan kutimang
bekuan momen kita saat kamu tampil begitu elegan dengan atasan kemeja panjang garis garis dan dasi
bertaut indah di lehermu denganku yang anggun menyanding rok berumbai dengan penutup
kepala yang terurai. Sekarang, aku menimang khayalan.
Menjalin
hubungan denganmu tak ubahnya berinvestasi waktu.
Tak semua
masalah yang kita lewati berbuah ulasan senyuman dan kalimat
kalau-sudah-sampai-rumah-SMS-ya sama saat kita masih SMA dulu. Keegoisanku dan
keegoisanmu mengubah hubungan kita menjadi sehambar sup minggu lalu. Di batas senja terakhir,
aku duduk mematung di belakangmu tanpa dekapan. Tak bisa lagi aku merasakan
denyut nadi lehermu atau senyummu yang mengembang terpantul di kaca spion.
Sorot matamu tak terbaca, menatap lurus ke depan seolah berkata,
“Aku akan maju tanpamu.”
Sejak saat itu
kata 'kita' menjelang sirna. Sejak
saat itu parut membaluri sekujur hatiku. Jutaan kenangan terukir di benakku, menyebar
ke segala penjuru. Terlalu banyak kenangan manis yang sayang bila tak dikenang.
Namun, mengenangmu sama saja menikam ulu
hatiku dengan sembilu, bertalu talu.
Ada saatnya
aku benar benar ingin menghapusmu dari kotakku.
Namun kamu terus
menari tiada henti, datang di ujung malam dan pergi di batas fajar. Ada saatnya
aku menghapus kontakmu dari HPku sebelum aku sadar sesuatu. Aku sudah hafal
nomormu. Ada saatnya aku sesak dengan semua jejakmu yang berceceran di
sembarang sudut. Ada saatnya aku menggigil di pojokan dengan bayangmu yang
meracau tanpa henti. Ada kalanya aku bangun di pagi hari dengan detak jantung berderap kencang, perih
menjalar sampai sum sum tulang belakang dan merambat cepat menuju kelenjar
penglihatan. Tiap kali terbangun, tanpa sadar aku langsung menyambar HPku
seperti hampir 58 bulan terakhir sebelum tiba tiba tertampar kenyataan bahwa kamu tak akan menyapaku seperti dulu. Kita berujung sudah. Ada
saatnya aku menyibukkan diriku dengan membabi buta demi menenggelamkan
ketiadaanmu di hari hariku.
Ini
bukan salah siapa siapa karena bila kita memang ditakdirkan untuk bersama, tak
akan di antara kita yang terjatuh dan terbelit di hati yang kedua.
Tidak. Aku sama
sekali tidak menyalahkanmu. Cinta tak pernah salah. Mencintainya sama sekali
bukan salahmu, juga bukan salahku.
Karena bila kita memang ditakdirkan bersama, tak akan ada di antara kita yang
terjatuh dan terbelit di hati yang kedua. Justru aku iri padamu. Kau bisa dengan cepat
mengubah haluan dan menetapkan tujuan. Aku pernah sangat mengerti dirimu. Kamu
adalah orang yang bisa begitu fokus dan melakukan apa saja untuk bisa meraih
yang kamu mau.
Kini,
hanya satu yang ingin ku katakan padamu. Terimakasih. Karenamu, aku sanggup berdiri lebih tinggi.
Terimakasih karena bak crayon, kamu
sempat menyemarakkan hatiku dengan pulasan warna pink, violet, magenta hingga
hitam pucat. Terimakasih karena kamu
pernah mencintaiku dan menerima segala yang melekat padaku. Aku pun tak pernah
begitu dalam mencintai seseorang seperti aku mencintaimu dulu. Aku sangat
mencintaimu. Dan sama sepertimu, aku mulai menciptakan
tujuan hidupku. Terimakasih aku gulirkan untukmu yang telah mengungkit kokang semangatku dan meledakkan bongkahan ketakutan
di relungku. Aku mampu menggerakkan kakiku sejauh 500 km dan melompat keluar dari zona amanku
dan meninggalkan
sosok 'kita' yang berbayang di sepanjang selasar SMA, di
sepanjang koridor fakultas, sepanjang jalan dengan sawah di tiap tiap sisinya,
sepanjang teras rumah atau pun ruang tamu, di tiap sudut kota itu. Terimakasih kamu telah
mengajarkanku bagaimana cara mencintai. Dan darimu, aku belajar bagaimana cara
mengakhiri.
Terimakasih.
Walau di hari ulangtahunmu kini aku tak bisa lagi menyisipkan ucapan dan
panggilan sayang, aku masih tetap bisa menerbangkan bait bait do'a diakhiri dengan nama
terang. Terimakasih, kini ku bisa bangun di pagi hari dengan ukiran senyum dan
dada lega luar biasa. Setidaknya, aku
berusaha. Tak perlu lagi aku melupakan serpihan indah yang berbiku biku karena ku telah
berdamai dengan apapun tentang 'kita' yang sudah sirna sejak tiga kali ulang
tahun kita yang lalu. Tak perlu lagi aku
mencoba mengubur dalam dalam apapun tentang kita karena semua kenangan yang
tersisa sudah tak meninggalkan luka. Setidaknya, aku mencoba sangat keras. Kamu
yang paling tahu aku, bukan?
Aku tak akan memintamu untuk menungguku di teras rumah saat aku marah,
menjemputku dan mengarungi jarak 25 kilometer di deraian hujan, menyambutku
dengan senyum simpul yang membuat matamu menyipit, memelukku saat aku rindu
padamu, atau menggenggam tanganku melewati gelap terang dunia bersama. Karena
ku tahu, menunggu dan mengharapkanmu sama mustahilnya dengan berharap bunga
bermekaran di musim gugur atau semustahil menemukan air terjun di padang gurun.
Mengenal sosokmu di hampir seperlima hidupku membuatku
sadar. Ada dua jenis cinta di dunia ini, cinta yang bertemu dan menetap atau cinta yang
hanya bertamu lalu pergi. Cinta menyimpan dua sisi mata yang bertolak
belakang; motivate-demotivate, turn you on-turn you off, go alive-go dead,
fly-being buried, happy-sad,laughter-tears. Falling in love dan falling out of
love bak dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dari kata bernama ‘cinta’.
Aku banyak belajar darimu, bukan?
Terimakasih
untuk semua cerita yang pernah terurai dan kini saatnya aku akan mengulurkan
kaki begitu panjang dan mengepakkan sayap begitu lebar
Aku akan membuka lenganku lebar lebar dan menarik nafas dalam dalam. Aku
akan mengisi rongga dadaku dengan nafas yang baru. Aku akan menatap masa depan
dengan mata penuh binar dan hati penuh debar. Aku akan menjulurkan radar
neptunusku dan menjemput cerita baru yang akan menetap seutuhnya dengan jangka
waktu selamanya. Aku dan kamu memang tidak akan menghasilkan satu. Namun satu
hal yang ku selipkan dalam do’aku. Semoga bahagia menyertaimu, selalu.
Artikel ini juga pernah dipublish di Hipwee.com dan BloggerEnergy Website
comment 0 comments
more_vertTerimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.
Terimakasih .... :)