MASIGNASUKAv102
1413081431726134975

Lebih Baik Sakit Gigi Daripada Sakit Hati??? THINK AGAIN!! (Episode 4)

Lebih Baik Sakit Gigi Daripada Sakit Hati??? THINK AGAIN!! (Episode 4)
Add Comments
Senin, 17 Februari 2014

Pada akhirnya gue meneguhkan niat. Gue nggak bisa seperti ini terus menerus. Bahkan, sehari berlalu dan darah masih terus keluar. Bahkan, gue nggak bisa makan nasi terbentur gusi menganga dengan darah dimana mana. Saat gue buka mulut dan memantau keadaannya, gue suka bingung.

“Ini gusi apa hati?”

2 Januari 2014 gue sudah sampai di jakarta, dan menginjak pagi gue sudah duduk di emperan ruko sambil minum kopi, nunggu bos datang.

3 Januari kita semua berlabuh ke Lembang dan menginjakkan kaki di tepian kawah raksasa berasap bernama Tangkuban Parahu, dilanjutkan menginap semalam di villa Taman Bunga di pucuk Lembang yang dinginnya menyegarkan sukma.

Nah, begitu menginjak tanggal 4, dengan diantarkan bos, gue bertemu dengan Dany di mall anak gahol Bandung, Ciwalk, lalu kita menembus jejalanan Bandung hanya dengan kaki untuk bisa melihat bangunan bangunan antik serupa MonumenPerjuangan Warga Jawa Barat, Gedung Sate, Taman Bunga, juga menyelusuri jalan Dago dengan disokong sepeda gahol milik pemerintah, hingga mampir di Taman Jomblo, dan bermuara di Sibuga untuk mencuci mata juga dompet seketika.

Tapi, bukan ini inti ceritanya.

Tertanggal 4 Januari, setelah katam menyaksikan bunga bunga di tepi jalan, alangkah indahnyaaa...oh, kasihan...kan ku petik...sebelum layuuuu, disaksikan rintik rintik hujan di ambang magrib, satu payung berdua bersama Dany, gue pergi ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut, tempat sehari hari Dany menimba ilmu dan mengamalkannya.

“Aku nggak mau dicabut dulu lho Dan...soalnya khan ini masih sakit, perih dan merajam rajam. Kalau sakit khan nggak boleh dicabut dulu khan?”, ucap gue penuh modus.

“Ya coba dulu ntar Mey...tapi menurutku udah sampai sini juga, Mey...emang kamu mau ke sini lagi?”


“Aku Cuma mau minta obat pereda sakit aja, Dan...kebahagiaanku seperti terampas olehnya. Kemarin aja temen kerjaku mbakar jagung lalu makan jagung bakar berjamaah, akunya makan bubur bayi. Aku sedih, Dan...mengapa hidupku tidak seperti orang kebanyakan??” Rasa rasanya gue ingin menampik lindungan payung Dany, dan membiarkan pipi gue basah. Karena apa? Toh air hujan akan mengaburkan air mata.

Yaks, ini lebay bingit. Nggak usah dibaca.

--
“Silahkan tiduran teh, santay aja teh, kayak di pantaiii...”

“Iya dok, ini sudah santay bingittt..” Tengkuk gue terasa pegel banget dengan kedua belah lengan gue mematung serta kuku kuku gue mencengkeram pinggiran kursi periksa saking santaynya. Ini udah yang paling santay ini.

“Mey, lu udah sampai sini kalau cuman minta obat doang, lu cemen mey....cabut sekalian Mey...bodoh amat sakit biar sakiiiiit sekaliaaaan...mendingan mana?? Sakit menumpuk di satu waktu saja atau sakit kreditan tapi nggak bisa makan berhari hari?? Yang lebih membunuh yang mana?”, terjadi pergolakan yang amat sengit antara hati dan gue.

“Iye Ti gue mudeng maksut lu, Ti... Sakit dengan level yang sama menembus pagi, siang, berhari hari sepanjang waktu berbulan bulan jelas sakit yang lebih mematikan. Mati pelan pelan”

“Dok, kalo dicabut sekalian gimana, Dok?” ucap gue pada akhirnya. Toh, gue udah sampai sini. Gue benar benar ingin mengakhiri segala ketertatih tatihan gue selama ini.

“Teh, biar tahu dimana posisi akarnya, bisa kasih tau dulu hasil rontgen kemarin?”

“Aduh dok, nggak aku bawa masih di dokter rumah sakit.”

Lalu, dia pamit pergi dari ruangan. Gue pikir dia akan membuatkan gue secangkir teh, ternyata dia memanggil dokter senior.

“Saya nggak bisa menjamin akan bisa tercabut ya, tapi akan saya coba..”, ucapnya sembari memasang sarung tangan plastik di ke dua tangannya, lalu menyemprot alat alat medis yang memang sudah super bersih. Gue lihat, beda sekali dengan rumah sakit yang kemarin gue datangi. Ruangannya gue rasa tidak steril, dan alat alat pun juga langsung digunakan tanpa disemprot semprot atau apalah itu namanya. Begitu gue dicabut, gue cuman disubal tampon satu dan nggak dikasih tampon atau kapas sumpelan untuk ganti. Bahkan, saat gue akan dicabut, mata gue menangkap alat bor yang masih berlumuran darah di leher alatnya. Gue nggak sebutin Rumah Sakit mana, bisa bisa gue kayak Prita.

Di sini gue bisa sedikit tenang...

“Aduh, Dok...sakit nggak ya Dok...” Scene pencabutan dramatis sebelumnya seakan berkelebatan di pikiran gue. Scene saat tangan gagah memegang kepala gue dan gusi gue dikoyak koyak oleh dokter yang matanya memicing.

“Mati nggak looo..mati nggak loo!” picingan matanya menyiratkan seribu makna.

“Cuma sedikit teh..khan dikasih bius lokal, yang penting tetap santayyy...”. Alhamdulillah sang dokter nggak bilang ‘ya, gitu deh.’

Dokter membuka mulut gue, memasukkan sepasang spion kecil dan alat yang ujungnya seperti sendok mini. 

“Ini akarnya dimana ya...”, ucap dokter sambil membuka buka luka gusi gue yang masih menganga.

“Tak kasat mata, dok..”, ucap gue sayu

“Owh, bukan kok teh, akar gigi maksutnya...”

“Owh kirain...”

Sedetik kemudian, dia sudah siap sedia menyuntikkan obat bius di tempat yang sama, dinding gusi yang bersentuhan dengan tembok pipi bagian dalam.

“Cesssssss......” Linu dan ngilu lalu berkolaborasi.

Tak selang berapa lama, dokter mula memasukkan sebuah alat, lalu mulai mengorek orek posisi akar jahanam yang tak mau keluar. Gue tak begitu memperhatikan apa yang dilakukan dokter itu karena gue sibuk pegangan tiang lampu di samping kursi gue..

“Teh, jangan tegang teh...” lalu seorang suster melepaskan cengkeraman gue dan meletakkan tangan gue ke samping tubuh gue. Sejurus kemudian gue meremas remas pinggiran kursi. Tengkuk gue rasanya begitu berat.

Gue memanjatkan segala do’a kepada Alloh SWT. Gue baca ayat kursi, lalu surat surat pendek. Gue mau baca do’a sebelum mencabut gigi tapi gue kelupaan belum gue apalin.

Tiba tiba,

“cleeeeeengggg!!!” Rasa rasanya gusi beserta tulang pipi gue ketarik ke atas, dan sakitnya maha dahsyat.

“Dok, aduh sakit dooook!!” Gue merintih tak berdaya.

“Sus, tambahin obat biusnya..”

Lalu dokter dengan cekatan mengambil jarum suntik. Gue dibius lagi!!! Iyeeee, dibiusss...dan itu lagiiii!!! Lalu dokter memberikan sensasi ngilu yang sama di titip yang berbeda. Mungkin agar cairan biusnya bisa melingkupi gusi gagal move on ini sepenuhnya.

Lalu si dokter menekan nekan suatu spot di gusi gue,

“Diginiin sakit nggak teh?”

“Nggak begitu, dok...”, ucap gue dengan keringat yang menganak pinak bak sungai Ciliwung.

Lalu, dokter mulai mengorek orek lagi. Kadang sambil menekan nekan gusi gue, mata dokter melihat ke atas dan menekankan saraf sensorik dikolaborasikan dengan perasaannya untuk bisa tahu dimana akar jahanam berada.

Sejurus kemudian, dokter memasukkan alat serupa capit ke rongga mulut gue, dan sekonyong konyongnya, dokter mencengkeram sesuatu dari rongga gusi, dan

“Aduh duh duh, dok..sakit bangettt dok sakiiitttt!!” Gue menggelinjang. Lagi lagi tulang rahang gue seakan ikut teratarik dengan linu yang terasa sampai ke ubun ubun. Gue benar benar nggak tahan dengan rasa sakitnya.

“Sakit ya teh??”

“Aduh, banget dok...belum bisa kecabut ya??” Gue mulai menyerah. Lalu, tiba tiba gue liat Ryan D'Massive datang dengan sebilah gitar di ambang pintu.

“Jangan menyerah...jangan menyeraaaaah...jangan menyeraaaaaaaah...syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah..tetap jalani hidup ini...melakukan yang terbaik...”

Maka apa yang bisa gue lakukan kali ini demi level yang terbaik adalah mencabut akar gue. Maka kemana pun akar bersembunyi akan gue kejar. Lalu, gue nggak jadi menyerah, demi hidup yang lebih baik.

Dany yang sedari tadi menjadi saksi hidup penderitaan gue di kursi periksa sesekali mengelus elus kaki gue dengan tatapan penuh arti.

“Kamu pasti kuat, Meykke...pasti kuattt!!!” Kata kata dari matanya menembus ke relung jiwa.

Ah, gue jadi ingat. Kalau menggulung memori ke beberapa hari pun yang ngasih banyak solusi untuk gusi gue yang dirundung duka pun tidak lain tidak bukan adalah para sahabat gue ini. Ide ngemot es pun juga berasal dari mereka. Dan kalau menggulung memori ke beberapa bulan pun, yang memberikan begitu banyak semangat dan dorongan untuk hati yang dirundung nestapa hingga melebur berbubuk bubuk pun mereka. Dan kalau ditelaah, mereka adalah orang orang yang hampir mengetahui serba serbi tentang gue dari A sampai Z.

Di deraan sakit yang merajam, gue begitu bersyukur punya sahabat sahabat seperti mereka yang ada di kala senang atau susah, saat ada di kala ramai atau pun sepi, saat ada di kala lapang mau pun sempit.

Lamunan gue seketika terhempas saat sang dokter kembali memegang jarum suntik.

“Dibius lagi ya...”

Subhanalloh Allohuakbar! Dan untuk ketiga kalinya gue dibius lagi!! Gue hanya bisa tercenung tak bergeming di atas kursi periksa.

“Terserah dah gue mau diapain silahkan dok...”, ucap gue di tengah kegalauan luar biasa.

Perasaan gagal move on nggak gini gini amat, Ya Rabb...

“Nggak papa Mey, yang penting nggak tegang nggak bakalan sakit, Meyyy....”, ucap Dany

“Aku udah santay banget, Dan...aku rapopo...”, ucap gue dengan suara bergetar.

“Ini inflamasi ya Dok?? Jadi karena masih peradangan, jadi biusnya nggak mempan..”, ucap Dany kepada dokter.

“Kayak ekonomi dan bisnis aja pake inflamasi segala...”

“Itu inflasi, nyeeettttt...”, ucap vas di atas meja sang dokter yang sedari tadi menyimak perilaku kita.

“Owh...ya mangap...”

“Itu maap nyeeeeet...”

Gue lalu melayangkan pandang ke kedua belah mata sang dokter saat sang dokter mempraktekkan gaya tuas pada akar dan gusi gue. Lagi lagi akar gigi gue seakan dicokel layaknya tutup Fanta.

Gue hanya bisa meringis dengan separo bibir gue yang mati rasa semati matinya. Bahkan, beberapa kali gue berkumur, gue nggak bisa menangkupkan separo mulut gue karena kebas.

“Allohu akbar allohu akbar Allohu Akbar!” Gue teriakkan asma Alloh bertubi tubi di kalbu gue. Gue tahu di kala sulit, Alloh adalah tempat kita mengadu.

“Ya Alloh, akar nya nakal ya Alloh...” ucap gue dalam aduan

Dan, gue lupa kapan tepatnya, tiba tiba seperti ada bunyi

“KREK!!!”dan dia pun keluar.

Dengan penuh keharuan gue melihatnya keluar dan digendong oleh sang dokter. Seakan akan penantian gue selama ini dan segala usaha dan upadaya yang gue lakukan tak sia sia. Hari ini, akhirnya dia keluar juga.

“Laki laki bu...”, ucapnya sambil membawanya ke inkubator.

“Ini pasti mimpi, ini pasti gue berhalusinasi karena saking stressnya nunggu dia keluar.” Sekejab mata gue hapus khayalan gue yang belum waktunya.

Maka, keluarlah akar gigi segede biji beras. Dan gue meretas bahagia setelahnya.

Gusi gue kemudian disumpel tampon dan gue dikasih 3 tampon untuk menampung darah nanti malam.

Dari pengalaman ini gue sadar satu hal. Move on itu tidak gampang

Terkadang, mencabut akar akarnya pun terasa lebih sakit dan mematikan. Tak peduli berapa bius disuntikkan, seberapa kebas dia, sakit tetap akan menjalar sampai sumsum tulang belakang. Tapi, begitu mahkota tercabut, dan akar masih melekat, kita hanya dihadapkan pada satu pilihan saja. Mencabutnya dan membersihkan sisa sisanya. Karena menunggu mahkota gigi yang sudah tercabut adalah sia sia yang beralaskan belaka. SIA SIA BELAKA.

Akhirnya gue kembali ke kost Dany dengan penuh kelegaan. Dan di tengah gerimis mengundang kayak lagu Malaysia, gue dengar gusi dan hati gue ngobrol sambil minum kopi bersama.

Hati : “Gimana rasanya Si?”

Gusi : “Lega banget, Ti...sekarang gue udah bersih dan tidak ada lagi yang tertinggal. Gue optimis gue tidak akan merasakan sakit yang sama lagi..” ucapnya sambil menyesap kopi yang mengepul

Hati : “Bagus deh Si, gue ikut seneng...walo sekarang lu berdarah darah, tapi lu akan sembuh secepatnya...hanya soal waktu..”

Gusi : “Iya, bener...kalo lu gimana Ti??”

Hati : “Lihat, Si!!!! Ada PIRING TERBANG!!!!”

bersambung nggak ya...



Meykke Santoso

I'm a passionate teacher, an excited blogger, a newbie traveler and a grateful wife. Nice to see you here! I write for fun. Please, enjoy!

Assalamualaikum wr wb,

Terimakasih sudah mampir ke sini ya... Yuk kita jalin silaturahmi dengan saling meninggalkan jejak di kolom komentar.

Terimakasih .... :)

  1. huakakaka, haduh ceritamu harusnya serem. malah jadi gokil begini. Eh tapi jadi khawatir juga nih... ada geraham bawah yang sudah bolong. Dong dong dong. Pernah sakit sih. apa mending dicabut sekarang aja ya sebelum sakitnya parah? :(

    BalasHapus
  2. Hahahahaha haduuh ka meyke absurd banget. Hahaha xD

    Aku juga wktu kecil pernah cabut gigi, belum dicabut udah nangis teriak2. Untung aja masih kecil jd belum mengenal kata MALU. Hahaha.. Pdahal gak sakit loh dicabut. Tapi kasusnya ka mey beda, udah sampai ke akar-akarnya. Sudah ke lubung gigi yg paling dalam #halah

    BalasHapus
  3. Hieheie sakit yang paling bikin hati suka kehilangan kesabaran adalah Sakit Gigi ini

    BalasHapus
  4. aiihh aku ngerasain jadi kak mey. sakit gigi dan galau antara dicabut atau dibiarin. akhirnya dicabut juga meskipun bekasnya masih nyut-nyutan gitu.
    sekarang udah sembuh dong? alhamdulillah :))

    btw, itu sabiga apa sabuga ya kak? setauku tempat di Bandung adanya sabuga haha

    BalasHapus
  5. hhahahahaa aku malah ngakak baca cerita pencabutan gusi kamu Meyk, masa iya akarnya segede biji huaaaaa pasti sakit bgt tuh sampe dibius 3x ya Allah sakitnyaaaa
    tapi gakpapa yg penting skg sembuh kan?
    move on emang sakit, tapi sakit lagi kalo gigi kita bermasalah tsaaaahhhh
    moga gak sakit2 terus ya Meyk :)

    BalasHapus
  6. Gokil abis, gileee. haha. Tuh gusi mengajarkan tentang move on ya, begitu susahnya. haha. Ohya parah tuh rumah sakit ya, untung kamu nggak di mutilasi sama dokternya terus dijual haha. Keren ceritanya jangan disambung lagi, kasian gusinya haha

    BalasHapus
  7. Kalo udah cabut gigi coba deh giginya pas malam mau tidur ditaruh dibawa bantal. Siapa tau bakal diambil sama peri gigi. Kan lumayan berbagi kebahagiaan dengan peri...

    BalasHapus
    Balasan
    1. peri gigi ? gue kebayang muka perinya terbuat dari gigi.....
      peri super.....

      Hapus
  8. ya ampun, bisa gitu ya gak mempan sama bius, hahaha lucu mey. kalau aku dulu cabut gigi sama dukun kampung, cuma pake air garam, ckck untung dokternya sabar ya, gak dikapakin aja tuh gigi, muahahaha

    BalasHapus
  9. Dan bener saja dugaan ku, kak Mey.
    Rumah sakit yang sebelumnya emang gak recomended banget gitu.

    Pelayanan yang kak Mey terima di rumah sakit yang sekarang sama persis kek waktu aku cabut gigi.
    Nyaman. Bahkan lebih nyaman lagi karena dokternya memperlakukan ku selayaknya anak kecil.

    Itu akar segede biji jagung?
    Gilaaak!!
    Akar ato giginya itu?

    BalasHapus
  10. hahaha... kaya komentar yg lain ceritnya jadi lucu bukannya ngeri :D, trus mending sakit gigit apa sakit hati ya sob?

    BalasHapus