Perlahan lahan ku bangun
jika, untuk aku, dan juga kamu.
Sekeping demi sekeping ku
kumpulkan jika
Sedetik demi sedetik,
detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari menjadi minggu,
minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Bertahun tahun.
Aku kumpulkan jika
sedikit demi sedikit, sesuap demi sesuap.
Aku isi serpihan jika di
antara kita. Sedikit, sedikit, sedikit...
Menjadi bukit.
Jika ku melampaui batas,
menerobos waktu yang masih berkabut di depan mata. Bukan, itu bukan di depan
mata, jauh di sana, berkilo kilo meter jaraknya. Jika yang menggiring hatiku
semakin memasuki mu. Jika yang berpendar pendar tak terperi. Jika ku yang....
Plak!! Kenyataan menampar
keras mukaku. Memerah, berdarah darah.
Plak Plak Plak!!! Jika
menghabisiku. Benar benar habis. Bukan lagi hingga tetes terakhir. Se molekul
pun tak ada. Aku habis. Miris.
Jikaku menyeret ku
mendekati tepian, lalu tanpa belas kasihan mendorongku sekonyong konyongnya.
Terpelanting, batu batu kenyataan membenturku, bertubi tubi. Sakitnya, merajam
rajam. Ngilu, ngilu menembus sampai batas tulang rusuk. Busuk!
Dan mulai detik itu, aku
bersumpah akan menghabisi segala jika. Persetan dengan jika.
Demi Tuhan, segala jika
yang mendera dera, yang pernah menggebu gebu, menggema gema di setiap sudutku,
demi Tuhan, akan aku habisi hingga potongan terakhir.
Sejak hari itu, setiap
hari aku menggiling jika yang sempat membawaku terbang, terbang jauh, dan lain
hari, mendorongku jatuh. Berserakan, tercecer cecer. Habis!!!!
Aku kubur segala jika,
karena jika ku padamu membinasakan ku sedikit demi sedikit. Dan aku tidak akan
binasa hanya karena kumpulan jika. Aku kubur segala jika, karena sejak hari
itu, jika telah mati. Mati mutlak, mati di tempat. Dan selamanya tak akan mampu
bernafas. Kau rebut oksigen ku, kau cacah cacah, bahkan itu bukan lagi
mutilasi. Karena kenyataannya, yang aku punya bukan lagi serpihan, apalagi
potongan. Yang kau tinggalkan, serbuk! Bahkan setiap sel nya sudah tidak dapat
dibagi lagi menjadi dua.
Jika itu serupa garam
beryodium, dioleskan tanpa ampun di luka yang menganga. Perih!
Jika itu seumpama empedu
bertemu lidah, pahit!
Jika itu bak air laut
memuncah muncah berjalan ke daratan, memporak porandakan!
Jika itu pisau di dalam
daging, mengoyang ngoyak!
Sakit!!
Kau tak pernah tahu
bagaimana aku melewati hariku, mencoba membungkam hati yang tercabik cabik, membungkusnya
dengan koran bekas berlapis lapis, menutupi wajahku dan melapisinya setebal 10
sentimeter, hingga orang orang tak bisa lagi melongok sampai batas ceceran.
Bila jika itu adalah
hotel J.W Mariot, aku akan berpikiran sama dengan pemuda itu, aku hancurkan
hingga tak ada lagi yang tersisa. Aku bom!! Duarrrr!!
Semua binasa.
Santai saja, aku selalu
berusaha setiap waktu, setiap detik, setiap jam, setiap hari, setiap minggu,
setiap bulan, akan aku habisi semua jika yang masih melekat. Karena bila tidak,
fitrah cinta bukan lagi saling membahagiakan, tetapi saling membinasakan.
Fitrah cinta?? Apa apaan. Itu sudah aku bunuh.
Sudah aku bunuh? Apa
apaan?? Memangnya siapa aku? Hati bukan vcd atau pun dvd player.
Dan cinta pun bukan untuk
di-play.
Peduli setan dengan
tulang rusuk dan seperangkat radar neptunus. Peduli setan dengan cinta
bertahtakan jika. Karena yang tersisa hanya ngilu yang merayap membelah belah,
karena yang ada sakit yang mendera dera, karena yang ada isakan yang menggema
gema.
Dan bila hatiku tak bisa
berhenti melafazhkan jika, awas saja.
Akan aku terobos
segalanya, segala darah dan nanah. Cinta itu buka drama Korea, menye menye!
Cinta itu bukan sinetron
Indosiar, tak masuk akal!
Dan cinta itu bukan aku dan kamu, karena Tuhan tidak
mempertemukan jika ku dan jika mu di halaman yang sama.
Ini benar benar lucu.
Karena semua ini fiksi semata. Jika aku menjadi tulang rusukmu itu adalah
fiksi. Jika aku menjadi tujuan radar neptunusmu itu pun hanya sebatas fiksi.
Mengapa begitu?
Karena aku dan kamu tidak
akan bertemu lagi di debaran yang serupa, di tepian hati yang setara, di
gelombang radar yang bisa saling menemukan.
Mengapa jika ini adalah
fiksi? Karena ini tidak pernah terjadi, karena ini hanya mimpi, dan karena ini
sudah mati.
*cerita ini semata mata
saya buat untuk mengikuti Best Article Blogger Energy.
24.04.2013
20:15
Oke, sukses utk Blogger energynya ya...
BalasHapuskeren-keren!
haha, makasih :D
Hapussemoga sukses ya!
BalasHapusjika :D
amien!:D
Hapusjika ini pantas menangin best article be, aku ikhlas kok
BalasHapus*keliatan males baca* wkwkw
hmmmm -___________-
Hapusbeh... keren-keren diksinya nih, banyak hal yang bisa kebuka cuma gara-gara jika.
BalasHapusemang jika itu adalah fiksi semata.
hehehe, makasih Bay... it is encouraging :D
HapusKak diksinya keren. Tulisannya keren. Imajinasinya keren. Ah dari awal sampe akhir gak bosen baca nya. Jika saja semua pada porosnya. Berjalan pada tugasnya masing-masing. Lalu suatu hari nanti, jika takdir nya ada aku. Jika itu akan melebur menjadi kita. Kita yang melebur lalu terpencar-pencar.
BalasHapusmakasih Bocil! hehehehe..aduuh, kalau udah melebur jangan terpencar pencar pliss, sakiiiit..hehehehe..
Hapusgood writing, :)
Bagus nih.. kayak Novel 5 Centimeter aja..
BalasHapusSukses ya mbak, buat Best artikelnya..
wah, emang novel 5 centimeter gimana?? jadi penasaran @.@
Hapusiya, makasiiih..hehe