Meykke Santoso
“Sudah....”
Dia berdiri tepat di ambang pandangku, berbalut jaket
tebal berwarna hitam pekat dengan dalaman kaos dual warna hingga kedua sisinya
bisa dipakai semua. Dia berlindung di ujung jaket. Maklum, udara begitu dingin,
dan rinai air tak mau berhenti mengguyur. Kita mematung.
Pandanganku terus merangsek menjelajah secara paksa ke
penjuru retinanya. Makin lama, matanya terlihat kabur, tertutup rinai yang akan
kuciptakan sendiri.
Detik detik berikutnya, kami masih mematung, menyelami
mata masing masing sampai mataku terasa terbakar. Ah, jangan tanya hatiku. Tak
peduli betapa dingin hawa menerpa kulit ariku yang terbalut jaket tebal, toh
hatiku porak dalam batas poranda. Semakin lama memandangnya, rasa rasanya ada
gumpalan yang terus membesar memenuhi dada, seakan ingin keluar tapi tak bisa.
“Apa?” Aku berharap aku salah dengar. Aku berharap perjumpaan
sore ini adalah bunga tidur siang bolongku saja. Nyatanya, ini lebih dari
sekedar petir di siang bolong. Ini lebih dari jilatan tsunami yang menyambar
seisi hati. Kaca kaca di mataku semakin menebal, siap tertuang menganak pinak.
Masih berdiri tepat di depan tubuhku, dia menghela nafas
terberatnya. Sorot nanarnya menancap mataku. Dengan begitu sigap aku membuang
muka. Sedetik lagi aku melihat matanya, pipiku hanya akan seperti tanah sore
ini. Namun, usahaku nampaknya sia sia. Dua detik berikutnya, pipiku berkubang,
hatiku berlubang.
Aku tak mampu lagi menatap air mukanya. Aku menunduk
sendu, menatap jaketnya. Tak ulung dalam sejekab mata, jaket ini menggulungkan
memoriku.
“Haiiiiii!!!
Happy Birthdaaaaayyyy!!” Bersama
dengan kakaknya, kita merangsek masuk ke kamarnya. Dia terlihat kaget dengan
binar binar matanya yang tertangkap jelas di memoriku. Dengan muka agak bengkak
khas bangun tidur dan matanya yang masih memerah, dia duduk di pinggir tempat
tidurnya. Aku tersenyum 5 jari begitu melihat ekspresi wajahnya. Dia berbalik
tersenyum padaku.
“Happy
Birthdayyy!!” ucapku lagi
sembari mendekat padanya. Pagi pagi sekali dengan melajukan motor kesayanganku,
aku berangkat ke rumahnya yang terbentang sejauh 25 km. Pun aku bekerjasama
dengan kakaknya. Sehari sebelumnya, tanpa sepengetahuan dirinya, kita membeli
kue ulang tahun bertabur oreo kesukaannya dengan hiasan lilin berkepala dua
dengan satuan satu.
Begitu ayah ibunya bergabung bersama kita, dengan kompak
penuh wajah ceria kita menyanyikan lagu happy birthday disusul tiup lilinnya
dan bagikan kuenya. Selesai melahap kue dengan menyesap secangkir kopi bersama,
kita siap mengguyurnya dengan kado kado.
Giliranku adalah pertama. Maka dengan malu malu, aku
menyodorkan satu bingkisan berisi jaket berwarna hitam kesukaannya. Raut wajahnya
semakin berseri seri, dan bahagiaku menjadi jadi.
“Waaah,
makasih Raina....” ucapnya sembari
mendekat padaku, dan menempelkan kepalaku pada dadanya yang bidang. Aku hanya
mengangguk ringan sembari menyambut pelukannya dan menepuk nepuk punggungnya.
Tak ada lagi rasa canggung rasanya. Toh kita sudah begitu biasa berkumpul
bersama. Tak jarang kita membidik salah satu film yang sedang ‘in’ dan
memanjakan mata bersama sekeluarga. Juga, kita sering berkunjung ke salon
bersama sekedar untuk facial atau creambath. Bahkan, ibunya sudah aku anggap
selayaknya ibu sendiri.
Lalu dia membolak balik jaket hitam itu. Tak puas hanya membolak balik saja,
dia kemudian mengenakannya. Selesai dipakai, dia kembali meleparkan senyum
kepadaku. Ini belum usai, di bingkisan lainnya di dalam kado, aku meletakkan
surat yang terlihat begitu menggumpal.
Dia hanya bisa melotot begitu membukanya.
“Raina....”
Aku merekam erat erat satu kata yang terucap dari
bibirnya begitu dia berhasil membuka surat surat itu.
“21??” Ucapnya kemudian. Aku hanya mengangguk dengan sesungging
senyum yang terus menempel.
Seumur umur, ini adalah surat terbanyak yang pernah aku
berikan kepada seseorang yang berhasil masuk begitu dalam. Saat itu seolah olah
poros bernama ‘kita’ tidak akan berhenti berputar. Kita saling berpandangan dan
mengulum seutas senyum, seakan akan bersama akan meretas bahagia yang tak
berujung.
Kembali aku menelan ludah walau tenggorokanku seakan
tercekat. Kering kerontang. Seolah dia bukan Bima yang menerima 21 surat 2
tahun silam.
Kini air sudah menjulur memenuhi pipi dan aku tak lagi
peduli.
“Sudah,
Raina..sudah cukup..” Ucapnya dengan
nada bergetar.
“Kenapa?” Dengan sekuat tenaga, aku mencoba meredam ledakan.
“Aku nggak
bisa lagi...”
Persetan dengan nggak bisa lagi, batinku. Lima tahun yang
lalu, bersama guyuran air hujan di batas maghrib, dia bilang pasti bisa dengan
awalan ‘kita’
“Raina...aku
yakin kita pasti bisa jalani berdua..”
Kalimatnya masih terasa begitu nyata mendengung di gendang telingaku. Bahkan
dia tidak menanyakan bagaimana hatiku kepadanya. Ah, toh itu juga tak perlu.
Binar mataku saat itu menjawab semuanya.
Saat itu kita sedang menyesap kopi dengan asap yang
menari nari di udara, bergulung gulung tersapu udara. Tepat di depanku hanya
berbatas meja, dia mengucapkannya dengan mata teduhnya menancap tepat di kalbu
mata. Pertama mendengarnya, aku hanya bisa menahan nafas.
“Ini adalah
moment yang paling aku tunggu”
Toh nyatanya, hatiku telah berlabuh di sosoknya setahun
sebelum kalimat itu meluncur dari bibirnya. Kupu kupu seketika beterbangan
memenuhi perut dan dentuman jantung terasa sampai di ubun ubun. Rinai hujan
menjadi saksi bagaimana kita seharusnya bisa bersama. Nyatanya, tidak.
Lagi lagi hujan menjadi saksi mata momentum dahsyat perjalanan
derap hati kita. Gigiku bergemeretak, ngilu seketika menjalar. Aku hanya bisa
meremas remas sendiri tanganku hingga ujung kukuku mencuat dengan kuku yang
memutih menahan perih. Dadaku terasa sesak dan aku hanya ingin menghambur ke
tengah hujan dan berteriak sekencang kencangnya.
“Ya sudah...” jawabku di akhir perjumpaan. Toh aku tidak bisa
mengupayakan sesuatu yang memang tidak mau lagi diupayakan. Toh aku tidak bisa
mengayuh sendiri sebuah kapal dengan nahkoda yang memang ingin tenggelam.
Bulir bulir air terus menjalar turun layaknya cinta kita
yang harus turun tahta. Bila ditoleh ke belakang, memang banyak hal yang
menghambat jalan kita. Banyak hal kecil yang berubah menjadi begitu besar, dan
hal besar yang menemui kebuntuan. Begitu banyak pertengkaran tak terselesaikan
yang mencuat di tahun kelima kita bersama. Jenuh dan bosan pun seringkali
menari nari di pangkal hati. Dan dari banyak jalan, dia memilih jalannya
sendiri, jalan untuk sendiri.
“Makasih
Bim...” Aku tak kuat berlama lama
berdiri di hadapannya. Dadaku sudah begitu sesak dan pedihku sudah begitu
menggumpal. Rasanya aku ingin muntah seketika juga. Sekejab aku memakai helm
dan mulai menancap gas di ujung genggaman tangan. Terus dan terus aku tarik
dengan pandangan yang semakin buyar. Badanku begitu ringan seakan melayang,
menikung nikung di antara para pengendara yang masih berbalut mantel. Bahkan,
aku lupa memakai mantel. Di tikungan selanjutnya, sorotan maha terang langsung
menyerbu mataku, menelantingku sedemikian rupa. Aku hanya bisa merasakan
dentaman keras menghantam dadaku, hingga kini dadaku terasa begitu lapang.
Hanya saja, semuanya terlihat buram. Aku tiba tiba mengantuk dan sedang akan
terlelap saat sayup sayup aku mendengar suara Bima meneriakkan namaku.
“Rainaaaa!!!
Rainaaaaa!!!”
“Kenapa lagi
Bima?”
Meyke,.. kakak memang keren sekali!
BalasHapusWuih, antologinya udah yang ke-12 tuh.. kirim ke aku dong!! Hehe...
Hem.. membaca cerita di atas awalnya aku kira berakhir dengan nyaman. Ngga taunya, endingnya menyesakkan sekali. Ingin nangis...
Jadi ini ceritanya diputusin terus pulangnya kecelakaan gara-gara ditabrak sinar terang-benderang gitu yak. Hahaha -_- tapi di tengah-tengah sempet flash back tentang betapa romantisnya mereka berdua.
BalasHapusLucu aja gimana dua onggok manusia saling menyayangi di suatu waktu, dan di titik waktu lainnya semuanya berbeda... ditunggu cerpen yang alur-alurnya mengotak-atik otak pembaca kak Meyk!!!! :D
Pertama, aku suka banget ceritanya karena lagi-lagi, menurutku kamu punya banyak diksi dalam setiap postinganmu Kak. Itu jadi nilai lebih juga. Pembaca jadi nggak bosen. Hmm..., boleh ya aku curi-curi diksi yang baru aku temui? Hehe..
BalasHapusKedua, aku sempet bingung juga sih sama alurnya. Sebenernya ceritanya keren. Apalagi dipadukan sama kosakata yang beragam. Tapi karena aku lemot, aku jadi harus baca dua kali buat paham. Ternyata ini alurnya maju undur. Bener nggak? Kalo bener, aku pengen ngasih saran nih mudah-mudahan nggak keberatan :D
Itu kan alurnya maju mundur, nah but ngebedain saat sekarang dan saat flashback, mending dikasih perbedaan kak. Misalnya saat udah beda adegan, pake pembatas *** atau pas adegan masa lalunya tulisannya pake efek italic gitu. Biar nggak pusing aja. But overall, very nice and really enjoy to read ur story :))
Manis banget. Pemilihan katanya kuat, tadi pas bacanya aja beberapa kali tersentuh. Suka sama cerpennya.
BalasHapus"Toh aku tidak bisa mengayuh sendiri sebuah kapal dengan nahkoda yang memang ingin tenggelam."
wahh keren bahasanya..
BalasHapusitu baru 21 surat aja dibilang banyak -__- ..
Nyesek bacanya hahahaha :v
pengunjung baru nih hehehe seru juga ternyata =))) btw nama raina itu klo ditambah 'h' ditengahnya jdi berarti ratu loh ;) "rainha" hehhee that's my name from someone, jadi saya tertarik bgt bacanya meskipun telat huehhe...smoga tulisanmu menginspirasi ya ^_^
BalasHapusgak salah kalo tiap nulis ceritanya selalu tembus di buku2 antologi...
BalasHapuskeren banget, gue akui emang ceritanya syahdu banget. penulisannya juga udah rapi.
endingnya sengaja dibikin ngambang gitu ya... bahasa yang menggelitik menurut gue 'menelantingku' hahaha
tapi bagus Meyk secara keseluruhan... tinggal nunggu waktu aja buat kamu bisa punya buku sendiri
Pertama kali ne baca cerpen kak mei, maklum anak baru. Bahasanya keren, banyak kata-kata sederhana yang dirangkai jadi terkesan dalem banget. kayak jilatan sunami yang menyambar seisi hati :D
BalasHapussesyahdu lagu india..ngena banget mbak meyke....keren banget....bener ..g salah kalau udah sampek nembus 12 antologi.....semoga terus bertambah
BalasHapusaku komenin ya kak mei... gini, aku suka banget ama majas - majasnya... cara merangkai kata - katanya juga bagus... untuk alur ceritanya, sebenernya nggak terlalu sulit dipahami, mudah tapi cukup mengena... tapi aku belum menemukan sesuatu yang wow di cerpennya... apa emang akunya yang konslet apa gimana... hmm, menurutku sih, kurang greget aja...
BalasHapusbtw... bener kata kak dwi diatas... pas lagi flashback atau ganti alur, sebaiknya dikasih tanda gitu...