|
Meykke
Santoso
“Iya, sekarang laki lakinya sedang menangis di bangku
taman dengan daun daun yang berguguran...”
“Emang sekarang ceweknya kemana?” Aku terus
menyodorinya pertanyaan bertalu talu. Satu per satu dia menjelaskan secara gamblang
hingga aku bisa melihatnya dari mozaik detail yang dia berikan.
“Ceweknya pergi. Dia juga nangis... Lagi musim gugur nih,
perasaan dari tadi banyak sekali daun daun menguning yang berjatuhan.” Dengan nada ringan
dia menjelaskan semuanya.
Dia mengusap mesra
rambutku sembari terus ‘mengudara’. Aku hanya mengulum senyum, sama persis
seperti banyak malam sebelumnya.
--
Derap langkahku
terdengar begitu ringan menuruni tangga. Bima telah menunggu di muka rumah,
membawakan sekuntum bunga mawar berona merah muda, kesukaanku. Empat tahun
berlalu dan hati kita masih menyatu, bahkan angan angan untuk bersatu seutuhnya
berkali kali menghiasi percakapan kita sambil menyantap makan siang bersama
atau menghabiskan malam dengan pijar lilin di tengah meja.
“Happy four anniversary!” Raut wajahnya
begitu berseri. Rona hangat menjalari seluruh wajahku, bahkan sekarang pipiku
bersemu bak rangkaian mawar itu.
“Heiiii...Aaaak!” Aku sedang akan meraihnya saat tiba
tiba aku tersungkur tepat di depannya. Dia yang terlonjak kaget segera
bersimpuh untuk menolongku. Akhir akhir ini aku sering sekali tidak cekatan,
selalu menabrak barang barang yang ada di depanku. Aku dengan sigap segera
berdiri dan merapikan dress floral yang baru aku beli kemarin. Aku melanjutkan
rekahan senyumku.
“Kamu nggak papa?”
“Sangat nggak papa... Tau nih barangnya ngalangin jalan.” Aku segera
menyambut lengannya dan melangkah keluar. Sesampainya di sebuah restoran, lampu
terlihat nyala benderang bukan kepalang, hingga aku menyipitkan mataku yang tak
kuasa oleh terangnya.
“Dimana kita?” Ucapku sambil terus menyipitkan kelopak mata saat dia
membuka mataku yang semula ditutup secarik kain.
“This is my surprise!!” Lalu dari ruangan super terang itu
tiba tiba muncullah Ayah, Ibu, Ayahnya Bima, Ibunya Bima, dan para sahabat.
Anehnya, mereka tidak memicingkan mata. Bagiku, terang ini sungguh menyilaukan,
hingga mataku berair.
“Sayang, jangan nangis...” Bima mengusap
rambutku lembut. Bulir bulir di mataku terus meruah, antara tak kuasa menahan
haru dan juga tak kuasa menahan terang yang menyilaukan dari lampu pijar
restoran. Hari itu, Bima melamarku. Tepat di tahun keempat kita, dia ingin
menautkan hatinya selamanya untukku. Dan tepat di tahun keempat kita, aku juga
harus menelan kenyataan yang memekikkan hati, mengiris relung, dan memadamkan
anganku.
Aku terpekur di
kursi sebuah ruangan berdinding putih pasi, mendengarkan kata per kata dokter
yang juga duduk tepat di hadapanku. Bahkan, lama kelamaan kata katanya semakin
lamat, tergantikan dengan bayangan bayangan yang akan aku jalani sesudahnya.
Terang yang semakin gelap dan gelap yang semakin tak terlihat. Mataku meruah,
hatiku memekik tanpa suara. Gigiku gemeretak tak kuasa menahan bayangan masa
depan yang akan segera menjadi kenyataan. Di sebelahku, Bima terus memegang
lekat lekat sela sela jariku, seakan terus mengalirkan semangat dan harapan.
“Semuanya akan baik baik saja, sayang...” Dia terus
mengulangi kata kata itu seakan aku akan terus melupakannya. Kenyataannya, aku
bahkan tidak pernah mengingatnya.
Siang itu aku
menatap lekat lekat wajah Bima, seolah lusa wajahnya hanya ada di angan semata.
Mataku sembab oleh butiran yang terus mengalir keluar, menyisakan rongga hitam
kelam tepat di bawah pelupuk mata.
“Apa kamu yakin?” Aku bahkan tidak mengucap kata barang
sepatah. Tapi, seakan tahu segala suara yang terus bergelayut di hatiku, dengan
menatap bola mataku menembus hingga ke relungku, dia berbisik.
“Apapun yang terjadi aku akan tetap bersamamu, Elita...” Setiap kata katanya
membawa ruh. Dia melesatkan harapan penuh di rongga dadaku yang telah kosong,
sejak malam kita menuntaskan tahun keempat itu. Dia meraih tubuhku, dan aku
terbenam di dadanya yang bidang. Saat itu, dia memberiku penuh pengharapan.
Sebulan kemudian, dia benar benar mengikrarkan janji sucinya. Aku masih
berdesir haru setiap kali mengingat moment mengharu biru itu.
“Semuanya akan baik baik saja, Elita...Aku akan terus ada
bersamamu...” Dengan segenap jiwa dia penuhi semua kata menjadi nyata.
---
“Yang, sekarang episode 18 dong...” Aku sudah siap
sedia dengan semangkuk besar pop corn yang masih lengket dan hangat. Dia serta
merta memasukkan DVD dan ikut mencomot pop corn keju kesukaan kita berdua.
“Wah, kan kemarin begitu ditinggal Park Shin Hye, Lee Min
Ho jadi brutal banget dan nggak niat hidup banget khan. Sekarang, dia mencari
park Shin Hye dan ketemu nih...” Gue terus ‘melihat’nya dengan penasaran yang memuncah
muncah. Bima terus ‘mengudara’.
“Ah, akhirnya...papa Lee Min Ho setuju juga. Sekarang
mereka berpelukan, Yang...” Gue mengulum senyum. Tangan Bima menari nari di
rambutku, mengelus halus sambil terus berkelakar. Sama seperti 5 tahun yang
lalu, saat kita memutuskan untuk menautkan hati di perjanjian yang suci.
“Anda menderita Glaukoma Kongenital yang memang bisa
menyerang dewasa. Glaukoma adalah sekelompok penyakit mata yang merusak saraf
optik. Saraf optik yang terletak di belakang bola mata, berfungsi membawa
informasi dari mata ke otak. Ketika saraf optik rusak, maka penglihatan Anda
bisa terganggu. Untuk jenis ini, mata Anda akan berangsur angsur kehilangan
penglihatannya.” Lima tahun yang lalu, dunia ku runtuh di detik detik aku
akan membangun kebahagiaan raksasa bersama Bima. Namun,“ Semuanya akan baik
baik saja. Aku akan selalu bersamamu, menjadi matamu...” milik Bima membangun
lagi puing puing harapanku, dan kini, rumah kita terbangun sempurna. Glaukoma
memang memudarkan cahaya di mataku, dan walau aku bisa menahannya dari
kegelapan abadi, pelan tapi pasti gelap akan mendatangiku juga. Namun, seberapa
pudar bayangan objek di retina mataku, aku yakin satu hal. Hati Bima untukku,
takkan pudar. Setiap malam dia masih setia menceritakanku drama drama Korea
sembari melibas habis pop corn keju yang masih lengket dan hangat. Setiap itu
pula Bima akan menjadi mataku. Glaukoma memang musibah terbesar dalam hidupku.
Tapi, Tuhan benar benar Maha Adil. Saat dia menghadirkan penyakit, di saat itu
pula dia menghadirkan penawarnya. Maka, tak lain tak bukan penawar dari segala
sakit yang mendera adalah Bima.
Sweet story.
BalasHapusSeperti dongeng yang ada dalam drama Korea.
Febriyanlukito.com