MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

Gadis Berlumuran Tanah

Gadis Berlumuran Tanah
Add Comments
Selasa, 14 April 2015
Penerbit Harfeey, Februari 2014 (Indie) - Cerpen
Genre : Horror




Meykke Santoso
“Ken, Nicken! Bukain, Kenn!!!”, ucap Sekar setengah menjerit.

“Kenapa?”, ucapku seketika saat menangkap nada suaranya yang tak biasa.

“Udah, bukain!!”

Cepat cepat ku berbenah, ku pungut rok Pramuka dan langsung aku pakai saja. Baru saja aku membersihkan badan di ambang maghrib itu. Seusai kegiatan sore, aku bersama teman teman yang lain langsung menyerbu jejeran kamar mandi di ujung tanah perkemahan yang dibangun persis di pinggir jurang menganga. Begitu sampai, aku langsung memilih kamar mandi di tengah jejeran, lampu yang redup membuat tembok kamar mandi menjadi putih kekuning kuningan dengan beberapa cat yang sudah mengelupas di sana sini.

Dan belum sampai berbenah, tiba tiba Sekar menggedor gedor pintu kamar mandi dan mendesak untuk masuk.

“Kenapa?”, ucapku begitu membukakan pintu. Tanpa babibu, dia merangsek masuk dengan nafas tersengal sengal dan wajah pucat di level pasi.

“Ken. Ken.”, ucapnya tergagap gagap.

Kala itu aku sudah berseragam sempurna dengan rok pramuka beserta kemeja berkancing dengan warna senada.

“Ih, kena”

Baru saja aku mengulangi pertanyaanku, tiba tiba mataku menangkap ujung lembaran kain putih kusam dengan bercak tanah dimana mana, menempel erat di atap, tepat di atas kepalaku. Nafasku seketika terhenti. Dan seketika aku mendongak ke atas.

Rambut panjang nan gimbal, berbalut jubah putih nan dekil dan kumal. Dan antara sadar dan tidak sadar aku melihatnya, tepat di atasku! Dia menempel di tembok dengan rambut terurai dan kuku panjang penuh tanah yang mencengkeram kuat di atap kamar mandi.

Detik detik pertama aku hanya bisa mematung melihat pemandangan di atas kepalaku, nafasku tiba tiba tertahan dan dingin seketika menyetrum tubuh dari kaki hingga kepala. Kerongkonganku seakan tercekat dan bahkan aku lupa caranya berteriak.

Detik berikutnya, aku langsung berteriak sekencang kencangnya sembari membuka pintu dengan langkah yang seribu kali terasa berat sambil terhuyung huyung. Segala do’a langsung meluncur dari mulutku. Aku bahkan masih tidak habis pikir tentang makhluk yang bisa menempel di atap dengan kain putih kusam yang membalut badannya. Seharusnya aku lari saja tunggang langgang menuju kemahku bersama teman teman. Hanya saja, jarak kamar mandi dan kemah lumayan jauh dan rasa rasanya kalau aku ke sana sendirian aku hanya akan menambah petaka. Terlebih lagi lampu yang redup seketika meredam nyaliku untuk tunggang langgang. Akhirnya Sekar menyusul keluar dengan muka yang jauh lebih pucat dari sebelumnya.

“Ken, ayo Ken!”, ucapnya dengan bibir membiru. Saat itu juga teman teman keluar dari kamar mandi. Rasa rasanya kakiku sudah lemas. Aku dan Sekar bahkan bergandengan erat sekali. Kita harus melewati sisa jalan di antara deretan kamar mandi.

Dan lagi lagi mataku menangkap sosok yang sama, jongkok di dalam kamar mandi dengan kaki tak menyentuh lantai. Sekilas ku lihat matanya menyorot tajam ke arahku dengan rambut mobrak mabrik yang menutup sebagian mukanya dengan kulit putih pucat dengan begitu banyak bercak tanah di sekujurnya.

“Astaghfirulloh astaghfirulloh!!”

Seketika aku layangkan pandang ke arah lain, dan betapa terkejutnya saat dia tiba tiba berdiri begitu dekat di samping Winda, temanku dalam regu yang sama. Kali ini pandangannya mengarah ke Sekar, dengan tatapan dingin di antara rambutnya yang berantakan.

“Ayo cepeett!!!”, ucapku dengan tangis yang sudah meledak. Aku bersama teman teman pramukaku segera lari tunggang langgang dan kembali ke perkemahan. Sampainya di kemah, lututku sangat lemas, dan keringat sudah membanjiri sekujur tubuh. Badanku terasa begitu berat. Dan pelan tapi pasti, semuanya gelap.

“Ken?? Niken??”, suara guruku membangunkanku. Kepala masih terasa begitu berat dan beberapa detik aku membuka mata, semuanya seakan berputar putar.

“Kamu lagi menstruasi ya?”, ucap seorang bapak yang juga duduk di sampingku. Aku hanya bisa mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sosok itu masih lekat di pikiranku, baju kumalnya beserta kuku kuku nan panjang dengan muka putih pasi dengan bercak tanah di sekujurnya lengkap dengan tatapan matanya yang mengarah ke mataku. Bahkan aku masih bisa merasakan saat mata kita beradu. Aku menangis sejadi jadinya.

“Tadi yang melihat setan gadis itu hanya adek Nicken dan adek Sekar khan? Karena kalian yang membuang pembalut di jurang tepat di pinggir kamar mandi. Ada satu makam di semak semak, di dasar jurang itu...”, ucap bapak itu.

Dan seketika memori bergulung ke belakang, dari awal aku berkemah di sini, aku sudah berkali kali membuang pembalut di jurang itu. Dan kini, aku harus membayarnya.
Dan di pintu tenda aku masih bisa melihat kelebatan jubah putih kusam dengan bercak tanah di sekujurnya.

(Seperti yang dikisahkan Nicken Santoso pada penulis saat dia berkemah, kelas 2 SMP)





Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. Ini salah satu part di buku itu yaa..?? dan based on true story..?? beneran serem... *untung bacanya masih sore dan ada banyak orang*

    tapi emang kalau lagi kemah gitu emang harus hati2 dan jangan sampe buang2 sesuatu secara sembarangan...

    BalasHapus
  2. Kok yang menghantui bukan vampir gitu. Kan vampir sukanya darah apalagi pembalutnya kan bisa dijadiin teh celup oleh si vampir itu (?)

    Ya salah sih kan daerah gitu banyak hal ghaibnya jangankan buang pembalut sembarangan, buang sampah biasa sembarangan aja nggak boleh. Mungkin harus lebih hati-hati aja kalo mau buang sesuatu

    BalasHapus
  3. Ini apa Mey, salah satu adegan di buku itu?? Apa cerita yg kamu bikin sendiri??

    Kalo ini cerita nyata, widih merinding! 😖

    BalasHapus
  4. Waduh kok tumben-tumbennya mba bikin cerita horor gini,biasanya kan yang romantis. gue bacanya sempet agak merinding juga sih, apa lagi ini kejadiannya ketika camping, mengingat gue suka camping, jadi agak ngeri juga.

    dari cerita ini ada pesan moralnya juga nih. emang bener sih etika kita saat berada di alam bebas,atau tempat lain. kita harus jaga sikap dan perilaku kita, dan usahakan jangan sampe buang sembrangan, apalagi kencing. agar penunggu atau makluk lain yang berada di situ gak merasa terganggu.

    BalasHapus
  5. Huft... untung gue bacanya pas sore ngini, kagak malem-malem. Kalau kagak, kagak berani ke kamar mandi nih gue ._.

    Hm, ternyata based on true story ya, cerite temen ya, Mbak? Pesan moralnya kayaknya bener yang dibilang Fahmi, intinya jangan 'buang' sampah sembarangan :)

    BalasHapus
  6. pertanyaan yang sama, ini bagian dari buku itu kak ceritanya?
    dan masa ini true story? aku lak takut sendiri jadinya -_-

    memang kalo mau berkemah harus hati - hati, ucapan aja juga harus dijaga :)

    BalasHapus