“Cipanas Cipanas
Cipanas....” Suara kondektur menggaung di sepanjang koridor bis. Gue yang duduk
di samping Casandra menoleh ke kursi belakang dimana Barbara dan Marimar duduk
berdampingan.
“Bar, ini kali
Bar?”
“Iya kali ya,
khan Esmeralda bilang kita turun di Cipanas, Garut?”
“Iyah...” Jawab
gue sambil menyeka keringat gue yang netes netes sebiji jagung. Ini bis
Ekonomi. Dan ini wilayah Jakarta. Gue sedang sauna lanjut luluran debu. Dan
butiran butiran debu ini sudah bertahan duduk selama 4 jam!! Sekarang jam sudah
menunjukkan 10.30. Gue pingin buru buru turun dan makan. Perut gue dari tadi
udah ikut dangdutan bareng TV 21 inchi yang tergantung di kotakan besi di atas
kepala pak sopir. Ada Goyang Dumang, Bang Jono sampai Janda Bodong yang
pantatnya kemana mana.
“Tetehnya turun
mana emang?” Seorang wanita Sunda nan cantik mempesona angkat bicara.
“Cipanas, Garut.
Ini bukan ya?? Pasti ini khan??”
“Owh,
bukaaaan...Ini Cipanas Puncak...Kalau Garut masih lama banget...Masih nglewatin
Cianjur, Bandung, baru Garut.” Gue mulai mencium gelagat kurang beres.
“Masih berapa
lama lagi kalau begitu?” Gue tak sabar.
“Ya, mungkin
sampai sana jam jam 3 sore.”
“APPPAAAAAA??????????????!!!!!!!!!!!!!!!!”
Gue gumooooh!!! Gue kehilangan arah. Gue BBM Esmeralda yang pasti lagi sibuk
ngurusin pesta pernikahannya. Gue bilang kalau gue sampai Puncak. Dan Esmeralda
tak kalah terkejutnya.
“APPPAAAAAAAAAAA????!!!!!
Kalian kok malah lewat Puncak, Cianjur segala?? Kalian nggak lewat Tol
Cipularang?”
Jadi, ibarat
segitiga sama sisi dengan ujung A, B, dan C. Berangkat dari titik A menuju
titik C, kita pake acara muter muter nglewatin ttik B dulu. Singkat cerita,
kita naik bis yang salah.
Gue lemas,
Casandra lemas, amang penjual asinan kedondong juga lemas.
“Casandra, kalau
gini caranya kita nangis aja yuk?” Gue menatap jalanan dengan tatapan nanar.
Pilih bis aja salah, apalagi nanti pilih...... Masa depan gue terlihat abu abu
pucat.
Ayam tengah
berkokok saat gue beserta ketiga teman gue melangkahkan kaki keluar dengan tas
ransel yang bebannya sama berat dengan beban hidup. Setelah beli minuman dan
roti di Indomaret, kita jalan menuju jalan Raya dan naik angkot 121 menuju
Kampung Rambutan. Masih jam 5.30 tapi Kampung Rambutan sudah disulap menjadi
lautan manusia berbeban. Banyak di antara mereka yang membawa serta kardus
kardus ditali rafia atau pun tas tas baju segede rudal Rusia.
“Kita naik apa
Bar?”
“Apa aja yang ke
Garut.” Gue menyapu pandangan ke segala penjuru arah mata angin. Dan mata gue
terhenti di satu bis bernama Do’a Ibu. Tepat di jidat bis tertulis, “Cipanas,
Ciawi, blabla....”
“Waaah, gue
menemukannya!! Itu kali Bar!” Gue mulai bersemangat.
“Liat
dulu...bener nggak...” Barbara ragu ragu.
“Tapi, menurut
hati nurani gue, ini bener. Jelas jelas Esmeralda bilang kita turun di Cipanas,
Garut. Dan bis ini?? Tulisannya senada! CIPANAS!! Ini pasti sosok yang selama
ini kita cari!” Gue inisiatip buat nanya
ke kondektur bis Do’a Ibu.
“Bang, ini lewat
Cipanas, Garut khan??”
“Iya neng, ayok!
Cipanas nih lewat Cipanas...”
“Beneran lewat
Cipanas Garut??”
“Iya
neeeeeeeng...”
Akhirnya kita
naik. Gue buru buru pilih seat paling kanan, tepat di sisi jendela yang kacanya
bisa dibuka. Ini bis ekonomi. Gue butuh udara segar. Kepala gue udah mulai
geleng geleng angguk angguk mengikuti irama gas dan rem saat tiba tiba dari belakang
seat gue Barbara ribut mendadak gusar dan jalan ke depan.
“KITA SALAH BIS.
AYO TURUN DI SINI!! KITA SALAH BIISSSSS...INI SALAAAAAAH!!” Barbara langsung
menghambur ke depan. Gue kaget.
“Ini kenapa??
Apa yang terjadi??” Gue masih belum sepenuhnya sadar.
“SALAH BISSS!!”
“WADUHHH!!” Gue
yang juga ikutan panik langsung menyusul Barbara ke depan. Ini pasti ulah
kondektur dan sopir bis. Bisa jadi! Di Jakarta ini kayaknya tukang ngibul lebih
mudah dicari daripada tukang kayu.
Andaikata gue berani, gue tampol juga nih sopir sama kondekturnya.
Untung gue nggak berani. Kayaknya gue harus belajar Muang Thai kayak artis
artis. Untung saat turun kita masih di Pasar Rebo. Coba kalau turunnya kita di
tol?? Bisa bisa kita diderek sama truk Jasa Raharja! Emangnya kita cewek
apaan??
“Kok bisa salah
Bar?” Gue nggak enak hati.
“Nih,
bacaaaaaa....” Barbara yang mukanya diselimuti awan gelap menyodorkan BB nya ke
gue. Gue baca percakapannya dengan Esmeralda via BBM
Barbara : “Es,
kita udah naik bis Do’a Ibu.”
Esmeralda :
“Hah?? Kok Do’a Ibu?”
Barbara : “Emang
kenapa?”
Esmeralda : “Itu
salah Bar. Dia nggak sampai Garut!”
Barbara :
“Waduh, terus gimana dong?”
Esmeralda :
“Turun sekarang, Bar! TURUN SEKARAAAANG!!!!”
Gue
mengembalikan HP Barbara.
“Bar, biasanya
do’a Ibu itu nggak menyesatkan ya Bar..Do’a Ibu macam apa ini...ha ha..” Gue
mencoba ngelawak.
“...............”
Hening.
Lawakan gagal.
Gue sedih.
--
Kata Esmeralda
lewat BBM, ada dua pilihan bis yang bisa kita tumpangin. Yang pertama adalah
Primajasa AC Ekonomi dan yang kedua adalah Karunia Bakti Ekonomi. Oke noted!!
Kali ini gue nggak akan salah langkah lagi. Gue yakin dan percaya kalau gue
nggak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Emangnya gue
keledai bisa jatuh di lobang yang sama? Gue khan nggak sebodoh itu. Gue segera
menyapu pandang kembali. Setelah 15 menit kemudian, gue liat bis bernama
Karunia Bakti. Tepat di jidat bis tertulis besar besar GARUT!! Begitu gue
membaca Garut, gue langsung ngajakin temen temen buat naik.
“GUE UDAH NEMU!
ITU BISNYA!! Kali ini gue yakin dan percaya kalau bisnya bener!!” Gue dengan
semangat berkobar promosi bis Karunia Bakti karena gue ngantuk banget, sumpah!
Hal yang ada di pelupuk mata gue saat ini adalah seat bis. Bahkan gue bisa
membayangkan bagaimana kepala gue dengan gemulainya akan menari di udara
seirama dengan dentuman ban mobil dan gesekan aspal.
“Beneran nggak
nih, Mik??” Ucap Barbara.
“Beneran
Baaaaaaarrr...Tuh udah ada tulisan GARUT. Terus ini juga bis KARUNIA BAKTI. Aku
pasti nggak salah pilih lagi..”
“Yakin Mik?”
Tanya yang lain.
“YAKIN!! Yuk
naik!! Bismillaah...”
Untuk kedua
kalinya gue dan ketiga teman gue naik. Dan gue tak punya firasat apapun karena
gue emang jarang punya firasat. Ternyata gue nggak peka. Gue mah gitu orangnya.
Akhirnya bis Karunia Bakti bergerak pelan tapi pasti. Dia melewati jalanan yang
semakin lama semakin sempit hingga sempat berhenti total di suatu tempat. MACET
PARAH!! Gue denger ada dua penumpang cowok sedang berbincang di belakang seat
gue.
“Bro, macet ya. Emang ini dimana?”
“Di Jonggol!”
“Gue nggak lagi
bercanda. Ini dimana?”
“DI JONGGOL!!”
“GUE NANYA
SEKALI LAGI YE. LO NGGAK USAH WAKWAW WAKWAW NAN PAKE PREPET PREPET SEGALA. INI
DIMANEEEE?????”
“SUMPAH DEMI
ALLOH, INI DI JONGGOOOOOOL!!!”
Dari percakapan
dua orang penggemar Tukang Bubur Naik Haji ini gue jadi tahu kalau gue lagi di
Jonggol.
“Sandra, emang
ke Garut kita pake nglewatin Jonggol ya?”
“Bisa jadi...”
“Owh oke...”
Akhirnya setelah
sempat macet selama sejaman, bis mulai melaju dan mulai menanjak. Gue dan
Sandra yang duduk di sebelah kiri gue girang karena sekarang kita sedang berada
di lautan kebun teh. Sejauh mata memandang, tanaman teh yang dipangkas dan
ditata begitu rapi luas membentang. Walau pun macet, gue tetap menikmati
perjalanan karena udara yang tak terlalu membakar dan pemandangan yang bikin
hati tenang. Bahkan banyak pengendara mobil yang turun dan grofie di padang teh
sembari menunggu kemacetan yang belum juga terurai. Gue cuman bisa menikmati
bentangan kebun teh di balik jendela bis Karunia Bakti. Puncak terlewati dan
perjalanan lanjut kembali. Gue tidur lagi dengan meletakkan lipatan daster
tidur gue di besi jendela bis karena tiap kali gue tidur dan kepala gue goyang,
kepala gue nyasar ke besi jendela.
“Cipanas Cipanas
Cipanas....” Suara kondektur menggaung di sepanjang koridor bis. Gue yang duduk
di samping Casandra menoleh ke kursi belakang dimana Barbara dan Marimar duduk
berdampingan.
“Bar, ini kali
Bar?”
“Iya kali ya,
khan Esmeralda bilang kita turun di Cipanas, Garut?”
“Iyahh...” Jawab
gue sambil menyeka keringat gue yang netes netes sebiji jagung bakar karena tak
selamanya jagung itu direbus. Ini bis Ekonomi. Dan ini wilayah Jakarta. Gue
sedang sauna lanjut luluran debu. Dan butiran butiran debu ini sudah bertahan
duduk selama 4 jam!! Sekarang jam sudah menunjukkan 10.30. Gue pingin buru buru
turun dan makan. Perut gue udah ikut dangdutan bareng artis Dangdut yang lagi
nyanyi "Janda Bodong" di TV 21 inch milik Karunia.
“Tetehnya turun
mana emang?” Seorang wanita Sunda nan cantik mempesona angkat bicara.
“Cipanas, Garut.
Ini bukan ya??”
“Owh,
bukaaaan...Ini Cipanas Puncak...Kalau Garut masih lama banget...Masih nglewatin
Cianjur, Bandung, baru Garut.” Gue mulai mencium gelagat kurang beres.
“Masih berapa
lama lagi kalau begitu?” Gue tak sabar.
“Ya, mungkin
sampai sana jam jam 3 sore.”
“APPPAAAAAA??????????????!!!!!!!!!!!!!!!!”
Gue gumoooh!!! Gue kehilangan arah. Gue BBM Esmeralda yang pasti lagi sibuk
ngurusin pesta pernikahannya. Gue bilang gue lagi di Puncak Cipanas. Dan
Esmeralda tak kalah terkejutnya.
“APPPAAAAAAAAAAA????!!!!!
Kalian kok malah lewat Puncak, Cianjur segala?? Kalian nggak lewat Tol
Cipularang? Tadi kalian baca bisnya via tol Cipularang atau via Cianjur?????”
"Nggak baca..Emang ngaruh???"
"Mikooo, kalau via tol Cipularang lo langsung ke Bandung terus Garut. Jam 12 udah sampai. Lah, kalau lewat Cianjur, lo muter muter sampai Puncak, Cianjur, kemana mana dulu..."
"Esmeralda...kenapa hidup rumit sekali..." Gue rapuh. Yang gue sesalkan adalah kenapa tadi gue nggak baca judul bisnya sampai selesai dulu. KENAPAAAAA????????? Kenapa gue milih yang via Cianjur??? KENAPAAAAAA????? TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKK!!!!!!!!!
Gue lemas,
Casandra lemas, amang penjual asinan kedondong juga lemas.
“Mik, kita salah
naik bis....lagi.” Gue diem aja ngerasaian pantat gue yang udah kesemutan karena seat bis ekonomi
itu sekeras tamparan kenyataan kalau mantan sudah tak menyimpan rasa yang sama.
Ini sungguh memilukan.
“Tau ah
gelap"
“Ah lo mah,
pilih bis aja salah apalagi nanti pas pilih....”
“PILIH
APAAAA???????!!!!”
“Nggak jadi.
Udah nggak papa. Kita nikmati aja apa yang ada...”
Nikmati dia
bilang? Kita udah berangkat saat ayam sedang berkokok ronde pertama, lalu kita
udah salah bis dan akhirnya turun di Pasar Rebo. Lalu, kita harus naik bis
Ekonomi sejak jam 6.30 pagi. Dan sekarang sudah jam 11 siang. Dan kata Mbak
Sunda yang cantik mempesona kita akan sampai di Garut jam 3 sore!!!!
Bayangkaaaaaannnn!!!!
Gue dan Sandra
cuman bisa duduk dengan pandangan kosong. Di TV 21 inchi, Cita Citata ngajakin
goyang Dumang di saat yang nggak tepat. Gue nggak bisa bayangin gue harus
menghabiskan waktu 4 jam lagi di bis ini. Gue benar benar sedih banget!! Tapi, gue kemudian ingat pelajaran
hidup nomor 67 :
"You may not be able to control every situation and its outcome, but you can control your attitude and how you deal with it."
Gue mencoba mengaplikasikannya. Apa gunanya gue tiap Minggu malam liat Mario Teguh di Metro TV kalau gue nggak bisa mengamalkannya dalam tindakan nyata. Gue mulai tarik nafas dalam dalam lalu hembuskan. Dalam kegamangan
dan pantat yang udah ilang separo gue bertekad untuk bisa bertahan. Gue buat
kaki gue senyaman mungkin. Kadang kaki gue tekuk, kadang kaki kiri gue naikin
ke atas kaki kanan dan sebaliknya, kadang kaki kiri gue naikin dan gue dudukin,
kadang kaki kanan gue gantungin di tirai jendela, macem macem. Gue mencoba
menyenangkan pikiran gue dengan cara nyumpelin headset dalam dalam ke telinga
dengan volume maksimal biar nggak kalah sama lagu Dangdut Pantura di depan bis yang speakernya segede ember cucian. Gue mencoba bertahan di keadaan yang makin sulit karena udara
makin panas dan penjual silih berganti datang dan pergi, dari penjual mezon,
tahu goreng, kacang goreng, asinan kedondong, cilok, pensil paketan, salak,
sampai kaos kaki. Gue beli kacang goreng dan tahu goreng tiga biji karena gue
kebelet lafer. Candra sendiri mencoba kenyang dengan cilok 2 bungkus
dilanjutkan asinan kedondong 2 bungkus. Beberapa menit kemudian...
Mungkin karena
sudah kenyang, Casandra sekarang mulai tertidur. Gue liat kepalanya berotasi
kemana mana. Kadang dia kaget dan bangun seketika, lalu terlelap kembali dengan
kepala yang terus muter kayak gangsingan. Bahkan, gue sempat deg degan karena
ulah Casandra saat tidur. Saat itu gue udah capek tidur karena capek kejedot
pinggiran besi jendela bis. Gue duduk sambil ngeliatin deretan rumah yang gue
lalui. Tapi, saat gue ngeliat keadaan Casandra, gue kaget!! Kepala Casandra
oleng ke kiri. Padahal khan gue di kanan. Gue liat lagi di sebelah kiri
Casandra. Waduh!! Duduk dengan dada bidanglah seorang amang separuh baya.
Casandra yang dibuai angin dari celah jendela akan segera menyandarkan
kepalanya di pundak amang itu! Gue panik bangettt! Apa yang harus gue lakukan untuk
menyelamatkan Casandra?? Padahal bisa jadi dia lagi mimpi sebis sama pacar
LDRnya yang sekarang sedang ada di Malang. Mungkin di mimpinya dia terlelap di
pundak pacarnya, lalu saat kepalanya jatuh ke pundak sang pacar, sang pacar
akan tersenyum simpul. Dia lalu akan menjatuhkan kepalanya di atas kepala
Casandra. Mereka akan terlelap bersama dalam balutan cinta yang tumbuh subuh tak
kenal jaman. Tapi, kenyataannya adalah Casandra akan bobok di pundak Amang tak dikenal!!!
“Casandraaaaaa.....lo
salah araaaaahhh!! Bobok aja di pundak gue, tapi jangan di pundak Amang!!” Gue
menjerit dalam hati saat lama lama jarak kepala Casandra dan pundak Amang hanya
tinggal bilangan satu senti saja. Akhirnya gue sonteng lengan Casandra.
Casandra kaget dan terbangun. Dia terselamatkan. Gue bisa bernafas lega.
"San, lo kalau mau tidur mikir dulu dong arah kepalanya harus kemana..."
"Emang kenapa??"
"Tauk ah!"
Beberapa
menit kemudian Casandra kembali tertidur. Sekarang, kepala dia dengan jumawa
bersandar di pundak gue. Dan kepala gue bersandar di besi jendela bis Karunia
Bakti. Tiap kali bis melewati jalan tak rata, kepala gue ikutan keder. Tapi, karena lelah akhirnya gue tidur dengan pose seadanya. Bis terus melaju dan berhenti untuk menunggu penumpang sebanyak tak terhitung. Di perempatan dia berhenti, di terminal kecil dia berhenti, di depan warung dia berhenti. Bahkan, penumpang di bis itu udah datang silih berganti. Ini adalah perjalanan awal MEI yang sangat berat sekaligus tak akan terlupakan. Tapi, kalau dipikir pikir perjalanan gue mudik dan balik juga jauh lebih berat karena gue pernah naik bis selama 29 jam dan turun di Pasar Rebo jam 2 dini hari sendirian pas jembatan Comal putus atau gue harus pindah bis jam 3 dini hari karena bis Ramayana mogok dan diturunkan di antah berantah.
Setelah berjuang
di bis Karunia Bakti selama 8 jam, gue dan ketiga temen kost gue akhirnya sampailah
di Cipanas, Garut. Jam menunjukkan pukul setengah empat sore. Rencana semula
kita akan menitipkan barang ke penginapan dan langsung mengeksplore Cipanas
Garut yang terkenal dengan Pemandian Air Panas serta pemandangan yang masih
asri khas pegunungan. Tapi, kenyataannya jalan pun badan gue rasanya udah sakit
semua. Begitu turun dari bis, keadaan kita sudah awut awutan. Jilbab Casandra
sudah miring sejauh 45 derajat, muka Barbara sudah lusut, bibir Marimar sudah
tak merah lagi dan eye liner gue udah bleber sampai leher. Bahkan, kaki Marimar
dan kaki Casandra jadi segede ketela pohon dengan jari jari serupa lengkuas
karena harus ditekuk hampir seharian.
Akhirnya kita
hanya bisa tiduran di penginapan sambil sesekali berendam di kolam air panas
agar badan bisa segar kembali. Tapi, perjalanan kita tak berhenti sampai di
sini. Esok hari kita harus ke rumah Esmeralda untuk menghadiri pernikahannya.
Rencana semula
adalah kita akan menyewa angkot dari penginapan sampai rumah Esmeralda karena
jaraknya yang jauh hanya dengan membayar 50ribu saja. Namun, apakah
kenyataannya semudah itu?
Atau apakah kita
harus naik kereta kencana bak Cinderella beserta Bawang Merah Bawang, Bawang Putih
dan Ibu Tiri mana udah pake dress khas pergi kondangan yang tinggi hak
high-heels atau wedgesnya 10 cm??
Udah pernah kondangan dianterin kereta kencana?? |
Atau apakah kita
harus tawuran sama sopir angkot yang nggak mau dikasih 50ribu??
Kenapa jadi begini??? |
Atau apakah kita
harus jalan jauuuuuuuuuh nglewatin sawah sawah di bawah terik sinar mentari
yang membakar hati???
Kenapa gue begini??? Tunggu cerita selanjutnya! |
Ahh, hidup
terlalu indah untuk tidak dibekukan dalam uraian kata kata.
*tobe continued*
Kok bisa salah naik bus?
BalasHapusKaian banget....jadi gimana tu rencananya
Wuanjrrrriiittt....ngakak parah gue bacanya. Keren, pengalaman pribadi tapi alurnya maju mundur. Two thumbs up!
BalasHapusWaduh, itu artinya muter-muter dulu ya mba sebelum nyampe, yang seharusnya deket malah jadi jauh banget. Yang sabar ya mba, rencana Tuhan emang gak bisa diprediksi, nikmati aja :P. Toh, akhirnya sampai juga kan di Cipanas, Garut? :P
BalasHapusHaha, ke garut kak? Kota aku dong :D
BalasHapusWosh byar 50rb emang k daerah mana kak?
Aduh kasian sampe nyasar gitu, klo ke garut enak pake primajasa kak, naeknya di lebk bulus, soalnya semenjak ada peraturan baru di jakarta, bis primajasa gk boleh lewat pasar rebo. Nah klo udah sampe garut turun deh di alun alun tarogong yg bnyak delman, trus naek angkot coklat deh yg jurusan cipanas, :D
semoga menyenangkan kak dateng ke kota intan, semoga berkesan
Hahahaha, doa ibunya kok kamfret ya kak Mey. Doa ibunya gak dikabulin itu... hahaha
BalasHapusSampe berapa kali salah milih busnya kak mey. Apa pada belum minum semua. Sampe baca nama bisnyapun salah mulu. Kan nyesek jadinya 4 jam muter2 yg seharusnya bisa sampe jam 12. Nyesek emang. Tapi harus bagaimana lagi.
Meski pantat hilang separoh, akhirnya nyampe dengan selamat. Semoga kisah ini tidak berlanjut sama. SEMOGA...
kenapa gak nanya-nanya dulu sama yang punya hajatan, kenapa langsung yakin? aduh jadi ikut geregetan XD gue pernah sih salah naik angkot yang akhirnya muter-muter. tapi gue nikmatin sih, meski capek. kalau ada yang bilang malu bertanya sesat dijalan ada benernya juga, harus banyak nanya biar gak salah arah,,, kalau soal jalan, gue sih lebih percaya nanya ke penumpang dibanding kondekturnya :D
BalasHapusNjir, diajak goyang dumang sama Cita Citata. Mungkin kalo di bis Do'a Ibu, lu malah diajak goyang dribble..
BalasHapusnaik bis yang salah rasanya pengen nangis sambil menatap nanar jalanan?
BalasHapusitu perlu dilakukan. manatau kondektur dan supirnya jadi iba karena mbak nangis, eh dituruni gratis deh haha
pengalaman yang menarik, salah naik bis. Saya juga pernah, seru sih salah naik, soalnya bisa menjadi pengalaman yang tak terlupakan. 8 jam, pasti pegel sekali, saya naik kereta 16 jam, dua kali lipatnya, hehe.. Rasanya pegel sekali.
BalasHapusJadi penggalan cerita di atas adalah blurb dari cerita yang sesungguhnya. Ah, makin keren aja nih kak Mey.
BalasHapusSebagai cowok aku merasa lemah karena belum berani pergi-pergi naik bus bareng teman. Seringnya naik motor gitu, biar mudah pulang dan perginya. Keknya tertawa di atas penderitaan orang itu memang enak ya. Cerita kak Mey yang penuh derita ini malah jadi lelucon yang bisa ditertawakan.
Rumus "tragedi+waktu=komedi" memang benar-benar nyata. Sepertinya cerita selanjutnya juga masih apes kalo ngeliat dari foto yang dipajang.
Gue baca ngakak ketika dia orang cowo nanyain dimana, dan dijawab jonggol, dikira itu adalah lawakan, sampe ditanya berkali-kali ternyata bener di jonggol. hahaha
BalasHapusperjalanan panjang yang melelahkan ya mba, tapi walaupun lama sampe 8 jam, kalau lewatnya puncak mah gak kerasa kayana mba, kan pemandangan bagus-bagus, kalau jalanan pantura tuh sampe 8 jam dan kena macet, baru deh bikin bete selama perjalanan, karena apa yang dirasa, sepanjang perjalanan kanan-kiri sawah semua. hehehe
trip to garutnya seru nih, jadi penasan cerita selanjutnya gimana, dan pesta pernikahannya ?
Ya ampun, kak. Kenapa perjalananmu mengenaskan sekali.
BalasHapusAku pernah sih salah naik bis, tapi gak sampe berkali-kali juga.
Terus akhirnya, berapa lama itu perjalannya???
Hal yang paling menyenangkan menjadi pembaca adalah: kita cukup duduk-duduk manis dan bertahan membulatkan kelopak mata sambil tiduran atau dalam posisi senyaman mungkin, lantas sisanya serahkan saja pada untaian kata demi kata yang akan menarik kita ke belahan dunia lain serta sejuta merasakan langsung pengalaman si penulis.
BalasHapusHaha. Setelah dimulainya semester ini, aku sudah jauh sekali dengan dunia yang menyenangkan ini. Dan, ternyata membaca tulisan kak Meykke yang terus bertransformasi dari waktu ke waktu masih saja menyajikan candu yang sama. Dengan ciri khas menggebu-gebu yang tak bisa ditiru.
Perjalanan yang sungguh tak terlupakan, naik bis yang salah, jalur yang salah, jam demi jam yang terbuang terdengar sia-sia. Namun dengan jadinya sebuah tulisan ini, pengalaman 'bodoh' itu menjadi hiburan bagi khalayak. Hehehehe... semangat, kak Meyk. Hope we will meet one day.