Ini adalah cerpen yang aku ikutkan dalam lomba bertema "Cinta Terlarang". Sayang, nggak masuk jadi kontributor. Daripada menggelepar tak terjamah, aku tampilin di sini saja. Silahkan komentarnyaaaa :)
Meykke
Santoso
sumber |
Hujan. Ya, sore itu hujan begitu pekat. Rinai hujan tak
henti hentinya berhamburan seolah mengolok olok seonggok aku yang diam dengan
hati yang pecah berhamburan pula. Aku kembali memandang sosok yang juga
mematung di depanku, mencoba menahan diri dari hati yang juga berserakan. Aku
tahu betul itu. Selang beberapa detik, pun dia melayangkan pandang tepat di
manik mataku, mencoba melumat habis perasaanku yang tergambar jelas dari
pantulan itu. Ah, tatapan teduh itu mengingatkanku akan masa yang kita namai
lalu, bernama masa lalu.
Kaki kaki kecil itu berkecipak di air sungai yang begitu
jernih hingga kita bisa melongok menatap ikan ikan yang tengah berenang riang.
Tepat di sebelahnya, dua belah kaki kecil pun ikut berkecipak beradu kecepatan
menghasilkan air berbuih buih. Rambut kita sudah basah bukan kepayang hingga
bulir bulir air menetes dari tiap pucuknya. Masalah tubuh jangan ditanya, sudah
dua jam lebih kita berkubang di sungai belakang rumah ini. Tapi kita tidak
berdua saja. Menengok sedikit saja ke belakang, lima buah pasang kaki kaki
kecil lainnya tengah asyik bergurau bersama ikan ikan kecil yang lagi lagi
berenang riang. Mereka akan menancapkan seantero tubuh ke air lalu sekonyong
konyongnya menyembulkan kepala ke atas demi paru paru yang terus mengembang dan
mengempis. Senyum akan bergulung gulung di wajah mereka yang sedikitpun tak
menggambarkan beban.
Sebilah kaki kecil yang berkecipak lalu mulai turun dari
batu besar di tengah sungai, menyusul kaki kaki yang lainnya. Dia menjulurkan
tangan ke kaki berkecipak di sebelahnya dengan senyum yang mengembang lebar.
“Ayo, renang sekarang Raina!” Sekejab kemudian, tangan
kecil perempuan itu menjemput tangannya dan berdua mereka membelah sungai ke
kanan dan ke kiri, dari kiri balik ke kanan. Tak henti hentinya si gadis kecil
mengulum senyum di jangkauan tangan si laki laki kecil berkulit legam. Bukan,
saat itu dia belum berjumpa dengan cinta. Bahkan, dia masih mengelap ingusnya
dengan tangan kanan, lalu si laki laki bertubuh jangkung dengan kulit legam itu
akan tertawa terbahak bahak melihat wajah si gadis yang tak karuan. Namun,
sebilah mata teduh itu selalu membuat si gadis nyaman dan aman.
--
Kembali aku menelan ludah di kerongkongan yang kering
kerontang. Bahkan, untuk mengesap secangkir kopi yang mengepul di ujung meja
pun aku tak sanggup. Aku terus mengenggam tanganku sendiri yang sedari tadi
bergemeretak, hatiku retak retak.
“Raina...” Ucapnya sejurus kemudian.
“Jangan...jangan
bicara..” Aku memekik hebat
tanpa suara.
Aku memandangnya lagi, sekali lagi. Ah, andai saja
ilalang yang bergoyang itu tahu kalau aku ingin memandangnya bertubi tubi, di
setiap ujung lelapku, di setiap pagi.
Aku benar benar kehabisan kata kata. Nyatanya satu suku
kata pun tak mampu keluar dari mulutku. Susah payah aku melebarkan mata,
berusaha menghentikan kubangan yang terus mendera.
“Aku
pikir kita sudah sampai di batas akhir....”
Sungguh, tsunami bergulung gulung menerjang hatiku,
melumat habis isinya, menelan bulat bulat bahkan satu sel pun tak tersisa. Kini
pipiku yang mulai berkubang. Lihat saja, hatiku pun jelas jelas berlubang.
Andai saja aku bisa menampik kenyataan dan terus hidup di mimpi indah yang
sudah kita selami selama bertahun tahun.
Dimulai dari air sungai yang berkecipak, dia selanjutnya
terus berkecipak di hatiku, mengalunkan nada nada merdu yang selalu ingin aku
dengarkan setiap waktu. Tuhan seakan selalu mempertemukan nasib ku dengan
nasibnya. Kita belajar di SMP yang sama, lalu melangkah maju di SMA yang sama
pula. Bahkan, saat di SMA kelas dua dan tiga, dia selalu duduk mendengarkan
dengan seksama tepat di sisi kananku. Dia akan menjelaskan tentang rumus rumus
kimia yang tak aku mengerti atau pun cerita tentang cos, sin, dan tan. Dia
dengan mata penuh binar menjelaskan kepadaku bagaimana bulir biji berwarna
hijau itu akan tumbuh menjadi kecambah. Bak kecambah, bulir bulir rasa terus
tumbuh berakar serabut.
“Rainaaa...ayo
cepetan berangkat!!!”
Dia selalu berdiri di ambang pintu rumah dan memanggil manggil namaku yang pagi
itu masih melekat erat di kasur kamar.
“Oh
ya Reon, ini tante udah bikin surat. Nanti kasihin sama guru di sekolah ya...
Raina nggak masuk sekolah, dia lagi sakit panas.” Mama menyusul Reon yang masih berdiri di ambang pintu.
“Lah,
panas kenapa tante?”
“Itu
gara gara kemarin pulang sekolah ujan ujanan tu Raina jadi sakit...”
Tak sampai lima hitungan Reon kini sudah berdiri di
ambang pintu kamarku. Dia memakai seragam putih abu abu berbalut jaket hadiah
ulang tahunku tahun lalu dan berujung pada sepasang sneaker kebanggaannya.
“Kenapa
panas Na?” Ucapnya sembari
menempelkan punggung tangannya ke dahiku yang menyengat.
“Aku
juga nggak tahu, tiba tiba panas sendiri...” dengan mimik yang aku buat seimut mungkin, aku menimpali
pertanyaan konyolnya.
“Ini
pasti gara gara kita nerobos hujan kemarin sore, Na...” Raut mukanya berubah.
“Santai
aja lagi...khan dulu waktu kecil kita juga suka pulang sekolah ujan
ujanan...kayak film India gitu...” Aku menimpalinya lagi, berharap wajah tampannya kembali berbinar.
“Ya
udah, aku berangkat dulu ya...tunggu aku. Nanti aku ke sini lagi..” Dia beringsut dari ujung tempat tidurku. Dia melambaikan
tangan dan menutup pintu. Sejam kemudian, panasku turun.
--
Serpihan masa lalu terus berkelebat seperti scene scene
film yang dikenai fast forward. Semua kenangan dengannya di banyak masa
berkeliaran liar berputar putar tak karuan. Bahkan, aku dan Reon sudah laksana
botol dan tutup. Kita tak pernah jalan sendiri. Sedari kecil kita telah bertemu
dan menyatu. Kita melakukan apapun bersama sama dari waktu ke waktu. Pun kita
tumbuh dan dewasa dalam jalinan rasa yang bahkan tidak bisa dimengerti oleh
masing masing orang tua kita.
Mataku sudah meruah menyisakan semburat merah yang
menjejali seisinya. Aku tahu hatiku tak hanya sekedar patah. Pun aku tahu hati
Reon tak sekedar hancur. Hati kita menyatu serupa serbuk yang bahkan setiap
selnya tidak bisa lagi dibagi menjadi dua. Kita luluh di ambang lantah. Binasa
sudah.
“Kita
sudah ada di ambang batas, Na...” Kembali dia mengulangi kata kata pamungkasnya, seakan ingin menegaskan
kalau sudah tidak ada hari esok untuk jalinan bernama kita.
“Iya.” Rasa rasanya mengumandangkan kata iya serupa membawa
timbunan batu dalam sekali waktu. Suaraku tercekik.
Aku tak lagi peduli tentang genangan air asin yang
menjejali pipiku. Kini bahkan aku tak berani menatap lagi manik matanya.
“
Besok jam berapa?” Kini suaranya
bergetar. Bahkan, aku yakin dia sudah tahu perihal ‘jam’ itu.
“Jam
9.” Aku menatap kaki
kaki meja yang berjejalan di antara kakiku dan kakinya. Ah, lihat saja kaki
kita sekarang telah tumbuh begitu jenjang. Kakinya yang hanya sebatang korek
pun sekarang terlihat kekar.
“
Hujan sudah reda, ayo pulang sekarang...”
“Jadi,
hanya begini saja??? Hanya serupa ini??” Kembali aku memekik begitu banyak kata tanpa suara. Aku
bergeming tanpa sedikitpun beringsut.
“Aku
belum mau pulang. Aku mau makan lagi di saung biasanya.” Suaraku sudah bergetar tak karuan menahan tangis. Kini,
suaraku lebih cocok dikatakan merajuk daripada sekedar memberi informasi kalau
aku ingin makan lagi.
“Ya
udah ayo...”
--
Kini tak ada lagi meja yang menghalangi kakinya dan
kakiku. Kita duduk lesehan dengan kakinya tepat di sisi kakiku.
Angin malam yang bergulung gulung adalah satu satunya suara
yang memecahkan kesunyian antara kita berdua.
“
Besok kita bisa kesini lagi?”
Bahkan, anak SD pun tahu jawabannya.
“Tidak...”
Kembali bibirku bergetar dengan gigi gigi yang
bergemeretak. Lebih dari retak, hatiku porak poranda. Serupa gunung berapi yang
sudah lama menahan lahar, kini aku memuntahkan saja seenak hati. Tangisku
meledak. Aku tak peduli lagi angin akan memaki atau nyamuk yang berseliweran
akan mencibir. Nyatanya hatiku serasa tersobek sobek dengan bulir paku yang
menancap di tiap inci.
Aku menangis sampai puas. Aku menangis seperti anak kecil
yang kehilangan permennya. Dan lebih dari sekedar permen, Reon adalah sisi lain
palung hatiku. Aku terus menangis dengan jangkauan lengan Reon yang melingkar
di punggungku. Aku terus menangis dengan tepukan lembut tangan Reon di pundakku
yang menggigil dingin.
--
“Kamu cantik sekali...” Ucap Danu sembari menyambut
tanganku.
“Terimakasih..” Dia kemudian duduk tepat di sisiku yang
sudah berbalut kebaya berwarna merah marun, warna kesukaan aku dan Reon. Iya,
pasti semua sudah menduga. Danu adalah pria idaman keluargaku. Dia anak teman
baik papa yang juga merangkap sebagai partner kerjanya. Papa dengan sekali
kayuh mampu membuat apapun terjadi, termasuk pertunangan ini.
Aku terus menatap di sudut ruangan. Seorang pria berwajah
tampan duduk sembari menikmati secangkir kopi di perhelatan pertunanganku hari
ini. Dia tampak sangat rupawan dengan beskap dan baju adat Jawa, sama seperti
sepupu sepupuku lainnya.
“Tuhan telah mempermainkan kita, Reon...” mata kita
beradu dalam satu waktu. Tanpa suara, kita melempar banyak kata yang bahkan
kata kata tak mampu melukiskannya.
“Berbahagialah, sepupuku...” Ucapnya senyap senyap.
Kak Mey aku nggak suka aahh sad ending. Kenapa mereka harus sepupuan sih? Iiiihhh kasian Raina-nya :(
BalasHapusAh gini nih, aku paling sebel sama penulis yang pinter bikin cerita seneng-seneng di awal tapi pas ending-nya sedih. *Padahal kadang aku juga suka*
Komentarnya sih sejauh ini ceritanya bagus Kak, malah aku bingung kok nggak lolos ya? Soalnya seperti biasa, kamu pinter banget ngerangkai kata-kata dengan kekayaan diksimu Kak. Keren.
Tapi kalo boleh sok tau nih, aku pengen komentar tentang kekurangannya. *semoga aku nggak terkesan menggurui. Aku juga sama-sama lagi belajar Kak, kalo aku salah tolong dikoreksi juga ya*
Buat kekurangannya , mungkin tiap kata yang diulang-ulang harusnya pake tanda hubung (-). Kayak ikan-ikan, berbuih-buih. Terus yang "kita" di bagian awal pas anak kecil, kan ceritanya tokoh aku dan temennya itu, mungkin harusnya kami ya? Soalnya kalo kita jadi si pembaca ikut kebawa. Eh, iya nggak sih?
Nah yang "mengesap" itu kalo di tesaurus sih adanya menyesap atau mengesup Kak, nggak ada mengesap. Mengisap juga bisa. Terus buat istilah asing, setauku sih itu dikasih efek italic ya? Yang scene, fast forward juga.
Udah deh segitu dulu aja. Semoga bener hehe.
Btw, emang kamu nggak pengen ya Kak bikin buku sendiri? Antologi udah banyak, lomba lolos terus, pasti lebih seneng lagi kalo punya buku sendiri :)
Kalau soal isi ceritanya menurut aku bagus. Perbendaharaan kata kamu luas banget ya, Mey? Hehe.
HapusKomentar aku juga kurang lebih kayak komentarnya Dwi di bagian pengulangan kata sebaiknya menggunakan tanda (-) biar lebih enak dibaca.
Btw aku suka sih baca tulisan yang sad ending, kadang-kadang isinya lebih realistis dan lebih sulit ditebak.
Eh aku mau nanya, kalau penulisan dialog memang ditulis dengan italic (miring) ya?
cc Dwi, puanjang benerrrr aku terharu dah sumpah, aku nggak bisa bilang apa apa kecuali...THANK YOUUU SOOOOO MUCH atas segala saran yaaaa... I love youuuu...hehehehe
HapusAdityar, makasih jugaaa...hehehe..oke semua saraan akan aku seraaaaap...
Hapussekarang aku udah tau kalau percakapan nggak pake dimiring miringin, hehehe
Udah keren kok kak Mey, apalagi dengan diksi-diksimu yang sangat kaya itu loh :D
BalasHapusKalo kekurangannya sih hampir sama seperti apa yg kak Dwi katakan diatas itu.
Meskipun nggak lolos, tetap semanagt berkarya ya kak.
Loh, kok sad ending sih. Knp endingnya nggak happy aja *maksa*
makasih ya cc fatimaaaah :)
Hapushehe, aku lebih greget kalo menulis sad ending, tapi aku selalu berdoa kalo ceritaku akan berakhir happy ending *ngomongopooo @.@
Heran kenapa cerpen kayak begini gak lolos ya ? :o Padahal udah bagus, ceritanya juga ngalir. Tapi kekurangannya cuman satu Kak Mey, terlalu banyak penggambaran perasaan dari tokoh utama, jadinya aku bingung jalan cerita yg sesungguhnya seperti apa.
BalasHapusBiar aku luruskan, Raina sama Reon awalnya aku kira saudara kembar. Tapi bukan ya ?
Kedua, aku kira Raina sama Reon itu udah pacaran ? terus break gitu ? alesannya apa kak ? :o
Hmm, bener2 sad ending nih ._.
iya ya, aku suka saat nggambarin sakit itu gimana, tertatih tatih itu gmana, ahahaha...
Hapusyahh, baca sampe akhir Faaan, orang mereka sepupuaaaan..@.@
Saya malah tidak paham dengan bahasa cerpen seperti ini. Pingin bisa menulis seperti ini, tapi kosa kata seperti itu memang dari ungkapan hati atau memang ada kosa katanya yang memang bisa dipelajari ya Mbak ?
BalasHapusini ungkapan dar hati paling dalaaaam hehehehe...ini hasil dari baca baca juga nyomot diksi sana sini kk Hendrik hehehe
Hapusdapet dari Andrea Hirata sama Tere Liye sama penulis kereeeeeeen lainnya hehehe...
BalasHapusmakasih cc :)