Meykke
Santoso
“Ah, dia datang lagi!” Aku mengulum senyum. Dadaku
bergejolak, lagi.
“Dia datang lagi...” Aku mencoba merapikan wajahku
yang cenderung usang dan lusuh. Rasanya kurang indah saja hariku tanpa
hadirnya. Dia kemudian duduk di sebuah bangku paling ujung, tepat mengarah ke
jendela. Dia mengeluarkan sebuah benda kotak besar berwarna hitam yang ku kenal
sebagai laptop. Dia membuka lembaran kotak besi itu dan jarinya mulai menari
begitu lincah di tut laptop. Lagi lagi, seperti biasa, untuk ke sekian kalinya,
aku harus puas memandang punggungnya saja. Ah, pantas saja dia ke sini. Hari
ini adalah hari Sabtu, hari libur untuknya. Hari ini adalah hari Sabtu, hari
pertemuan rutin kita. Mataku terus tertuju pada bangku pojok itu.
“Namanya Satria....”
Aku terkejut.
“Apa?” tanyaku, bingung.
“Iya, namanya Satria..” Temanku ini tahu benar apa
yang sedang ada dalam pikiranku. Dia hanya tersenyum simpul, duduk dengan
jumawa tepat di depanku.
“Bagaimana kau tahu?” tanyaku lagi.
“Aku sudah pernah pergi bersamanya. Dari situ aku
tahu namanya. Kamarnya sangat luas, Deru! Bahkan, hampir sama luasnya dengan
ruangan ini. Dia adalah seorang penulis!” Sahabatku, Ave bercerita dengan
menggebu gebu. Tapi, aku menyangsikan penuturannya. Bagaimana mungkin seorang laki
laki seperti dia mau pergi bersama Ave? Bukankah kita ada di jaman yang
berbeda? Bahkan, aku tak ingat lagi kapan terakhir kali aku meninggalkan
singgasanaku ini. Mereka hanya melihat sekilas lalu berlalu. Bahkan, sekedar
melihat pun mereka rasanya sudah terlalu jemu.
“Satria...” Tanpa sadar aku menggumamkan nama itu.
Nama yang indah. Bagaimana kalau Satria dan Deru? Ah, cocok sekali bukan? Semua
khayalan memang selalu terlihat cocok, bahkan khayalan kosong sekalipun.
--
“Ave, dia mendekati kita!” Bias mentari mulai
redup merembes melalui jendela ruangan, menyisakan sinar keemasan. Lekat lekat
ku memandang wajahnya yang terlihat berpendar terkena sorot sinar temaram.
Sekarang ku bisa melihatnya dengan lebih leluasa. Matanya menyisir kami yang
berderet rapi dengan sangat serius. Alisnya lebat dan hampir berpagutan satu
sama lain. Bibirnya tipis dan dagunya lebar, terkesan sangar. Hidungnya tak
terlalu mancung, tetapi tidak juga menjorok ke dalam. Kulitnya sawo matang khas
laki laki Indonesia, seperti Tuanku dulu. Tuanku dulu sangatlah hebat. Namanya
saja mampu melalang buana. Goresan pikirannya didengar orang banyak. Namun
sekarang? Jaman telah berubah. Mereka mulai meninggalkan dunia kami dan terlena
oleh dunia sejuta layar. Tuanku samar samar lenyap dan aku hanyalah teronggok
kesepian bersama anak Tuanku lainnya. Tapi aku tak mengapa. Asal Satria mau
barang sekali saja pergi bersamaku.
“Sekali saja, Tuhan...” Aku menahan nafas dan
mengucap do’a tanpa suara. Sekali saja Satria merengkuhku. Ku ingin merasakan
hangat genggaman tangannya. Kita lalu akan pulang bersama. Terlampau senang
bila dia mau menjamahku. Akan dengan senang hati aku membuka diri, helai demi
helai, lembar demi lembar. Akan sangat bahagia kalbuku bila dia bisa mengingat
setiap isi dalam diriku lekat lekat, kuat kuat. Aku membuka mata dan Satria
lenyap dari pandangan. Aku tertunduk pilu. Air mataku mulai berkubang.
“Ah, lihat diriku, Ave! Tak ada yang mau
mengajakku pergi. Kita sudah terlalu lusuh dan dekil. Kita...” Hampir saja
tangisku berderai saat seorang lelaki berseragam mendekatiku. Ah, lihat!!
Satria mengekor di belakangnya!!
“Ini mas yang Anda cari, Deru?”
“Owh iya, terimakasih...” Aku mencoba tersenyum
semanis mungkin. Mataku yang semula berkubang sekarang merekah seketika. Tuhan memang Maha Membolak balikkan nasib umatNya. Kini, hangat
dekapan Satria bukan lagi sebuah mimpi.
---
Satria menatapku lekat lekat. Dia membuka lembar
demi lembar hingga akhirnya matanya tertuju pada salah satu goresan Tuanku. Dia
tersenyum, matanya berbinar. Dia seakan menemukan harta karun paling berharga.
Ah, aku jadi malu. Kalau begitu, bukankah harta karun itu aku?
Dia kemudian membuka kembali laptopnya dan
mengetik secepat kilat, seakan dia sudah menyelami huruf demi huruf dalam
laptopnya. Dia seperti pemain piano yang bahkan bisa lincah memainkan campuran
tut hitam dan putih dengan mata tertutup. Selesai menulis, dia menempatkanku
pada benda kotak hitam lainnya. Dia menempelkan lembaran demi lembaran.
“Teet!!”
Cahaya panjang seakan berjalan pelan melewati
tubuhku dari atas ke bawah, bawah ke atas, berulang ulang.
“Terimakasih...” Aku hampir tak percaya. Satria
menatapku lekat lekat dan berucap lirih.
“Justru aku yang harus berterimakasih padamu,
Satria...” Aku balik menatap lekat lekat.
“Terimakasih. Karenamu, aku bisa menggali
semangatku... Lihat, Deru! Aku mengabadikan isi dirimu.” Seakan dia berbicara
padaku. Aku pasti sudah gila. Aku kini melihat pantulan diriku di layar
laptopnya. Lembaranku ada di situ! Tertera nama panjangku di atas pantulan
beriringan dengan goresan rasa Tuanku.
Aku
Chairil Anwar
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Tuanku benar. Tak peduli aku yang lusuh dan dekil
ini akan tersisih, teronggok di sudut labirin perpustakaan. Tak peduli lagi
keberadaanku tak dipedulikan orang. Asal jiwa Tuanku hidup seribu tahun lagi
dalam diriku, aku tak peduli. Kini aku masih di genggaman tangan Satria. Kini,
berkat Satria aku punya saudara kembar yang akan melesat lebih jauh, menggaung
lebih keras, dan mampu menembus dunia para layar. “Deru Dalam Debu E-Book”
“Terimakasih Satria....”
Ternyata Deru ini ceritanya buku kumpulan buisi Chairil Anwar ya? Kirain awalnya dia cewek lo. Dan temen si Deru ini si laptop itu ya, atau yang lain? Udah yakin awalnya Deru cewek, di tengah dan akhir entah kenapa jadi malah samar-samar, siapakah Deru ini sebenarnya? Dan setelah baca puisi Chairil Anwar dan di kata terakhir "Deru Dalam Debu E-book", akhirnya aku paham dengan cerita ini :)
BalasHapusMemang, kadang yang lusuh sering tidak dijamah, ini bukan berarti terlupakan, ini bahkan adalah arti bahwa yang lusuh punya orang-orang ekslusif yang menjamahnya :)
jadi ingat sinetron zaman SD dulu deru dan debu *keliatan tua*
BalasHapuswah ternyata deru adalah sebuah buku, awalnya nyangka cewe. keren-keren .
selalu inget dengan tumpukan buku di perpustakaan, ada kagetnya sendiri klo nemu buku bagus di antara buku-buku itu. walaupun agak lecek klo dapat nyawa bukunya pasti baca sampai tuntas.
jangan lihat buku dari leceknya, tapi dari isinya ^^
keren ceritanya, saya kira Deru ini cewek, tapi makin ke bawah, ternyata makin terungkap siapa sebenarnya Deru ini. Ceritanya menurut saya keren sekali, endingnya juga bagus, menghanyutkan pembaca, termasuk saya :)
BalasHapusKisah dari kumpulan cerita seorang penulis sastra yang gue gemari karyanya.
BalasHapusAda banyak kiasan yang ia siratkan dalam kata menjadi sebuah cerita yang apik dan patut sungguh untuk dikenang.
Sempet ngira, sih. Karakter pada paragraf awalnya itu cewek. Karena secara visual sendiri seperti seorang cewek. Makanya yang lain banyak ngira gitu. Padahal, ceritanya sudah disetting seperti ini.
Keren, deh. Gue gak ragu lagi kalo kak Mey bisa nulis sekeren ini.
Dari awal ngiranya cewek, serius. Soalnya temennya itu ngasih tau kalau nama dia Satria, nah kirain ada dua cewek yang juga lagi duduk di perpustakaan dan mengamati si Satria.
BalasHapusSempat juga berfikir cewek yang lagi merhatiin Satria itu udah tua dan lusuh, udah beda jaman dan nggak mungkin bisa lagi ngedeketin Satria. Tapi ternyata bukan, ternyata bayanganku tentang cerita ini salah ketika udah sampai di paragraf akhiran.
Ternyata di Deru ini beda ya bukan cewek. Sumpah aku dipermainkan Kak Meyk nih, aku ketipu banget. Terus si Deru itu apa, kok ada puisi Chairil Anwar? Apakah si Deru ini buku. Entahlah aku masih bingung si Deru itu apa kak.
Wah, twistnya kena banget. saya kira pertama ini cewek
BalasHapusterus pas dia bilang tuan saya kira dia binatang peliharaan
eh ternyata kumpulan karya dari chairil Anwar.
keren ceritanya...