Penerbit Aksara Media, April 2014 (Indie) - Cerpen
Genre : Comedy
Dengan baju bernada serupa walau bermodel rupa rupa kita
sudah berada dalam dua barisan. XII IPA 3 adalah kelas yang sudah dua tahun ini
kita tempati. Tapi nih kelas bukan sebatas kelas biasa, karena yang terjadi
begitu luar biasa. Tapi nanti dulu.
Hari ini kita ada di dalam sebuah gedung, di detik detik
pamungkas kita sebagai anak SMA yang segera mencapai kata katam. Dimulai dari
menyingsingnya mentari pagi kita sudah sampai di pelataran gedung megah ini.
Beberapa kali kita mengabadikan momen terakhir ini dalam bidikan lensa kamera.
Semuanya tampak cantik dan ganteng dengan balutan dress code warna hitam dan
merah dengan model rupa rupa. Bahkan, dibutuhkan diskusi super panjang demi
menentukan dress code yang anti-mainstream ini. Jelas ini bukan moment main
main. Esok hari kita sudah tak lagi mengerjakan tugas Fisika berjamaah, upacara
bersama sembari sedikit menggeliat kepanasan atau pun jajan cimol dan biting
pedes bareng sampai keringat bercucuran.
“Maka hari ini
saya umumkan tentang kelulusan anak anak SMA Negeri 1 Salatiga...”
Semuanya duduk diam, mematung. Bahkan aku yang mengalami
tragedi pertumpahan air mata saat UAN sampai menahan nafas. Dua hari aku nggak
bisa tidur demi pengumuman ini. Makan pun aku susah. Kalau kata lagu, mau makan
teringat padamu, mau tidur teringat padamu mau apapun teringat padamu, hasil
UANku. Ini bahkan sensasi merajamnya lebih dari sekedar saat kangen sama pacar.
Seantero gedung mendadak senyi senyap. Hanya nafas yang
menderu cenderung memburu yang terdengar lamat lamat. Bapak Kepala Sekolah pun
seolah serupa presenter AFI di tipi tipi. Bapak Kepala Sekolah memberi jeda
yang panjangnya nggak ketulungan dengan nada yang dibuat begitu serius. Matanya
menatap bergantian dari pojok kanan ke pojok kiri seakan memastikan bahwa semua
yang hadir mukanya nggak santai banget.
“Allohu Akbar
Allohu Akbar Allohu Akbar..”
Aku meminta penguatan dari Tuhan. Bagaimana tidak? Ini adalah penentuan 3 tahun
aku menggali ilmu dari Senin sampai Sabtu dari pagi sampai sore di bangku. Dan
semua itu ditentukan oleh jelmaan soal soal itu.
“Tahun ini
tingkat kelulusan SMA Negeri 1 Salatiga mencapai........”
Kembali Bapak Kepala Sekolah berhenti sejenak. Semua yang
ada di dalam gedung semakin tercekat, sesak. Aku semakin komat kamit tak karuan
dengan kedua belah telapak tangan berjalinan erat erat di depan dada. Tiba tiba
ada musik masuk,
“deng deng
deeeenggg!!!! Deng deng deeeengggg!!!”
“100 persen!!
Selamat anak anakku!”
Ruangan gedung yang sedetik yang lalu sunyi senyap
seketika bergemuruh tak karuan. Semuanya melompat penuh dengan kegirangan. Aku
pun rasa rasanya ingin lompat harimau sambil handstand saking bahagianya. Puji
syukur menggema dari segala penjuru. Kita saling berpelukan dan melompat
lompat. Semuanya memasang wajah yang berseri seri dengan mata yang berbinar
binar. Bahkan, saking terharu bercampur sedih karena pintu ‘selamat jalan’
berdiri megah di pelupuk mata, dari berpelukan dan berlompatan, mata kita mulai
memerah dan basah. Lalu kita akan mengusapnya dengan senyum yang masih
mengembang begitu lebar.
Sudah habis waktuku bersama para sahabat yang luar biasa
baiknya, yang tak bisa aku temui di mana pun selain di kelas ini.
Perjumpaan kita berawal dari nasib yang mengantarkan kita
ke kelas yang sama, XI IPA 3. Dari yang semula tidak begitu akrab satu sama
lain, seiring waktu berjalan kita mulai saling mengakrabkan diri dan menjalin
persahabatan. Bahkan kenyataan bahwa kita menghabiskan waktu paling banyak di
sekolah, kita semakin akrab dan solid.
Menginjak kelas 3, kita semakin akrab. Syukurnya, saat
kelas 3 kita tidak lagi dipisah alias kita satu kelas dengan teman yang sama
saat kita di kelas 2 SMA. Persahabatan semakin erat terjalin di antara kita.
Bahkan, setiap kali ada yang ulang tahun, seluruh kelas akan iuran untuk
membeli kue dan nantinya akan dimakan berjamaah setelah upacara menyanyi
bersama dan meniup lilin ulang tahun! Beberapa di antaranya juga sempat
dikerjain terlebih dahulu, entah dimusuhin seantero kelas atau pun dicuekin
sampai matanya meradang. Akhirnya, dia akan menangis sebelum tiup lilin. Lebay memang,
tapi ini adalah kebahagiaan khas anak SMA yang hanya bisa aku dapatkan di kelas
ini.
Di pelataran kelas kita biasanya duduk berjejeran sembari
melempar begitu banyak obrolan dari kisi kisi ulangan Matematika, rasa gorengan
di kantin sampai harga bando yang ada di toko aksesoris depan sekolah. Saat
tugas merajalela, kita bahu membahu untuk mengerjakan bersama dengan metode
bagi hasil. Si peringkat 1 mengerjakan nomor awal, si peringkat kedua bagian
tengah, si peringkat ketiga soal akhir dan sisanya memimpin doa dengan
menyiapkan secarik kertas dan sebilah bolpen. Bila sudah, kita akan berkumpul
demi tugas dengan nilai cemerlang bak ‘shine bright like a diamond’.
Eits, tapi kita juga nggak hanya berkutat pada tugas
semata. Dari kelas inilah aku mengenal Sholat Dhuha. Di kelas ini kita juga
memilih satu imam sholat. Dia akan memimpin sholat wajib. Bila waktu Dhuha
berkumandang dan pelajaran kosong, maka berjibunlah mesjid sekolah. Banyak di
antara kita akan segera menuju mesjid untuk sholat Dhuha.
Hari berlari, bulan berjalan, dan tahun akan segera
merangkak untuk berganti ekor. Bulan bulan terakhir kita mulai disibukkan
dengan UAN yang saat itu terlihat cukup menakutkan. Kita masih terus bahu
membahu untuk datang ke fotocopi dan menyalin berjibun catatan. Kita juga akan
saling berbagi soal soal dan kisi kisi demi ujian yang akan menjelang.
Ada satu moment yang paling mengharukan. Selang dua atau
tiga hari kita memulai perang itu, seluruh anak kelas 3 dikumpulkan di aula
besar. Bapak Agama sudah duduk dengan takzim di depan aula. Beliau lalu
menyampaikan pesan pesan untuk kita yang akan berlaga di medan perang.
“Tunjukkan pada Bapak dan Ibu di rumah yang telah membesarkan
kalian kalau seluruh jerih payah kalian semasa di SMA ini tidaklah sia
sia...Bayarlah seluruh keringat yang mereka peras setiap hari demi nikmat
sekolah yang kalian dapatkan...belajar yang sungguh, berdoa yang
sungguh...Buatlah orang tua kalian di rumah dan orang tua kalian di sini
bangga...Bapak dan Ibu Guru akan terus mendukung dan mendoakan kalian semua...”
Dari sini saja sudah banyak teman yang pilek mendadak.
Pelan tapi pasti pipi mereka sudah lembab. Pertemuan itu diakhiri dengan do’a.
Baru dua kalimat doa dikumandangkan, mata kita sudah
meruah tak tertahan. Isakan menyeruak di penjuru gedung, dan bahkan Bapak dan
Ibu Guru pun ikut bersimbah air mata. Itu adalah hari paling mengharukan di
akhir kebersamaan kita.
Pertemuan usai dan kita kembali ke kelas masing masing.
Tak jauh beda dari saat di aula, kelas dipenuhi dengan kesenyapan yang seakan
meresap di celah dada masing masing. Lalu kesunyian itu pecah oleh seorang
teman, cowok yang badannya paling macho satu kelas. Saat aku menengok ke
belakang, dengan wajah menunduk dalam dalam dia mengeluarkan suara serupa
desisan dengan sesekali mengelap ingusnya. Baru sekali ini selama dua tahun aku
dan teman teman melihatnya menangis.
Dua detik, tiga detik, satu persatu mengambil posisi yang
sama dan kita menangis berjamaah. Rasa takut akan UAN dan rasa sedih akan
segera berpisah dengan teman teman terus mengaduk aduk hatiku dan juga teman
teman. Banyak rasa yang telah kita kecap bersama, banyak kenangan yang telah
kita abadikan, banyak persahabatan yang telah kita jalin rekat rekat. Kini,
gerbang perpisahan terbuka maha lebar dan segera harus dilalui.
Dibandingkan kelas lainnya, kita memang terkenal paling
solid. Pun kita punya jaket kebesaran dengan simbol yang dirancang bersama
bertaburkan IPA 3 di segala bidangnya. Kita begitu bangga memakainya. Prosesi
pengambilan gambar demi buku Kenangan yang akan dibagikan saat Perpisahan dan
Pengumuman Kelulusan pun kita garap dengan super serius. Kita bahkan dengan
naik motor berjamaah mengambil gambar di dekat rumah wali kelas kita yang juga
begitu baik. Kita berpose begitu takzim di tengah sungai, di atas tong, bahkan
di atas serupa bangunan untuk menampung air. Seharian kita berpose dimana mana.
Karena hasilnya kurang maksimal, kita pun lagi lagi foto bersama di lokasi yang
berbeda dengan dress code atasan putih. Lagi lagi sepulang sekolah kita
langsung menuju TKP dan kini kita mengundang tim photography demi hasil yang
super memuaskan.
Sorak sorai masih terus membahani di menit menit
berikutnya. Lautan kebahagiaan jelas terlihat di gedung ini. Air mata haru
beruraian di mana mana. Bagiku, ini pun moment paling dahsyat selama aku
menginjak bangku SMA dengan balutan seragam putih abu abu. Aku dan temanku
terus bergiliran menyodorkan lengan dan berpelukan erat erat.
Banyak hamparan memori indah yang bergulungan hilir mudik
datang. Di bulan bulan terakhir kita sudah mulai rajin berfoto bersama guru
satu per satu sembari melebarkan spanduk bertuliskan XII IPA 3. Sehabis
pelajaran Fisika, kita berfoto bersama guru Fisika. Katam mempelajari pelajaran
Biologi, kita pun berpose bersama dengan guru Biologi berdiri begitu menawan di
tengah tengah kami. Selesai lompat harimau pun kita juga mengambil pose di
tangga sekolah bersama guru Olahraga. Semua moment telah kita bungkus rapi
untuk bekal kita. Banyak event yang sudah terangkum apik di penangkap momen
bernama foto. Bahkan, jumlahnya mencapai ratusan.
Pelukan hari itu pun sebagai muara terakhir kita sebagai
seorang anak SMA yang baru saja katam. Saat itu banyak sekali mimpi yang mulai
kita rajut masing masing. Pun kita mengarahkan tujuan yang berbeda beda. Tapi,
ada satu rencana dan janji kami yang kami bungkus bersama. Walau bangku SMA
telah usai dan kita tak lagi bertatap muka setiap hari seperti biasanya,
persahabatan kami akan terus terbina. Sampai dewasa kami akan terus mengulurkan
tali silaturahmi yang tak akan pernah putus.
Foto foto dengan dress code hitam dan merah yang menempel
lekat di mading kamar memunculkan kembali kenangan kenangan 4 tahun silam. Iya,
kini aku dan teman teman sudah beranjak dewasa. Bangku kuliah pun sudah
terkatamkan dan mimpi mimpi yang dulu mulai dipeluk kini telah teretas satu per
satu.
Tapi ada satu yang tetap sama. Persahabatan kami. Setiap
akan menjelang lebaran, saat semuanya pulang kampung, kami akan buka puasa
berjamaah. Lalu kami akan mengobrol kembali seperti saat kami masih memakai
seragam putih abu abu. Bedanya, bila dulu kami mengobrol tentang rasa gorengan,
harga bando, dan juga kisi kisi ulangan, kini bahan kami berputar pada mimpi
mimpi kami, rencana rencana kami, tempat tempat yang telah dan akan kami
kunjungi, juga tentang sosok masa depan. Dan lagi lagi mereka adalah serumpun
bola bola motivasi yang mematik semangatku untuk bisa terus maju, sama seperti
mereka yang terus mengayuhkan kaki bersama.
Sama seperti saat SMA, kita akan saling menginspirasi,
saling mendukung dan saling mendoakan keberhasilan masing masing. Bahkan, demi
terjaganya kekompakan kami, kami membuat piala bergilir yang bertuliskan 39
nama nama kita. Piala itu diberikan kepada siapapun yang melepas masa
lajangnya, yaitu menikah. Ya, kita akan datang ramai ramai dan memberikan piala
itu di hari resepsinya. Lalu, kita akan mengubah warnanya sesuai dengan urutan
kapan satu di antara kami menikah. Sudah tiga nama berubah warna. Ide brilian,
bukan?
Sejak piala bergilir itu tercipta, aku jadi mulai
bertanya tanya, kapan piala itu akan jatuh di tanganku?
Sekelumit kisah akhir sekolah yang mengharu biru dengan
awalan yang indah dan terus bersambung. Episode kita tidak tamat begitu masa
putih abu abu terkatamkan. Mereka adalah sahabat sahabat yang tidak bisa
ditemui di belahan bumi manapun.
Terimakasih sahabat sahabatku, dan semoga cerita kita
bisa menginspirasi.
Reggae gemstone products for example bands, breitling replica sale, necklaces, diamond earrings and many essentially necklaces are regarding creating a declaration, which as well, very graciously. The brand new period associated with Reggae hublot replica uk had been were only available in 1970s. Through the years, this particular jewellery may be revolutionary as well as fascinating. Designer watches tend to be the most crucial area of the selection. Reggae Gemstone cartier replica uk or even bands permit the sparkle to become more powerful as well as give a powerful feeling associated with energy. Every single wrist watches were created in a different way as well as individually in order to charm one's heart associated with women and men. Nevertheless, you will find several products obtainable in each and every class, therefore there isn't any possiblity to lose out on any kind of design. Reggae wrist watches, in no way walk out style plus they not just simply display period, but additionally deliver since the the majority of rolex replica jewellery item. The majority of the styles tend to be studded along with synthetic expensive diamonds, which makes it appear glitz as well as interesting. Their particular mixture of flower precious metal using the synthetic expensive diamonds impact everybody. Their own need happens to be amazing. Because these types of wrist watches can be found in types of styles and designs however selecting these types of chanel replica sale depends upon the person flavor from the users.
BalasHapusjordans
BalasHapuslouis vuitton outlet
jordans for sale
hollister uk
lebron james shoes
kobe bryant shoes
michael kors outlet online
ugg clearance
coach factory outlet
cheap jordans
uggs outlet
jordans
abercrombie and fitch
tory burch sale
abercrombie fitch
ed hardy clothing
coach outlet
giuseppe zanotti sneakers
ugg boots
canada goose outlet
ralph lauren polo
ray ban sunglasses
uggs on sale
uggs outlet
ugg boots on sale
louis vuitton handbags
michael kors outlet
gucci outlet
coach outlet
oakley sunglasses wholesale
louis vuitton outlet online
20151104yuanyuan