Penerbit Pustaka Jingga, Maret 2014 (Indie) - Cerpen
Genre : Romance
Meykke
Santoso
Kita mulai menapaki
lautan pasir putih dengan kulit kulit kerang berserakan di antaranya.
“Ah, akhirnyaaaaaaa......” Ucapku sembari
membuka lengan lebar lebar dan membiarkan angin menyapu nyapu setiap sudutnya,
juga wajahku. Sepanjang batas memandang, kilahan air tampak mengkilat
memantulkan sinar yang mulai keemasan. Aku sedikit mendongak dan memejamkan
mata, berusaha menangkap dengan sempurna suara gulungan ombak berbaur dengan
desisan mesra angin pantai. Lamat lamat pula suara suara manusia terdengar.
Sama sepertiku, mereka juga ingin menangkap momen ini. Walau berbekal kisah
yang pasti tak senada.
“Bagus La?” ucapnya tanpa membuyarkan dunia yang sedang aku nikmati.
“Makasih Ri...” Ucapku dengan sesungging senyum berlesung. Aku menoleh
ke arahnya. Dia memandang teduh mataku, menembus lurus berusaha untuk menyelami
rasaku. Sejurus kemudian, dia menggapai tanganku. Aneh, aku tak menolak.
Bahkan, pelan tapi pasti rasa hangat mulai melingkupi hatiku. Sensasi yang
belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kita ada di sini, bersama sama, melakukan
yang kita suka di batas senja.
Seminggu yang lalu,
kita memutuskan untuk bertemu lagi setelah beberapa tahun kita tak lagi beradu
mata. Ari adalah teman semasa SMA yang sering sekali meledekku. Pembawaannya
yang lucu selalu berhasil mengubah moodku yang semula buruk menjadi riang gembira.
Seusai SMA, kita
pun berpisah dan tak pernah lagi bertegur sapa. Hingga suatu saat dia tiba tiba
menanyakan kabarku melalui facebook.
“Apa kabar sekarang???” Adalah kalimat pertama saat dia
melihatku di sebuah cafe sebelum kita beranjak masuk. Hari itu aku menunggunya
di sana, di tempat kita janjian bertemu.
“Baiiiik, kamu gimana Ri?” ucapku dengan
lesung menempel erat di kedua belah pipi.
“Baik juga..” Dia berbalik tersenyum dan sepasang lesung menyembul di
antara pipinya. Lesung yang sama denganku, lesung yang mungkin bisa
mengantarkan hati yang senada pula.
Pertemuan itu adalah
awal kita ada di bibir pantai nan megah ini. Kita berdua ternyata memiliki
begitu banyak kesamaan, di antaranya sama sama begitu mengagumi pantai. Kita
juga sama sama memiliki sense of humor yang senada sehingga bila bersamanya
humor apapun bisa membuat tawaku tergelak gelak.
Sorenya setelah
pertemuan pertama, dia mengantarku sembari bertandang untuk yang pertama
kalinya pula ke rumahku. Kejadiannya begitu cepat hingga aku tak tahu kapan aku
mulai tertarik ke porosnya. Aku berharap dia juga tertarik mengitariku.
Di batas senja, kita
berjanji untuk bisa menginjak batas laut bersama.
“Ri, ayo kita ke sanaaa!!” Agaknya aku
membuyarkan gulungan memorinya. Secepat kilat aku menarik tangannya dan
mendekat menuju gulungan gulungan yang berakhir dengan jilatan di bibirnya. Dia
menurut saja.
Sekarang kita duduk
di tepi pantai dengan gulungan gulungan gelombang tepat di pelupuk mata.
“La, kamu suka ke pantai yaaa....”
“Lah, khan situ udah tahu kalau aku emang suka ke
pantai...”
“bilang aja kok tau.....” Aku sedang
menangkap radarnya.
“Kok tahu?”
“Karena kamu telah menggulung gulung hatiku!” Entah bagian mana
yang lucu, aku pun tak begitu peduli. Tawa kita seketika meletup letup. Aku
suka sekali dengan tawanya yang renyah karena aku bisa memandang lesung pipinya
dengan puas.
“La...”
“Apaaaa?” Ucapku sambil memainkan pasir putih di sela sela jariku.
Mimiknya mendadak serius.
“Let’s live together...” Desiran angin
pantai tiba tiba seketika bertiup kencang, senada dengan desiran hatiku yang
bergelombang bersahut sahutan.
“Eh?” Aku benar benar tak bisa berkata apa apa. Bahkan, untuk
mengeluarkan eh saja suaraku seperti tikus terjepit pintu.
“Let’s live together...” Aku mencubit
kakiku. Sakit. Dan gelombang itu nyata bergerak di depan mataku. Jelas ini
bukan mimpi. Aku benar benar tidak punya ide tentang apa yang dia katakan.
Bukankah seharusnya ‘let’s be my girlfriend?’ atau mungkin bilang dulu ‘I like
you”. Tapi ini?
“Iya, let’s live together when we are ready. Mulai
sekarang, aku ingin menjadi tangan itu dengan kamu pasirnya. Aku akan
menjagamu, menampungmu di jangkauan tanganku. Aku tidak akan menggenggam mu
terlalu erat hingga kamu sulit bernafas. Aku juga tidak akan menggenggam
terlalu longgar agar kamu tak pergi dari jangkauan...”
Aku tersenyum sembari
mempererat genggaman tangannya di tangan kiriku. Jauh di batas pandang, mentari
terlihat seakan tenggelam meninggalkan semburat keemasan. Bersamaan dengan
mengatupnya hari itu, kisah kita menemui pagi, awal dari segala awal.
---
Suara ringtone pagi
itu membuyarkan mimpiku. Berkali kali mimpi berbalut kenangan itu terus muncul
di malamku. Kenangan indah, paling indah yang pernah aku kecap di penghujung 22
usiaku.
“Arie” tercetak jelas di layar HPku. Seketika aku tekan tombol
berwarna hijau dan suara teduhnya seketika memberikan suntikan semangat bekal
satu hari ke depan.
“Halo?”
“Halo La? Lagi apa?”
“Lagi mikirin kamuuu..”
“Sama....”
Lalu tawa renyah
berkumandang di antara kita.
Clothing, aesthetic procedures, costly chanel replica sale are area of the look-alike chanel totes to appear excellent. Whilst this particular look-alike chanel totes is actually great many people wind up investing lots of tag heuer replica within attempting to achieve this particular goal. However there's 1 simply product which could like magic , hermes replica sale your own look. In spite of their own title, dark openings aren't basically bare room. Instead, they're a massive quantity of issue compressed in to an incredibly little region. The leather-based chanel replica can also be a thing that may opt for practically something inside your clothing. There are numerous associated with look-alike chanel totes who would like to steer clear of the head ache of getting in order to look-alike chanel totes as well as complement every thing within their clothing as well as getting a thing that may opt for louis vuitton replica sale arrives like a large benefit with regard to these folks. Dark look-alike chanel totes might be from the supermassive range, however they can also be associated with wrist watches stellar bulk.
BalasHapus