MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

KEHILANGAN ITU...

KEHILANGAN ITU...
Add Comments
Sabtu, 25 April 2015
 

Jam 1 pagi dan gue belum tidur. Padahal saat gue ngintip Casandra, dia sudah tenggelam dalam kasur empuk berbuah mimpi indah. Marimar sudah terbuai kipas angin geleng geleng super gedenya yang anginnya berasa kayak di pinggiran pantai Pok Tunggal di Jogjakarta. Barbara sudah terlelap sejak kapan tau, dan Esmeralda baru saja mandi pukul 11 malam tadi dan barangkali sekarang sudah bergabung di lautan mimpi bersama yang lain. Dan gue? Tanpa bantal, guling atau pun selimut sedang menatap nanar langit langit kamar sambil mengaplikasikan gaya yoga bernama corpse mode, seakan gue sedang mengapung di permukaan air dengan wajah menantang sinar mentari esok. Gue masih mencari ide. Ide tentang Best Article Awards Blogger Energy.

Kehilangan. Tema macam apa ini. Bahkan, gue sampai harus terus mendelik untuk berpikir tentang kehilangan. Bukan, bukan karena gue nggak pernah merasa kehilangan. Faktanya, justru kebalikannya. Gue melempar pandang ke kipas angin Miyako warna biru yang terus menggeleng dan tak pernah mengangguk, tak ubahnya jalinan waktu yang terus maju, tak pernah mundur. Dan ikatan waktu itu yang justru membuat seorang manusia rapuh macam gue mengalami begitu banyak kehilangan.  Bukankah kita sudah akrab dengan kehilangan sejak dahulu kala, bahkan saat kita belum mengerti arti sebuah kebersamaan dan rasa memiliki? Kenangan bergulir, menari nari di pelupuk mata.

--

Gue masih sesenggukan dan Ibu gue datang ke kamar.

“Ke, kenapa?” Gue masih mendekap erat seragam bak bendera Nusantara.
“Ibuk, Ike udah nggak bisa manjat tugu di depan sekolah lagi. Ike udah nggak bisa cari buah kresem masak lagi. Ike nggak bisa makan soto sambil minum susu sapi segar ditambah ngemil daun ketela goreng lagi. Ike...Ikeeee...sediiiiiiiiihhhhhhhhh!!” Ibu merangkul gue dengan penuh kasih sayang.

“Ike...Ike khan udah gede sekarang. Udah mau SMP..Kalau pingin jadi anak SMP ya berarti nggak jadi anak SD lagi. Nanti seragamnya bagus..warnanya putih sama biru banget, ada belahan dua di depan. Di sana juga masih ada soto... Jangan nangis, nanti uang sakunya Ibu tambahin..” Ibu gue memberikan pengertian ke gue yang sedang dirundung rasa kehilangan. Banyak hal yang gue lakuin bersama temen temen gue selama enam tahun. Main layangan, nginjek nginjek sawah orang abis pulang sekolah, makan soto bareng, cakar cakaran kayak penyangi Dangdut main film Horror, main permainan tradisional kayak lompat tali, betengan, bekelan, sundamanda dan kelereng. Banyak!! Dan suatu ketika, gue dihadapkan pada kenyataan kalau gue nggak bisa lagi melakukan hal yang sama, bersama orang yang sama, di tempat yang sama. Saat itu, gue sadar satu hal. Gue kehilangan masa SD yang penuh warna. Waktulah pelakunya.

--
Gue dan Ibu sedang duduk santai menikmati angin sepoi sepoi di teras rumah. Kami sedang menunggu pekikan nada datar dari toak masjid berbunyi “ngiiiiiiinggggg!!” . Lampu lampu natal berkerlipan dibingkai lengkungan bak pintu masjid di jalan desa, tepat di pelupuk mata. Seminggu lagi hari Kemenangan telah tiba.

“Ibuk, Lebaran kok makin ke sini makin nggak rame ya..Aku juga sekarang bingung mau main sama siapa...Fita udah kerja. Mbak Isa, juga kerja...Dek Ina membantu Ibunya di rumah...Apa mungkin aku bermain dengan ilalang yang bergoyang?”
“Iya ya..dulu khan kamu paling sibuk nyiapin buat Malam Takbir bareng temen temen kamu?”

Dulu, gue termasuk remaja aktif di desa gue. Saking aktifnya, gue pernah bareng temen temen gue beramai ramai membawa bambu segede monas dari kebun di pinggiran desa. Bambu itu lalu kita potong tipis tipis menjadi sebangsa tongkat. Lalu, gue dan teman teman akan menyisir warung makan warung makan di pinggir jalan raya untuk mendapatkan botol Kratingdaeng. Kita kumpulkan sampai bersih, lalu kita isi dengan minyak tanah. Tutupnya akan kita lubangi dan kita sisipkan sumbu. Begitu jadi, kita satukan botol kratingdaeng yang sudah beralih fungsi menjadi lampu dengan tongkat bambu. Kita ikat mereka dan kita akan keliling desa untuk menancapkan lampu lampu itu di sepanjang pinggir jalan demi sebuah Takbir Keliling yang gegap gempita. Seluruh warga desa akan tumpah ke jalanan sehabis Isya dan berkeliling dengan terus menggaungkan takbir.

“Iya Bu. Khan dulu Ike juga pernah khan takbiran pake toak masjid sampai jam 3 pagi bareng temen temen..”

“Owh, iya Ibu ingat. Yang suaranya kayak tikus kecepit pintu darurat pesawat itu Ike, khan? Sebenarnya waktu itu Ibu khawatir kalau tetangga jadi nggak bisa tidur.”

“Bu, sebenarnya Ike anak Ibu atau bukan?”

Sore itu, setelah melewati banyak Lebaran ceria bersama teman teman desa gue, gue sadar sesuatu. Jaman telah berubah. Mereka telah berubah. Dan keadaan pun telah berubah. Tak ada lagi gotong royong menghias jalan dengan bendera kecil kecil yang dijalin dengan tali. Tak ada lagi kegiatan mengecat jalan secara jamaah memakai kapur dan serabut kelapa. Tak ada lagi kaki kaki mungil berdesakan di badan truk demi sebuah Takbir Keliling yang gegap gempita. Sore itu, ditemani Ibu gue sadar satu hal. Jaman telah berubah. Waktulah yang mengubahnya. Lagi lagi, gue kehilangan masa masa indah bersama teman teman masa kecil gue.

--

“Uma, Dany, Ellen...bulan depan kita nggak bisa naik bis bareng lagi. Nggak bisa main Audition lagi sampai uang sakunya abis. Kita nggak bisa lagi belajar kelompok.” Di sepanjang jalan Salatiga-Ambarawa gue berkelakar sendu. Sebulan lagi gue akan menjadi anak kuliahan, meninggalkan seragam putih abu abu yang belahannya satu di depan untuk selama lamanya.

“Iya, aku pasti kehilangan kalian semua..kehilangan kebersamaan kita...” Uma tak kalah sendu.

“Padahal level Audition kita udah 25. Sebentar lagi kita jadi advance player.” Ellena menimpali.

Saat itu gue nggak bisa membayangkan bagaimana hari hari gue tanpa sahabat sahabat gue itu. Kita selalu bersama setiap hari. Naik bis aja janjian, sehabis pulang sekolah juga les bareng sampai sore. Kita ngegame sampai dibelain puasa (karena emang Bulan Ramadhan). Kita juga selalu belajar bersama sebelum UAN walau pun prakteknya jadi foto bersama dan curhat berjamaah. Selama SMA, banyak hal yang telah kita lalui bersama. Kita juga punya jaket bersama bergambar pinguin bertuliskan “Penguin...too cool...” berwarna putih. Bahagia, sendu sedan kita lalui bersama.

“Yah, namanya juga hidup. Kalau pingin jadi anak kuliahan, jelas kita harus ikhlas kehilangan masa SMA.” Dany, personil paling tua memberikan siraman rohani. Sore itu, duduk berjajaran di bis ESTO, membelah jalanan Salatiga kita bicara dalam diam. Kita tenggelam dalam bisingnya pikiran masing masing, tentang masa depan yang mendekat selangkah, tentang perpisahan yang juga menganga dalam jarak selangkah. Akhirnya, kita harus berpisah. Dan gue nggak akan bisa melakukan hal yang sama, dengan orang yang sama, di tempat yang sama dan dalam kondisi yang sama pula. Apalagi kata terbaik yang bisa melukiskan hal semacam itu selain kehilangan?

Di sebuah sore, di dalam bis ESTO renta yang meliuk liuk membelah jalan Salatiga-Ambarawa bersama sahabat terbaik yang gue punya, gue tahu sebentar lagi gue harus mengakrabi rasa kehilangan, LAGI. Inilah rasa kehilangan karena perguliran waktu.
---

Bentangan sawah ada di kanan kiri gue.. Sekejab gue menutup mata, menghirup udara lekat lekat. Mencoba menikmati udara sore bersamanya sebisa mungkin. Karena gue tahu, ini yang terakhir. Mentari sedang merunduk dengan kerlingan sinar emas yang makin memudar. Ah, apa bedanya kita dan mentari itu? Sama sama memudar ditelan jaman. Gue ada di belakang punggungnya, melekat dekat dalam deru motor yang terus membelah jalanan. Jangankan jalanan, hati gue pun demikian, terbelah belah. Sore itu kembali gue mengulur kenangan. Dia nggak akan SMS nenek gue lagi saat gue ngambek dan matiin HP. Dia nggak akan tiba tiba muncul di depan rumah malam malam dan mengarungi 25 km demi sebuah awalan percakapan,

“Kamu masih marah?” lagi.

Dia nggak akan menyambut gue dengan senyum simpul sepulang rapat malam malam dan mengarungi 25 km demi memulangkan gue dengan selamat lagi. Dia nggak akan jatuh dari motor sampai lututnya sobek demi mencoba jalan baru yang bahkan belum diaspal malam malam tanpa penerangan bersama gue lagi. Dia nggak akan nganterin gue cari alamat dan nungguin gue ngelesin di hujan halilintar menyambar nyambar lagi. Dia nggak akan membelah jalanan dalam deraian air hujan di bawah mantel kelelawar sepulang kuliah bersama gue tepat di balik punggungnya lagi. Sore itu adalah sore terakhir kita, semacam sore penutup 57 bulan kita bersama.

Akhirnya, berakhir. Dia pamit pulang dan menghilang di batas pandang..dan kehilangan menyeruak di segala lapisan. 

---

“Meykke Alvia Yuntiawati, S.Pd, Kab. Semarang...”

Berlandaskan highheels bahan bludru warna hitam hadiah Ibu yang telah gue coba jalan teras-dapur selama sebulan sebelumnya dipadupadankan dengan kebaya super panjang warna emas dengan rok batik panjang penuh payet yang tertutup oleh jubah hitam berkalung selempang kuning dengan serupa medali menggelayut di ujungnya. Kepala gue dihiasi jilbab warna senada dengan topi berumbai satu berujung kepingan logam sarat makna. Gue berjalan menaiki tangga satu demi satu dengan jumawa. Perjuangan penuh rintih dan usaha penuh keluh telah terbayar lunas. Di tengah panggung, Bapak Nomor Satu menunggu gue. Begitu gue berdiri di depannya, dengan sekali hentakan rumbai satu topi ajaib gue berpindah posisi. Dengan sekali hentakan, semua perjuangan berkelebatan.

“Meykke, usahamu lari lari ngejar bis ESTO, berangkat pagi pulang malam, nongkrong di lobi kampus sampai kaki kesemutan karena berburu wifi, mantengin referensi di perpus demi sebuah sekripsi ditemani kopi Good Day, berantem sama Cecek dan lainnya demi presentasi dan tugas yang cemerlang...semua telah dibayar lunas.”

Gue melempar pandang ke barisan teman teman gue yang juga berkostum sama. Dan gue teringat sahabat gue paling dekat semasa kuliah, Inggit...

“Tapi Mey, setelah hari ini..Tak ada lagi makan mie ayam campur ceker atau pun tahu campur level 10 bersama Vince, Inggit, Wida, Mela, Dian, Ningrum, Nurul, dan Shinta lagi. Tak ada acara berburu drama Korea atau pun ocehan Vince serupa,

“Yeeek, kowe ki mbok sekali kali melu donlod, ora isone gor njaluki wae.” Yang dalam bahasa Indonesianya dia ngajak berantem. Dia pingin gue juga ikutan download jajaran episode Drama Korea, nggak cuman minta doang bisanya. Lah, khan dia tau sendiri gue sibuk mosting cerita absurd gue bareng dia saat Sepedaan bareng sambil ujan ujanan biar kayak film India atau pun tentang Karaoke 20ribu/jam sampai leher kaku kaku dan kerongkongan kerontang.

Gue menengok ke arah Mela, Nurul dan Vince yang duduk sejajar.

“Cek, yahh..kita mainnya udahan...besok kita udah nggak bisa bikin tugas sampai urat leher keluar semua.”

“Laaah, jenenge urip ki yo koyo ngene. Ono ketemu, ono pisah..La mosok kowe pingin dadi cah kuliah terus?? Aku no wegah. Aku meh kerjo barang...” Yang Bahasa Indonesianya dia ngajakin gue berantem lagi. Gue mah maunya so sweet dikit gitu, jawab kek misalnya,

“Ahh, iyo Yek...aku bakalan kangen karo kowe. Kowe kan bestfriend banget!” Yang artinya adalah dia bakalan kangen sama gue karena muka gue imut dan gue teman yang asik.

Siang itu, 20 Juli 2013 gue sadar sesuatu. Gue nggak akan bisa lagi ikutan lomba fakultas sampai joget sambil nyanyi “Cinta Rupiah” di hall kampus kayak orang putus urat malunya. Gue nggak bisa lagi cekikikan bareng Inggit di kelas lagi. Gue juga nggak bisa gotong royong di setiap test. Gue nggak bisa makan siang bareng di balkon kampus sambil ngeliat indahnya awan berarakan di langit Salatiga bareng Inggit dan Via. Gue nggak bisa.....ahh...Setelah acara ini selesai dan nama gue memanggut gelar, kehilangan akan menyeruak lagi ke segala penjuru mata hati. Kehilangan teman kampus, momen momen indah di kampus, dan perjuangan melawan kebodohan.

“Time, you did it again!!!”

---

“Nduk, ati ati...kalau ada yang ngasih permen di bis jangan mau ya...selalu waspadalah waspadalah!!” Ayah gue menjejali gue dengan begitu banyak petuah ala anak umur 7 tahun. Faktanya, anaknya 15 tahun di atas itu.

Bis pelan tapi pasti berlalu dari terminal. Gue masih bisa melihat tangan adik gue yang paling kecil, Astrid melambai lambai di udara dengan air mata yang bercucuran kayak di drama Korea. Adik gue yang paling besar juga melepas kepergian gue. Bahkan, kakek, nenek dan Ibu gue juga masih berdiri di bibir terminal demi melepas seekor kura kura akil baligh di lautan kala subuh, yaitu gue. Lima belas menit kemudian, di keremangan bis malam yang hanya dipasok cahaya dari kerling lampu jalanan, gue gantian nangis. Kali ini gue nangis bukan karena gue liat 49 Days scene ketemu pacarnya yang udah mati lalu berpisah lagi di pinggir pantai. Gue nangis karena sejak saat itu, gue akan kehilangan momen disuruh tidur Ibu,

“Keee!! Udah jam 2, masih nggak tidur????” Lalu, gue yang kebelet asik liat Drama Korea segera masang headset dan matiin lampu kamar demi sebuah kamuflase yang sempurna.

Gue akan kehilangan momen saat adik gue minta tolong kerjain PR, saat Ayah gue minta dibikinin teh, saat gue nggak harus merencanakan mau makan apa atau mau masak nasi seberapa, saat gue dibangunin Ibu gue pagi pagi, saat gue tidur bareng Nenek gue lalu diam diam nenek gue melingkarkan tangannya ke pinggang gue lalu mendengkur keras sekali, saat gue tawuran sama adik gue karena rebutan remote TV, dan sejuta saat indah lainnya. Sepanjang malam, di kali pertama gue berpisah dengan keluarga dalam rentang waktu lama, di kali pertama gue naik bis sendirian begitu jauhnya, gue sadar satu hal. Kehilangan akan terus bersama orang orang yang menjalani hidup. Tapi, bukan itu inti sebenarnya.

Seperti halnya air yang terus mengalir, waktu pun terus bergulir. Waktu menghadapkan kita pada dua hal. Pertemuan dan perpisahan. Dan perpisahan selalu berteman baik dengan kehilangan. Tapi, hidup tak berhenti hanya sampai di tahap kehilangan.

“Iya khan, Mi?” Gue minta dukungan moril kepada Miyako yang terus mengucurkan udara segar di kamar gue. Tapi, dia cuman bisa geleng geleng. Ahh,  di sini gue sekarang. Masih menatap langit kamar dengan corpse pose. Di sini gue sekarang, setelah kehilangan macam apa saja yang gue alami. Hidup penuh dengan kehilangan, bukan? Tapi, bukan itu inti ceritanya. Karena sesungguhnya kehilangan sebenarnya mengantarkan pada pergantian. Benar kata Ibu saat gue menangis sesenggukan saat perpisahan SD. Untuk bisa mencapai level selanjutnya, kita harus siap melepaskan level di masa sekarang. Untuk bisa memiliki sesuatu, kita harus siap untuk kehilangan sesuatu. Untuk bisa meniti masa depan, kita harus siap meninggalkan masa lalu.

Kehilangan masa kecil, masa SD, SMP, SMA, kuliah atau apapun adalah hal yang biasa, semua orang mengalaminya. Rindu masa kecil, masa SD, SMP, SMA, kuliah atau apapun adalah yang wajar, orang normal merasakannya. Karena kita berkembang, karena kita meniti masa depan. Kehilangan gue akan masa SD mengantarkan gue ke jenjang SMP. Kehilangan gue akan masa SMP,mengantarkan gue ke jenjang SMA. Kehilangan gue akan masa SMA, mengantarkan gue ke arah kuliah. Kehilangan gue akan masa masa indah bersamanya, mengantarkan gue ke hati yang lebih kuat dengan langkah yang lebih mantap. Kehilangan momen bersama keluarga gue mengantarkan gue ke petualangan yang lebih seru di kota Jakarta dengan kesempatan yang lebih lebar dan pengalaman yang lebih kaya.

DR. Aidh Al-Qarni bahkan pernah berkata, “Jangan bersedih! Allah tidaklah mengambil sesuatu darimu kecuali dia pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik selama kamu bersabar dan mengharap kepada-Nya” 

Walau pun di tiap tiap sesi kehilangan itu gue selalu nangis sampai kantung mata kayak bisulan sebulan, gue akan mengingat kata kata itu, pelajaran hidup nomor 27. Karena sebuah kehilangan bisa jadi digantikan dengan sebuah permulaan yang baru, berkah yang baru dan level yang lebih ter-upgrade.

Bahkan, beberapa tahun ke depan gue juga akan kehilangan masa sendiri gue, masa dimana gue malam Mingguan bersama kipas angin Miyako. Mungkin 10 tahun ke depan gue akan kehilangan masa otentik gue karena gue sudah punya generasi penerus yang akan menyemarakkan dunia fana ini. 30 tahun lagi, mungkin gue akan kehilangan masa aktif gue dan keriput mulai berserabut satu demi satu. Hingga akhirnya, akan tiba masanya gue kehilangan sarana satu satunya dan menjadi transparan. Gue kehilangan masa kontrak gue. Allohualam.

Tapi, Pak Mario bilang, bukan kehilanganlah inti dari persoalannya. Tetapi, bagaimana kita memanfaatkan waktu yang ada sebaik baiknya. Bagaimana kita bisa menjalani hari dengan maksimal. Karena di hari esok, kita telah kehilangan hari ini. Karena di hari esok, hari ini hanya sebatas kenangan. Tapi, mau dibuat kenangan indah atau buruk, semua ada di tangan kita. Tergantung dari apa yang kita lakukan hari ini untuk hari esok.

“Wahhh, kayaknya gara gara kebanyakan ngliatin langit langit kamar, otak lo kadang encer juga Mik!” ucap Rimi*

“Buseeeetttt!” Gue kaget.

“Well, this is life. Sometimes, to get something we have to be be ready to lose something else. To go up to the higher place, we have to be ready to leave the lower place. This is life, Rim..You won’t understand..” Gue bergumam. Hari beranjak pagi dan gue harus siap siap kehilangan lagi. Gue harus siap kehilangan hari kemarin dan melakukan yang terbaik untuk hari esok. Insha Alloh...

"Tulisan ini diikutsertakan dalam Best Article Blogger Energy Edisi April, cuy...."

*Rimi : Rice Cooker Miyako


Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. kehilangan teman SD, pastinya sedih sekali, saya juga sedih. Kehilangan sahabat memang sulit, tapi kita harus melewati fase-fase tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak sekali kehilangan yang terjadi, begitulah hidup. Meskipun tulisannya panjang, tapi saya terhipnotis untuk membaca semua isinya, keren pengalamannya :)

    BalasHapus
  2. Baca tulisan kaya gini selalu berhasil bikin gue langsung melow..
    Dimana mana kehilangan emang ga enak, dan hampir semua yang lu tulis udah gue alamin, mey. Jadi berasa ngebayangin diri gue sendiri dalam tulisan itu..
    Emang bener ya.. Kalo mau naik level mesti ninggalin level sebelumnya biar jadi lebih baik. Mau ga mau kita harus kehilangan demi mendapatkan yang lebih baik.

    BalasHapus
  3. Inilah hidup, kalau lu berani bertemu sesuatu, lu berarti sudah harus berani berpisah. Ketika lu berani berbuat, lu sudah siap menjadikannya kenangan. Ketika lu siap mencari sesuatu, lu harus siap juga kehilangannya.

    Seperti kata lu tadi, kalau mau ke tempat yang lebih tinggi, lu gak bisa cuma berdiam diri di tempat lu sekarang, tinggalin tempat lu sekarang dan berjalanlah ke tempat yang tinggi, sesuai keinginan lu :)

    BalasHapus
  4. wah aku berasa terbang ke masa kecil sampai akhirnya kembali lagi ke hari ini. Iya , kenyataan hari ini kalau semua sudah berlalu. Waktu yang telah hilang memang tak bisa kembali tapi kenangannya akan selalu teringat sampai mati.

    Wah mbanya best ini mah ceritanya, Semoga Miyako gak geleng - geleng lagi yah.. :D

    BalasHapus
  5. Ahhh, kembali ke masa kecil gue ni. Sepanjang jalan kenangan. Itulah sebutan gue dengan masa lalu diwaktu kecil tempo dulu. Sepertinya kehilangan yang kek Mey ceritakan, lebih menyanyat ketimbang cerita gue. Aduhhh, berasa minder badai ini.

    Bener kata kak mey. Untuk melangkah dan mendapatkan yang lebih tinggi. Kita harus meninggalkan masa yang membuat kita berjalan di tempat. Proses panjang harus kita paksakan, demi mewujudkan apa yang sebenarnya kita harapkan.

    Semoga kehilangan ini, tidak membuat pertanyaan baru. "Akankah aku bisa kembali ke masa itu?"

    BalasHapus
  6. Kehilangan mungkin dibutuhkan ya untuk membuat sesuatu lebih baik lagi, membuat diri semakin dewasa

    Emang awalnya sedih sih kehilangan temen sd pas mau smp, kehilangan temen smp pas mau sma, kehilangan temen sma pas mau kuliah dan begitu seterusnya. Sukses ya kak buat best articlenya

    Btw salam ya kak buat Miyako nya. (Nyebut merk boleh nggak nih?)

    BalasHapus
  7. Setelah baca postingan ini, pikiran gue jadi mengawang-ngawang menerobos deretan waktu ke beberapa tahun yang lalu. Saat gue masih disebut anak-anak, bukan remaja yang sebentar lagi menginjak masa dewasa.

    Kisah masa kecil memang terlalu manis untuk dikenang. Gue jadi inget, dulu setiap mau lebaran gue selalu keliling main petasan sama temen-temen gue. Pas pagi-paginya setelah sholat ied, kita keliling rumah tetangga cuma buat ngarepin dikasih THR. :D

    Tapi hidup harus terus berlanjut! :D

    BalasHapus
  8. Kehilangan masa-masa SD, SMP, SMA, Kuliah.. Kehilangan memang menyesakkan, ya, Kak Mey.. :')
    Tapi kehilangan juga yang mengajarkan kita banyak hal. Jadi lebih menghargai apa yang ada... :)

    Semangat terus, Kak! \o/

    BalasHapus