Belum menginjakkan kaki
ke stupa paling tinggi pun saya sudah terpana dengan jejeran gunung yang samar
samar berdiri berdampingan mengelilingi kompleks stupa termegah dan terbesar
versi UNESCO ini. Deretan Perbukitan Menoreh, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung
Merapi, dan Gunung Merbabu yang berdiri tegak mengitari candi seolah menjadi penjaga yang melindungi keberadaan
candi dengan 9 fakta mengagumkan ini.
Ya, 9 fakta itu di
antaranya adalah Candi Borobudur dibangun selama 75 tahun di bawah pimpinan arsitek
Gunadarma, tentu saja tanpa bantuan komputer!! Berarti turun temurun! Jelas
belum ada kertas atau pun pensil apalagi serutan dan penghapus! Luar biasa
leluhur Jawa!
Dan mata saya tak henti
hentinya melayang layang ke segala penjuru. Matahari yang menyengat tak begitu
saya hiraukan, kalau memang sudah coklat ya sudah nggak papa...
---
2 JULI 2013!!!!
Setelah jalan jalan ala gembel dan ke Jogja
hanya bermodalkan uang seadanya beserta segepok cinta tempo hari, sekarang saya
kebagian kesempatan lagi untuk bisa menorehkan kenangan di kota istimewa ini.
Kali ini, saya ngejogja ala koper! Walau pun saya hanya ‘menumpang’ koper orang
lain. Ya, diajak sepupu saya, bulek (tante, red), bersama om dan tante, saya
bisa menghirup udara Jogja. Lagi!!
Kok Jogja mulu sih? Nggak
ada variasi gitu?
Sabar ya, one day I
will... hehehe
Dan destination di hari
pertama ini adalah berjumpa dengan 504 patung Buddha, 72 stupa terawang dan 1
stupa induk bersama 2672 panel relief yang bila disusun berjajar akan mencapai
panjang 6 kilometer! Subhanalloh Allohu Akbar!
Setelah mengisi perut
dengan paha ceribel ayam di depan areal obyek wisata Bororbudur, kita pun
memarkir mobil dan turun. Alih alih ingin berbelanja saja di luar areal dan
tidak mau menaiki stupa karena terbentur usia, akhirnya dengan membayar 30ribu
per kepala, saya, sepupu cantik saya bernama Tata, dan Om saja yang masuk.
Bulek dan Tante saya menyalurkan hobi mereka sebagai ibu ibu pada umumnya.
Begitu memasuki areal
Borobudur, kita harus berjalan dulu beberapa meter. Gajah gajah perkasa
berjalan jalan di wilayah kekuasaannya dan siap untuk ditungganggi oleh
pengunjung.
Sebagai awalan, Tata
berfoto bersama Gareng, Petruk dan Semar wanna-be.
Yuk mari jalan
lagiiiiii!!!
Sayanya yang gemar jalan
jalan, hati saya gegap gempita. Samar samar pucuk Borobudur terlihat di balik
rimbunnya pepohonan di areal ini. Terakhir saya ke sini itu waktu saya masih
sangat kecil. SD kayaknya, waktu itu saya masih polos dan belum terkontaminasi
apa apa. Dan setelah belasan tahun tidak bertemu, akhirnya saya bisa bersua
lagi. Alhamdulillah!!
“Bagi yang sudah dewasa,
diharapkan memakai kain batik dahulu yang bisa diambil di sekretariat. Tidak
dipungut biaya. Silahkan bisa memakai kain yang bisa diambil dahulu.”
Dan akhirnya kita berdua
tanpa Tata yang masih kecil dan nggak perlu pakai memilah milah kain mana yang
sekiranya cucok sekali.
Dan tanpa ragu dengan
segenap pede saya melilitkan kain itu ke badan saya.
“Mbak, itu nggak perlu
dua kali mbak, sekali aja..”, ujar salah satu bapak pengurus.
Lalu saya melihat
sekeliling saya dan mendapati semuanya hanya dililit sekali, dan saya dua kali.
Karena apa?? Karena tubuh saya kerempeng langsing sekali. Ndak papa.... hidup
memang begini...
Saya nya nggak sabar
ingin sekali bisa segera melepaskan rindu saya padanya candi yang berdiri
megah yang dibangun antara abad ke-8 dan ke-9, 300 tahun sebelum Angkor Wat di
Kamboja dan 400 tahun sebelum katedral-katedral agung di Eropa!! Pinter mana
berarti hayo??
Jalan jalan ini sekaligus
menghapus kekecewaan akan masa lalu saya. Di masa lalu saya, kira kira di bulan
Mei kemarin saya ngidam ingin ke sini dan melihat gempitanya Waisak di sini.
Hanya saja, karena saya hanya punya cinta nggak punya kekuatan untuk ke sana
seorang diri dan juga nggak ada yang ngajak, jadilah saya hanya meratapi nasib
di rumah. Dan sekarang, I am here!!!
Tangga demi tangga kita
daki. Tata yang badannya masih kecil agak kewalahan meladeni tanjakan tangga
yang tinggi tinggi. Belum belum Tata udah melambai ke kamera,
“Bentar mbak, capek
mbak...istirahat dulu aja sama foto foto mbak...”,
“Tata memang pintar..”,
batin saya.
Dan beberapa kali saya
memencet tombol shutter dan membidiknya. Dianya berpose, memegang topi, badan
melengkung sedemikian rupa, senyum lebar luar biasa, berkacak pinggang, handstand, backroll, lompat harimau, segala macam pose dia peragakan.
Kembali kita meniti kehidupan tangga tangga yang lumayan curam ini sambil berpegangan pada
pegangan besi yang memang ada di setiap sisinya.
Kalau kalian tanya pada
petugas mana pun tentang jumlah stupa lah, jumlah tangga, jumlah lantai, atau
apa pun yang berkaitan dengan Borobudur ini, pasti mereka tahu. Mungkin mereka
les dulu. Banyak petugas yang tersebar di banyak titik di candi Borobudur
sambil membawa toa.
“Ya, yang pake baju
merah..yang pake baju merah tolong turun dan jangan berdiri di situ. Yang baju
merah...turun jangan berdiri di situ, ayo baju merah, mohon
turun...-buajumerahturunwoyyyyy-..”
Tugas mereka adalah
menjaga keutuhan candi Borobudur, saudara saudara.
Mereka berkeliling dan
menegur para pengunjung yang kedapatan memanjat, atau pun berdiri dan duduk di
stupa stupa yang memang sudah rapuh akibat semburan wedus gembel Gunung Merapi
tempo dulu itu yang juga menewaskan Mbah Maridjan.
Tau khan dulu itu Candi
Borobudur dan juga Prambanan tertutup abu sangat tebal dan butuh waktu agak
lama untuk bisa merenovasi lagi. Sayang kalau warisan leluhur bahkan warisan
dunia yang dibuat oleh mbah mbah kita yang luar biasa hancur tergerus waktu.
Kayak cinta aja...
Dan akhirnya setelah
berjuang sedemikian rupa, kita bisa berhasil menginjakkan kaki di lantai
teratas dengan stupa induk yang menjulang tinggi. Dan tinggal melayangkan
pandang ke segala penjuru, pemandangan terpampang indah dan cantik!
Berhubung kali ini
liburan sekolah, manusia ada di mana mana! Benar benar ramai sekali sampai
macet mau ke atas aja. Baru kali ini saya naik candi kok macet. Luar
biasaaaa....
Sambil menunggu Om
berdoa, saya asyik duduk di pinggiran stupa induk sambil mengabadikan
pemandangan.
“Mbak, jangan duduk di
situ mbak..”,
“Oh ya pak, maaf..saya
khilaf..”
Dan setelah berfoto
beberapa kali demi serpihan masa yang terabadikan, kita turun di jalan yang
berbeda.
Sebenarnya, cara untuk
mendaki candi ini dengan benar adalah pengunjung harus
berjalan mengitari candi searah jarum jam atau yang dikenal dengan istilah
pradaksina. Masuk melalui pintu timur, berjalan searah jarum jam agar posisi
candi selalu ada di sebelah kanan, hingga tiba di tangga timur dan melangkahkan
kaki naik ke tingkat berikutnya. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga semua
tingkat terlewati dan berada di puncak candi yang berbentuk stupa induk.
Untuk apa???
Untuk bisa mengikuti alur jalinan kisah yang terpahat pada dinding candi. Karena di setiap lantai, dindingnya itu berupa
relief, saudara saudara... jadi nenek dan kakek dahulu pintar memahat, udah
gitu arsitek hebat, karena candi ini merupakan puzzle raksasa yang tersusun
dari 2 juta balok batu vulkanik yang dipahat sedemikian sehingga saling
mengunci (interlock).
Waduuh, udah gitu satuan
panjang yang digunakan untuk membangun Candi Borobudur adalah tala yang
dihitung dengan cara merentangkan ibu jari dan jari tengah atau mengukur
panjang rambut dari dahi hingga dasar dagu. Saya yang membayangkannya saja
sudah kelabakan, apalagi dulu buatnya kayak gimana gitu. Presisinya itu bisa
pas. Padahal nggak bisa dilihat dari atas, khan belum ada helicopter dulu...
Saya terkagum kagum
sekali lah pokoknya....keren tak terhingga.
Dan seperti yang
dilangsir di Yogyes, Borobudur tidak hanya memiliki
nilai seni yang teramat tinggi, karya agung yang menjadi bukti peradaban
manusia pada masa lalu ini juga sarat dengan nilai filosofis. Mengusung konsep
mandala yang melambangkan kosmologi alam semesta dalam ajaran Buddha, bangunan
megah ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni dunia hasrat atau nafsu
(Kamadhatu), dunia bentuk (Rupadhatu), dan dunia tanpa bentuk (Arupadhatu).
Jika dilihat dari ketinggian, Candi Borobudur laksana ceplok teratai di atas
bukit. Dinding-dinding candi yang berada di tingkatan Kamadatu dan Rupadatu
sebagai kelopak bunga, sedangkan deretan stupa yang melingkar di tingkat
Arupadatu menjadi benang sarinya. Stupa Induk melambangkan Sang Buddha,
sehingga secara utuh Borobudur menggambarkan Buddha yang sedang duduk di atas
kelopak bunga teratai.
Dan setelah saya
mengatamkan rasa kagum saya, kita bertiga sepakat untuk segera turun karena
senja sudah menanti. Dan turunnya pun tetep...macet.
Katam.
Tapi ini bukan akhir dari
perjalanan kita di candi ini. Bila orang kebanyakan tahu candi Borobudur ini
hanya candinya saja, ternyata masih ada situs situs menarik dan tempat menarik
di dalam areal candi yang sayang kalau dilewatkan.
Dan kali ini langkah kita
memandu kita untuk keeeee...................
Khan tadi di dinding
candi banyak sekali relief yang sampai berjumlah 2672 panel relief, khan..nah
itu bukan hanya sekedar nenek dan kakek iseng iseng nggambar, bukaaan....
Relief yang terpahat di dinding candi terbagi menjadi 4 kisah utama
yakni Karmawibangga, Lalita Wistara, Jataka dan Awadana, serta Gandawyuda.
Selain mengisahkan tentang perjalanan hidup Sang Buddha dan ajaran-ajarannya,
relief tersebut juga merekam kemajuan masyarakat Jawa pada masa itu. Bukti
bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia adalah pelaut yang ulung dan tangguh dapat
dilihat pada 10 relief kapal yang ada. Salah satu relief kapal dijadikan model
dalam membuat replika kapal yang digunakan untuk mengarungi The Cinnamon Route
dari Jawa hingga benua Afrika. Saat ini replika kapal yang disebut sebagai
Kapal Borobudur itu disimpan di Museum Kapal Samudraraksa.
Nah, di museum itu yang
menjadi tujuan kita selanjutnya,
Banyak sekali barang
barang peninggalan kapal yang bisa diangkat, dan juga pernak pernik lainnya.
Kalau penasaran, coba ke sana dan buktikan sendiri kehebatan nenek moyang kita.
Dan yang tak kalah
kerennya adalah museum yang menyimpan replika Kapal Samudraraksa. Macam
begini...
Di setiap sisi dan
sudutnya pun banyak sekali kisah yang mengulas tentang asal mula kapal ini,
sampai pembuatan replika dan akhirnya disimpan di sini. Ada foto Bu Mega sedang
meresmikan replika kapal ini juga.
Nah, ini bapak penjaganya
ramahnya luar biasa. Begitu kita masuk, beliau langsung bercerita tentang seluk
beluk kapal ini. Beliau juga menceritakan kisah kisah mistis seperti layar yang
sudah hilang, eh, kok bisa pulang sendiri, lalu tentang air yang katanya setiap
malam tertentu masih menetes di sela talang di pinggir kapal itu.
Sayangnya, keramaian
museum ini dengan keramaian candi tadi berbanding terbalik. Bahkan, kita
bertiga adalah pengunjung satu satunya. Yang lainnya lebih memilih bukit Dagi
dan mungkin mengitari areal yang memang luas sekali. Jadi, kalau ke sini, coba
menggali sejarah candi dengan mengunjungi museum ini.
Sebenarnya, masih ada
satu museum lagi. Hanya saja, karena Tata sudah capek, kita hanya lewat saja.
Dan jalan keluar itu jauh lebih jauuuuh daripada jalan naik ke stupa induk di
atas. Jalannya berkelok kelok karena harus masuk pasar dengan puluhan penjual
oleh oleh dari baju, replika stupa, gantungan kunci sampai ulek dan coek juga
ikut berpartisipasi.
Nah, di belakang saya ini
ada segrombolan bule tetapi pakai bahasa nya saya nggak ngerti karena bukan
bahasa Inggris. Spanyol mungkin, dan saat melewati ibu ibu penjual minuman dan
kedai, Ibu beraksi dengan gagah berani.
“Mister coconut mister
good sit mister, coconut sit mister..mister coconut sit!”
Semangat ibu penjual!
Alloh pasti beri jalan!
Dan akhirnya setelah
jalan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang sekali, sampailah kita di mobil semula.
Saya beli apa?? Jelas
dong....nggak beli apa apa. -______-
Bahkan dompet dan hape
pun saya nggak bawa. Saya Cuma bawa diri sama si kaniko saja. Puahahaha...
Dan karena bulek baik
hati, tidak sombong, dan suka berbagi, saya kebagian rok panjang bermotif
abstrak kembaran. Asoy sekali.
Dan perjalanan pun
dilanjutkan!!!
Belum...ini belum
berakhir, karena masih ada satu candi lagi yang harus kita kunjungi.
Di candi Mendhut ini, ada
satu bongkahan candi besar dengan satu patung Budha dengan siraman lampu kuning
di dalamnya. Ini adalah singgasana Arca Buddha Raksasa! Prasasti Kayumwungan
yang ditemukan di Karangtengah menyebutkan bahwa Candi Mendut dibangun oleh
Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Candi berbentuk persegi empat dengan atap
bertingkat yang dihiasi stupa-stupa kecil ini dibangun lebih dulu daripada
Candi Pawon dan Candi Borobudur yang terletak dalam satu garis lurus. Berbeda
dengan Candi Borobudur yang menghadap ke arah matahari terbit, maka pintu masuk
Candi Mendut menghadap ke arah barat.
Karena hari sudah senja,
kita tidak masuk ke dalamnya, tetapi kita masuk ke sini.
Karena Om berkeyakinan
Budha, Om dan tante menyempatkan diri untuk berdoa di sebuah vihara dengan
patung Budha tidur miring berselimutkan kain berwarna kuning.
“Kita berdoa menghadap
patung bukan berarti kita menyembah patung, bukan...melainkan patung ini
sebagai media untuk menyatukan konsentrasi dan fokus. Tapi tetap kita menyembah
Tuhan, bukan patung..patung hanya sebagai perantara saja...”
Dan bila dicermati,kita
sholat menghadap kiblat, menghadap ka’bah. Apakah kita menyembah Ka’bah? Jelas
bukan. Ka’bah dan kiblat hanya sebagai titik fokus saja, untuk memfokuskan
konsentrasi dan menyeragamkan saja. Seperti kalau Kristen menghadap patung
Jesus. Hanya perantara saja.
Dan tentang keyakinan
mana yang meyakinkan, itu hak setiap insan manusia.
Vihara ini juga bertaman
dengan patung patung Budha di beberapa sudutnya. Karena remang remang, Kaniko
tidak bisa menjamah setiap patung dan pemandangan dengan maksimal.
Letih menyergap, dan kita
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja dan beristirahat di salah satu
hotel di bilangan Malioboro. Horeeeee....
Dan itu pun belum
berakhir ternyata....
Alun Alun Selatan
menanti!
To be continued
Tiket Masuk Candi
Borobudur :
Wisatawan domestik atau pemegang KITAS: Rp
30.000
Wisatawan domestik anak-anak: Rp 12.500
Wisatawan mancanegara: USD 15
Wisatawan mancanegara dengan kartu pelajar:
USD 8
Tiket masuk kapal di
Museum : Rp. 100.000
Tiket Masuk Candi Mendhut
:
Wisatawan domestik: Rp.
1.800 (untuk Candi Mendut dan Candi Pawon)
Wisatawan mancanegara:
Rp. 3.300 (untuk Candi Mendut dan Candi Pawon)
References :
jadi habis jalan2 ke kota gue nih? seru kan yak? :D
BalasHapusiyeee...owh, ini kota lo ya?? behehehe..seru beuuut
Hapuskalo jalan2 ajak2 atuh :" hiks ...
BalasHapusemang kmu dimana to Maz..Maz..dari kemarin kek nya pgn jalan jalan banget..hehehe
HapusElu emang hobinya jalan-jalan yah Mey? Perasaan postongan lu sebagian besar tentang perjalanan deh.
BalasHapushehehe....iya hoby, alhamdulillah ini lagi ketiban rejeki jalan jalan mulu Rob, doain bsok2 ketiban terus yak :D
Hapusyaaa yaa bikin irii ih, kemaren ke jogja ga sempet mampir situ :(
BalasHapusyaa yaa ya maap Seh tak sengaja sih @.@
HapusKagum juga sama krja keras yg bikin candi itu. Secara dulu blm ada kompi, blm ada helikopter. Gmn caranya ya?
BalasHapusOm kamu budha mey? Om dari pihak mana?
Kagum juga sama krja keras yg bikin candi itu. Secara dulu blm ada kompi, blm ada helikopter. Gmn caranya ya?
BalasHapusOm kamu budha mey? Om dari pihak mana?
iya makanya cc Risah aku jga nggak habis pikir.
HapusHehe, iya, dari saudara suaminya adiknya Ayah @.@
seru emang kalo yang namanya jalan-jalan, saya juga pernah kena marah dduk dipinggiran stupa :D
BalasHapussenasib!:D
Hapuswaaah enak yah yang ke candi borobudur, gue nggak pernah kesana. Jadi pengen juga ??
BalasHapussama sekali belum pernah ke jogja, mungkin gue terlalu kampungan ke borobudur ajah belom :(
BalasHapusnenek moyang kita emang seorang pelaut yh, buktinya kapalnya masiih ada.
Foto yang pertama itu kelihatan anggun banget. Ahaha...
BalasHapusjalan-jalan lagi... aduh asyiknya :D
BalasHapus300 tahun sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 400 tahun sebelum katedral-katedral agung di Eropa!!
BalasHapusbeneran
emang Indonesia itu cocoknya jadi kontraktor kayak gua
Asik asik banget fotonya, KEREEEN ~ gue pengeen banget kesana tapi belom dikasi kesempatan, mungkin suatu hari ~
BalasHapusDulu waktu ke borobudur blm ada kainnya gitu u,u
BalasHapuskak mey ini hobi sekali jalan-jalan ya?
asiik artikel jalan jalan lagii...
BalasHapusmupeng gue =w=
Wah, keduluan nih. Saya udah ke sana kemarin, tapi belum sempat nulisnya. Hehe.
BalasHapusMuseumnya kemarin belum disinggahi:(
Kereeen... Mey mungkin suatu saat kita bisa kaleee backpacking barengan... :D kamu tinggal di manaaa??
BalasHapusbetewe bagus deh tulisanmu mendetail, jadi kangen borobudur...
Ngomongin borobur tuh paling kagum sama arsiteknya. Badai lah pokoknya!
BalasHapus