MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

PERMAINAN TUHAN

PERMAINAN TUHAN
Add Comments
Selasa, 29 April 2014



Ini adalah cerpen yang aku ikutkan dalam lomba bertema "Cinta Terlarang". Sayang, nggak masuk jadi kontributor. Daripada menggelepar tak terjamah, aku tampilin di sini saja. Silahkan komentarnyaaaa :)

Meykke Santoso

sumber

 
Hujan. Ya, sore itu hujan begitu pekat. Rinai hujan tak henti hentinya berhamburan seolah mengolok olok seonggok aku yang diam dengan hati yang pecah berhamburan pula. Aku kembali memandang sosok yang juga mematung di depanku, mencoba menahan diri dari hati yang juga berserakan. Aku tahu betul itu. Selang beberapa detik, pun dia melayangkan pandang tepat di manik mataku, mencoba melumat habis perasaanku yang tergambar jelas dari pantulan itu. Ah, tatapan teduh itu mengingatkanku akan masa yang kita namai lalu, bernama masa lalu. 

Kaki kaki kecil itu berkecipak di air sungai yang begitu jernih hingga kita bisa melongok menatap ikan ikan yang tengah berenang riang. Tepat di sebelahnya, dua belah kaki kecil pun ikut berkecipak beradu kecepatan menghasilkan air berbuih buih. Rambut kita sudah basah bukan kepayang hingga bulir bulir air menetes dari tiap pucuknya. Masalah tubuh jangan ditanya, sudah dua jam lebih kita berkubang di sungai belakang rumah ini. Tapi kita tidak berdua saja. Menengok sedikit saja ke belakang, lima buah pasang kaki kaki kecil lainnya tengah asyik bergurau bersama ikan ikan kecil yang lagi lagi berenang riang. Mereka akan menancapkan seantero tubuh ke air lalu sekonyong konyongnya menyembulkan kepala ke atas demi paru paru yang terus mengembang dan mengempis. Senyum akan bergulung gulung di wajah mereka yang sedikitpun tak menggambarkan beban. 

Sebilah kaki kecil yang berkecipak lalu mulai turun dari batu besar di tengah sungai, menyusul kaki kaki yang lainnya. Dia menjulurkan tangan ke kaki berkecipak di sebelahnya dengan senyum yang mengembang lebar.
“Ayo, renang sekarang Raina!” Sekejab kemudian, tangan kecil perempuan itu menjemput tangannya dan berdua mereka membelah sungai ke kanan dan ke kiri, dari kiri balik ke kanan. Tak henti hentinya si gadis kecil mengulum senyum di jangkauan tangan si laki laki kecil berkulit legam. Bukan, saat itu dia belum berjumpa dengan cinta. Bahkan, dia masih mengelap ingusnya dengan tangan kanan, lalu si laki laki bertubuh jangkung dengan kulit legam itu akan tertawa terbahak bahak melihat wajah si gadis yang tak karuan. Namun, sebilah mata teduh itu selalu membuat si gadis nyaman dan aman. 

--



Kembali aku menelan ludah di kerongkongan yang kering kerontang. Bahkan, untuk mengesap secangkir kopi yang mengepul di ujung meja pun aku tak sanggup. Aku terus mengenggam tanganku sendiri yang sedari tadi bergemeretak, hatiku retak retak.

“Raina...” Ucapnya sejurus kemudian.

“Jangan...jangan bicara..” Aku memekik hebat tanpa suara.

Aku memandangnya lagi, sekali lagi. Ah, andai saja ilalang yang bergoyang itu tahu kalau aku ingin memandangnya bertubi tubi, di setiap ujung lelapku, di setiap pagi.

Aku benar benar kehabisan kata kata. Nyatanya satu suku kata pun tak mampu keluar dari mulutku. Susah payah aku melebarkan mata, berusaha menghentikan kubangan yang terus mendera.

“Aku pikir kita sudah sampai di batas akhir....”

Sungguh, tsunami bergulung gulung menerjang hatiku, melumat habis isinya, menelan bulat bulat bahkan satu sel pun tak tersisa. Kini pipiku yang mulai berkubang. Lihat saja, hatiku pun jelas jelas berlubang. Andai saja aku bisa menampik kenyataan dan terus hidup di mimpi indah yang sudah kita selami selama bertahun tahun.
Dimulai dari air sungai yang berkecipak, dia selanjutnya terus berkecipak di hatiku, mengalunkan nada nada merdu yang selalu ingin aku dengarkan setiap waktu. Tuhan seakan selalu mempertemukan nasib ku dengan nasibnya. Kita belajar di SMP yang sama, lalu melangkah maju di SMA yang sama pula. Bahkan, saat di SMA kelas dua dan tiga, dia selalu duduk mendengarkan dengan seksama tepat di sisi kananku. Dia akan menjelaskan tentang rumus rumus kimia yang tak aku mengerti atau pun cerita tentang cos, sin, dan tan. Dia dengan mata penuh binar menjelaskan kepadaku bagaimana bulir biji berwarna hijau itu akan tumbuh menjadi kecambah. Bak kecambah, bulir bulir rasa terus tumbuh berakar serabut.

“Rainaaa...ayo cepetan berangkat!!!” Dia selalu berdiri di ambang pintu rumah dan memanggil manggil namaku yang pagi itu masih melekat erat di kasur kamar.

“Oh ya Reon, ini tante udah bikin surat. Nanti kasihin sama guru di sekolah ya... Raina nggak masuk sekolah, dia lagi sakit panas.” Mama menyusul Reon yang masih berdiri di ambang pintu.

“Lah, panas kenapa tante?”

“Itu gara gara kemarin pulang sekolah ujan ujanan tu Raina jadi sakit...”

Tak sampai lima hitungan Reon kini sudah berdiri di ambang pintu kamarku. Dia memakai seragam putih abu abu berbalut jaket hadiah ulang tahunku tahun lalu dan berujung pada sepasang sneaker kebanggaannya.

“Kenapa panas Na?” Ucapnya sembari menempelkan punggung tangannya ke dahiku yang menyengat.

“Aku juga nggak tahu, tiba tiba panas sendiri...” dengan mimik yang aku buat seimut mungkin, aku menimpali pertanyaan konyolnya.

“Ini pasti gara gara kita nerobos hujan kemarin sore, Na...” Raut mukanya berubah.

“Santai aja lagi...khan dulu waktu kecil kita juga suka pulang sekolah ujan ujanan...kayak film India gitu...” Aku menimpalinya lagi, berharap wajah tampannya kembali berbinar.

“Ya udah, aku berangkat dulu ya...tunggu aku. Nanti aku ke sini lagi..” Dia beringsut dari ujung tempat tidurku. Dia melambaikan tangan dan menutup pintu. Sejam kemudian, panasku turun.

--

Serpihan masa lalu terus berkelebat seperti scene scene film yang dikenai fast forward. Semua kenangan dengannya di banyak masa berkeliaran liar berputar putar tak karuan. Bahkan, aku dan Reon sudah laksana botol dan tutup. Kita tak pernah jalan sendiri. Sedari kecil kita telah bertemu dan menyatu. Kita melakukan apapun bersama sama dari waktu ke waktu. Pun kita tumbuh dan dewasa dalam jalinan rasa yang bahkan tidak bisa dimengerti oleh masing masing orang tua kita.

Mataku sudah meruah menyisakan semburat merah yang menjejali seisinya. Aku tahu hatiku tak hanya sekedar patah. Pun aku tahu hati Reon tak sekedar hancur. Hati kita menyatu serupa serbuk yang bahkan setiap selnya tidak bisa lagi dibagi menjadi dua. Kita luluh di ambang lantah. Binasa sudah. 

“Kita sudah ada di ambang batas, Na...” Kembali dia mengulangi kata kata pamungkasnya, seakan ingin menegaskan kalau sudah tidak ada hari esok untuk jalinan bernama kita.

“Iya.” Rasa rasanya mengumandangkan kata iya serupa membawa timbunan batu dalam sekali waktu. Suaraku tercekik.

Aku tak lagi peduli tentang genangan air asin yang menjejali pipiku. Kini bahkan aku tak berani menatap lagi manik matanya. 

“ Besok jam berapa?” Kini suaranya bergetar. Bahkan, aku yakin dia sudah tahu perihal ‘jam’ itu.

“Jam 9.” Aku menatap kaki kaki meja yang berjejalan di antara kakiku dan kakinya. Ah, lihat saja kaki kita sekarang telah tumbuh begitu jenjang. Kakinya yang hanya sebatang korek pun sekarang terlihat kekar.
“ Hujan sudah reda, ayo pulang sekarang...”

“Jadi, hanya begini saja??? Hanya serupa ini??” Kembali aku memekik begitu banyak kata tanpa suara. Aku bergeming tanpa sedikitpun beringsut. 

“Aku belum mau pulang. Aku mau makan lagi di saung biasanya.” Suaraku sudah bergetar tak karuan menahan tangis. Kini, suaraku lebih cocok dikatakan merajuk daripada sekedar memberi informasi kalau aku ingin makan lagi.

“Ya udah ayo...”
--
Kini tak ada lagi meja yang menghalangi kakinya dan kakiku. Kita duduk lesehan dengan kakinya tepat di sisi kakiku.

Angin malam yang bergulung gulung adalah satu satunya suara yang memecahkan kesunyian antara kita berdua.

“ Besok kita bisa kesini lagi?” Bahkan, anak SD pun tahu jawabannya.

“Tidak...”

Kembali bibirku bergetar dengan gigi gigi yang bergemeretak. Lebih dari retak, hatiku porak poranda. Serupa gunung berapi yang sudah lama menahan lahar, kini aku memuntahkan saja seenak hati. Tangisku meledak. Aku tak peduli lagi angin akan memaki atau nyamuk yang berseliweran akan mencibir. Nyatanya hatiku serasa tersobek sobek dengan bulir paku yang menancap di tiap inci.

Aku menangis sampai puas. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Dan lebih dari sekedar permen, Reon adalah sisi lain palung hatiku. Aku terus menangis dengan jangkauan lengan Reon yang melingkar di punggungku. Aku terus menangis dengan tepukan lembut tangan Reon di pundakku yang menggigil dingin.

--
“Kamu cantik sekali...” Ucap Danu sembari menyambut tanganku.

“Terimakasih..” Dia kemudian duduk tepat di sisiku yang sudah berbalut kebaya berwarna merah marun, warna kesukaan aku dan Reon. Iya, pasti semua sudah menduga. Danu adalah pria idaman keluargaku. Dia anak teman baik papa yang juga merangkap sebagai partner kerjanya. Papa dengan sekali kayuh mampu membuat apapun terjadi, termasuk pertunangan ini.

Aku terus menatap di sudut ruangan. Seorang pria berwajah tampan duduk sembari menikmati secangkir kopi di perhelatan pertunanganku hari ini. Dia tampak sangat rupawan dengan beskap dan baju adat Jawa, sama seperti sepupu sepupuku lainnya.

“Tuhan telah mempermainkan kita, Reon...” mata kita beradu dalam satu waktu. Tanpa suara, kita melempar banyak kata yang bahkan kata kata tak mampu melukiskannya.

“Berbahagialah, sepupuku...” Ucapnya senyap senyap.







Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. Kak Mey aku nggak suka aahh sad ending. Kenapa mereka harus sepupuan sih? Iiiihhh kasian Raina-nya :(

    Ah gini nih, aku paling sebel sama penulis yang pinter bikin cerita seneng-seneng di awal tapi pas ending-nya sedih. *Padahal kadang aku juga suka*

    Komentarnya sih sejauh ini ceritanya bagus Kak, malah aku bingung kok nggak lolos ya? Soalnya seperti biasa, kamu pinter banget ngerangkai kata-kata dengan kekayaan diksimu Kak. Keren.

    Tapi kalo boleh sok tau nih, aku pengen komentar tentang kekurangannya. *semoga aku nggak terkesan menggurui. Aku juga sama-sama lagi belajar Kak, kalo aku salah tolong dikoreksi juga ya*


    Buat kekurangannya , mungkin tiap kata yang diulang-ulang harusnya pake tanda hubung (-). Kayak ikan-ikan, berbuih-buih. Terus yang "kita" di bagian awal pas anak kecil, kan ceritanya tokoh aku dan temennya itu, mungkin harusnya kami ya? Soalnya kalo kita jadi si pembaca ikut kebawa. Eh, iya nggak sih?

    Nah yang "mengesap" itu kalo di tesaurus sih adanya menyesap atau mengesup Kak, nggak ada mengesap. Mengisap juga bisa. Terus buat istilah asing, setauku sih itu dikasih efek italic ya? Yang scene, fast forward juga.

    Udah deh segitu dulu aja. Semoga bener hehe.

    Btw, emang kamu nggak pengen ya Kak bikin buku sendiri? Antologi udah banyak, lomba lolos terus, pasti lebih seneng lagi kalo punya buku sendiri :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau soal isi ceritanya menurut aku bagus. Perbendaharaan kata kamu luas banget ya, Mey? Hehe.
      Komentar aku juga kurang lebih kayak komentarnya Dwi di bagian pengulangan kata sebaiknya menggunakan tanda (-) biar lebih enak dibaca.
      Btw aku suka sih baca tulisan yang sad ending, kadang-kadang isinya lebih realistis dan lebih sulit ditebak.

      Eh aku mau nanya, kalau penulisan dialog memang ditulis dengan italic (miring) ya?

      Hapus
    2. cc Dwi, puanjang benerrrr aku terharu dah sumpah, aku nggak bisa bilang apa apa kecuali...THANK YOUUU SOOOOO MUCH atas segala saran yaaaa... I love youuuu...hehehehe

      Hapus
    3. Adityar, makasih jugaaa...hehehe..oke semua saraan akan aku seraaaaap...

      sekarang aku udah tau kalau percakapan nggak pake dimiring miringin, hehehe

      Hapus
  2. Udah keren kok kak Mey, apalagi dengan diksi-diksimu yang sangat kaya itu loh :D

    Kalo kekurangannya sih hampir sama seperti apa yg kak Dwi katakan diatas itu.

    Meskipun nggak lolos, tetap semanagt berkarya ya kak.

    Loh, kok sad ending sih. Knp endingnya nggak happy aja *maksa*

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih ya cc fatimaaaah :)

      hehe, aku lebih greget kalo menulis sad ending, tapi aku selalu berdoa kalo ceritaku akan berakhir happy ending *ngomongopooo @.@

      Hapus
  3. Heran kenapa cerpen kayak begini gak lolos ya ? :o Padahal udah bagus, ceritanya juga ngalir. Tapi kekurangannya cuman satu Kak Mey, terlalu banyak penggambaran perasaan dari tokoh utama, jadinya aku bingung jalan cerita yg sesungguhnya seperti apa.

    Biar aku luruskan, Raina sama Reon awalnya aku kira saudara kembar. Tapi bukan ya ?
    Kedua, aku kira Raina sama Reon itu udah pacaran ? terus break gitu ? alesannya apa kak ? :o
    Hmm, bener2 sad ending nih ._.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya ya, aku suka saat nggambarin sakit itu gimana, tertatih tatih itu gmana, ahahaha...

      yahh, baca sampe akhir Faaan, orang mereka sepupuaaaan..@.@

      Hapus
  4. Saya malah tidak paham dengan bahasa cerpen seperti ini. Pingin bisa menulis seperti ini, tapi kosa kata seperti itu memang dari ungkapan hati atau memang ada kosa katanya yang memang bisa dipelajari ya Mbak ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini ungkapan dar hati paling dalaaaam hehehehe...ini hasil dari baca baca juga nyomot diksi sana sini kk Hendrik hehehe

      Hapus
  5. dapet dari Andrea Hirata sama Tere Liye sama penulis kereeeeeeen lainnya hehehe...

    makasih cc :)

    BalasHapus