Gue yakin semua
orang tahu kalau lingkungan bisa mempengaruhi seseorang. Orang yang hidupnya
bergelimang fasilitas dari jemputan pulang pergi sekolah, model baju yang
tinggal tunjuk langsung berubah kepelimikan dari dipajang toko menjadi dipajang
tubuh, gadget gadget dari yang bisa slide sampai bisa see saw biar kayak
playground, dan segala macam bentuk penyempurnaan hidup yang bersumber dari
rupiah jelas berbeda dengan orang yang terbiasa memeras keringat dulu setiap
kali menginginkan sesuatu.
“Ahahaha, hidup
itu buat gue segampang membalikkan telapak tangan.” Ucap orang type satu sambil
nyanyi Yamko Yamko Rambe Yamko sambil membolak balikkan tangan di depan dada.
“Sama. Bagi gue
juga hidup itu kayak membalikkan telapak tangan..........gajah.”
Orang type dua
setidaknya jangan sampai kalah, walau dengan akhiran yang berbeda. Tentu saja
kepuasan setelah membalikkan tangan sendiri dengan membalikkan telapak tangan
gajah jelas lebih puas membalikkan telapak tangan gajah walau gajah cuman punya
kaki semua.
Ah, orang yang
hidup di daerah dingin pun pasti punya cara hidup yang jelas berbeda dengan
orang yang hidup di daerah panas. Dulu, saat gue masih tinggal di kaki gunung
Telomoyo sana, gue nggak pernah mandi pake air dingin melebihi jam 4 petang dan
sebelum jam 9 pagi. Ehm, lebih tepatnya nggak pernah mandi mau. Gue selalu pake selimut tebal dengan baju berlapis dengan
posisi tidur seperti luwing; tubuh ditekuk ke depan dengan perut sebagai poros
utama sampai kepala menyentuh lutut. Beda cerita saat gue tinggal di pinggiran
Jakarta. Mau mandi jam 1 dini hari juga gue jabanin. Gue nggak pernah pake
selimut, apalagi baju berlapis. Yang ada kipas level 3 berputar ke kanan dan ke
kiri tepat di depan gue dengan posisi tidur seperti cacing.......kepanasan.
Begitu pula dengan orang yang hidup bersama keluarga pasti punya kebiasaan
hidup dan cara pandang sudut yang berbeda dengan orang yang tinggal di
indekost.
Macam macam
perbedaannya. Dulu gue jarang pake banget nyuci baju sendiri. Gue juga nggak
pernah nyuci piring sendiri. Gue nyapu rumah tiap kesurupan doang dan gue punya
siklus tetap saat tiba di rumah, yaitu : pulang (masih siang) -makan (makanan
sudah siap)-nonton tipi-tidur-mandi-makan-nonton tipi-tidur. Bagi makhluk
omnivora kayak gue, makanan apapun yang dimasak oleh Ibu jelas tandas di tangan
gue. Begitu perut terpuaskan, gue langsung tiduran di ruang tengah, merajai
televisi. Kadang gue dan adek gue pake acara gulat dilanjutkan acro-yoga demi
acara kesukaan masing masing. Kita rebutan remote secara brutal. Lalu, Ibu gue
karena nggak kuat menanggung derita atas peperangan yang pecah di antara anak
gadisnya langsung melengking dari dapur sebelum terjadi pertumpahan darah. Gue
dan adik gue kemudian gencatan senjata dan menandatangi kesempatan bersama.
“Pokoknya, kalau
sinetron Indosiar ini lagi iklan, lu harus gantian liat mbak mbak sama mas mas
cool naik gunung di TV7. Lu nggak tahu khan kemarin mas nya digigit ular?”
“Halaaaah,
ngapain juga naik gunung Mbak Ik? Mendingan juga ini. Nih, liat masnya naik
Elang! Wooo, terbanggg, seruuuuuu...tapi kok tuh mas mas bisa nginjak awan?
Emang bisa?”
“Ya kalau lu mau
nyoba, ntar pas naik pesawat dan lu liat awan, lu bilang sama sopirnya. ‘Pak,
berhenti dulu, Pak..aku mau nyoba nginjak awan.’ Udah deh lu tinggal lompat
dari jendela.”
“Pilot, keles. Lu
pikir bis SARI yang lu naikin tiap hari tuh bisa berhenti di sembarang tempat?”
“Enak aja lu bawa
bawa bis SARI!! Lu juga berangkat sekolah naik angkot!”
“Tapi, khan
angkot gue canggih ada speaker segede gaban yang musiknya regae abis. Lha bis
SARI?? Dangdutan!! Palingan mentok mentok keroncong koplo!”
“Enak aja lu,
kemarin gue naik bis SARI lagunya Peter Pan yang ‘Langit Tak Mendengar.’”
“Lha kan emang
langit nggak punya telinga? Yahh, oon amat.”
“Enak aja lu
ngatain gue oon! Kalau gue oon, lu ibunya oon!”
“Buuuuuuuuuuuuuuuk...mbak
Ike nakaaaaaaal...”
“Nicken
deeeeeeeng...”
“Mbak, ngemeng
ngemeng kalau sinetron Indosiar sama petualangan TV7 barengan waktunya gimana?”
“Ya udah kita
berantem lagi.”
gencatan senjata menemui kebuntuan.
Percakapan absurd
yang kadang menyebabkan kuku kaki patah dan rambut rontok ini terjadi berkali
kali dalam rentang waktu setiap hari. Namun, tak peduli betapa maha dahsyatnya
perebutan tahta remote kita, semua akan berubah saat Ayah pulang kerja karena
saat negara api menyerang udah terlalu main-stream. Kita langsung gencatan
senjata sambil berpura pura menjaga perdamaian antar saudara. Kadang demi
meyakinkan Ayah, dari jambak jambakan kita langsung nonton tipi sambil pelukan terus gigit gigitan. Biar adil dan tidak memicu konflik, gue dan Nicken memutuskan untuk
nonton berita saja di TV One.
“Baiklah saudara
Mudi, sekarang saya berada di daerah Lebak Bulus, tepat di depan gorong gorong
dimana korban korban ditemukan. Tubuh mereka tampaknya terpotong menjadi
beberapa bagian. Dari pernyataan polisi yang melakukan penyelidikan di TKP,
korban korban sebelumnya telah mengalami kekerasan sebelum akhirnya diracuni
dan dipotong potong. Namun, ada satu hal janggal yang ditemukan oleh polisi dan
sampai sekarang masih dalam tahap penyelidikan lebih lanjut. Semua ekor dari
semua korban....hilang.”
Glek. Gue dan Nicken
terpaku.
“Dunia macam apa
ini...” Kemudian kamera menyorot di sekitar gorong gorong dan memang benar.
Gorong gorong tersumbat oleh mayat kawanan tikus got yang seluruh ekornya
hilang!!
Namun, sekarang
semuanya berubah. Kuku gue nggak pernah patah, walau pun rambut gue masih tetap
rontok. Siklus hidup gue sekarang adalah : pulang (magrib)-beli
makan-sholat-mandi-makan-nyuci baju-bersih bersih kamar-nyuci piring-nonton
tipi-baca buku/nulis-tidur.
Saat awal awal
gue tinggal seorang diri di kost, gue mengalami culture-shock. Gue yang tiap
nonton tipi selalu ditemani manusia, kini gue cuman ditemani seperangkat kipas
angin, magic jar, rak buku dan rak piring. Gue udah lama nggak bergulat apalagi
acro-yoga. Kadang, saat gue dirundung sepi, gue melakukan percakapan dengan
mereka.
“Ki, mau nonton
apa?”
Dia geleng
geleng.
“Nggak mau
nonton? Apa mau nonton ILK aja di TransTV? Sapa tau ada Fitri Tropika?”
Dia geleng geleng
lagi...
Dasar kipas!
“Ma, mau liat
apa?”
Dia mengepul.
“Kok marah gitu
sih, apa mau liat The Comments aja di NET TV? Khan garingnya kayak gue kalau
lagi nulis blog. Kriuk kriuk.”
Ngepul lagi.
“Terus sebenarnya
kalian mau nonton apa? Kalau nggak terima ayo kita berantem ajaaaaaaa!!”
Gue mulai
kehilangan arah hidup. Dasar magic jar!
Sampai sampai
dulu gue sempet tidur dan mimpi lagi rebutan remote sama Nicken, adek gue.
“Ken!! gue dulu,
khan gue yang nyalain duluan!!”
“Nggak mau, tuh
Elangnya keburu nggak terbang lagi!”
“Masa bodoh orang
gue dulu yang nyalain! Lama lama gue sembelih juga tuh Elang buat Idul Adha!”
Lalu, dia matiin
tuh tipi dan dia nyalain lagi.
“Udah, nih
sekarang gue duluan yang nyalain!” Ternyata adek gue pinter juga, siapa dulu
dong kakaknya.
“Ihhh, kamu tuh
picik. Kamu jahaaaat!! Ini tidakmungkin terjadi, TIDAAAAAAAAAAAAAK!!!”
Lalu keesokan
harinya temen kost gue nanyain gue.
“Tadi malam lu
nggak tidur? Kok marah marah?”
“Hah?? Nggak kok
gue tidur...”
“Nggak..lu marah
marah kok..gue denger.”
“Ih, sumpah demi
Alloh gue tidur....”
---
Dan memang benar
lingkungan bisa jadi menentukan cara hidup seseorang. Begitu pula dengan
lingkungan yang berbeda akan membentuk seseorang menjadi sebentuk makhluk yang
berbeda pula. Bisa jadi lingkungan menggelintirkan pelajaran pelajaran hidup
yang tak terperi. Lingkungan bisa membentuk orang jahat menjadi orang baik,
orang alim menjadi berandalan, juga orang yang manja menjadi mandiri walau pada
awalnya harus terpaksa.
Berangkat dari
seseorang yang manja, gue sedikit demi sedikit harus mandiri. Toh sekarang
kalau bukan gue sendiri yang nyuci piring gue sendiri, maka selamanya piring
gue nggak akan bersih. Dan gue juga nggak bisa makan lagi karena gue cuman
punya piring satu. Begitu juga dengan baju dan kamar. Kalau sekarang gue nggak
mikir sendiri apa apa saja yang akan gue makan untuk sarapan, makan siang, dan
makan malam maka siapa yang akan mikirin gue? *showerandiairterjun. Makanya
begitu bangun bangun, hal pertama yang gue pikirin adalah nanti makan siang
makan apa, makan malam makan apa. Ini jelas hal paling crucial dalam hidup gue.
*donttryathome Bahkan, sebelum gue posting tulisan ini, gue baru aja selesai
menguras bak mandi kost gue. Dalam sejarah hidup gue, ini adalah kali pertama
gue nguras bak mandi. Untung bak mandi kost gue nggak selebay bak mandi rumah
gue yang lebih mirip kayak bak penangkaran ikan lele jumbo itu. Oleh karena
itu, hari termasuk dalam hari bersejarah dalam hidup gue.
Kabar baiknya
adalah kita bisa memilih lingkungan mana yang akan kita tinggali. Bisa jadi gue
di batas senja itu nggak jadi naik bis dan berangkat dengan seperangkat
semangat untuk menjadi guru di Ibu Kota yang katanya kejamnya melebihi Ibu
Tiri. Tapi gue memilih untuk naik bis, lalu dadah dadah sama adek gue dan
meninggalkan Ambarawa dengan bibir mimbik mimbik biar kayak di sinetron
Indosiar. Dan di sini lingkungan gue sekarang.
“Alloh tidak akan
mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya.” Gue jadikan janji
Tuhan ini sebagai Pelajaran Hidup nomor
3. Bahkan, kalau gue nggak salah, di Injil pun dikatakan bahwa
“Tuhan akan
menolong orang orang yang mau berusaha.”
Lalu, di
lingkungan mana pun kita berada, gue yakin Tuhan selalu bersama dan menyertai
kita. Aamiin.
Udah lama nggak mampir kesini, tau tau tampilannya udah berubah... :D
BalasHapusAkhirnya merasakan juga nasib anak-anak kos, Selamat yah... :p
But, beda banget ya suasana di kosan sama di rumah, kadang di kos sendirian malah kangen orang rumah yang suka ngajak berantem.. hadeuh
lingkungan memang terkadang bisa merubah sifat dan gaya hidup seseorang
BalasHapuswah ternyata suka rebutan remot juga yah mey. saran dari gue sih mending nanti kalau balik lagi ke kampung terus mau nnton tipi mnding bawa remote dua biar gak berantem..
BalasHapuslingkungan itu yang memaksa kita untuk menyesuaikan diri, kalau nggak ya malah jadi nggak betah.. ada perkembangan lah ya, yg dulunya gak pernah nguras bak skrng nguras bak, walaupun baknya gak sebesar kolam renang. :))
everything has changed... Omnivora yang terlantar bisa jadi judul paragraf2 awal tuh. dari yg dulunya tinggal sikat-sikut semua makanan yg dimasakin, skrg jadi harus nyari2 mangsa dulu. kasian banget ya jadi anak kosan
BalasHapusLingkungan memang membentuk pribadi kita ya mbak..
BalasHapusDulu 3 tahun saya tinggal di asrama (pesantren) yg bikin saya terpaksa hidup mandiri. Nyuci, nyapu, ngepel, dll, sendiri..
Sekarang masih tinggal di asrama juga tapi beda banget suasananya. Karena temen2 saya adalah anak2nya konglomerat, maka di asrama ini nyapu ngepel, nyuci, masak, dll ada yg ngerjain sendiri2. tugas kita cuma belajar ama tidur.
Saya sampe lupa kapan terakhir kali nyuci piring. (jadi manja sekarang)
Wahahahah Jadi rebutan REMOTE gitu ya. Saya jadi imgat saat masih NGEKOS di era taon 2004 yang lalu. Di kosan kami siapa yg lebih dahulu pegang REMOtE dialah yang berhak menentukan channel mana yang dipanteng seharian hihiihihihi
BalasHapushomesick ya? kesian.
BalasHapusGue juga pernah kok kek gitu, pertama kali kos itu umur 12 tahun, dan setiap minggu selalu pulang karena kangen sama ortu. Hal yang buat kangen cuma makan gratis dan langsung tersedia di meja makan.
Dan sekarang setelah 7 tahun dalam dunia kos, gue ngerasa biasa aja jauh dari rumah, dan mau buat kos itu rumah kedua. Semoga tetap bertahan dengan keadaan ya kak.
hehehe lama2 ntar juga terbiasa nguras bak mandi , ke :D
BalasHapusBUat gue bukanlah teori yang buruk menjadi anak kost, tapi pada dasarnya akan banyak banget pengalaman waktu ngkost. "Akibat kelamaan Ngekost"
BalasHapusSemangat, mey ! Memulai sesuatu itu awalnya memang sulit. Tapi kalo udah sekali dimulai seterusnya bakal enak. Hidup ngekos itu bisa ngerubah hidup seseorang, termasuk gue dan lu dan yang lain juga. Berasa banget kan bedanya tinggal di kos sama tinggal di rumah? Yah, walaupun gue ngekos ga sejauh lu tp jelas banget hidup gue lebih berasa mandiri di kos daripada di rumah. *napa jadi cerita juga?
BalasHapusYa udah lah ya.. Pokonya nikmati masa-masa indah saat ngekos karna suatu saat lu bakal merindukannya.