Assalamualaikum...
Setelah berdoa, mulai
jalan menanjak, nyanyi nyanyi dan ngobrol di sepanjang perjalanan, hidung
mengembang dan mengepis hand in hand dengan paru paru yang aktif tarik dan
buang, setelah meniti tangga bertepi tebing di sebelah kanan dan berdasar sawah
sawah, hutan, perumahan, dan jejalanan yang terlihat mini, setelah peluh
berjuntai juntai, akhirnya sampai juga kita pada sebuah bukit kecil akan di
puncak Gunung Andong. Cerita sebelumnya bisa dibaca di SINI
9.28 AM
Di dalamnya, terdapat satu
ruangan dengan tikar tikar, kata Yanta. Jadi, bila kamu ingin mendaki tetapi
tidak ingin mendirikan tenda, kamu bisa memanfaatkan tempat inap sederhana nan
gratis ini. Dan keesokan harinya pasti akan disuguhi panorama alam yang tak
terbeli. Hidup menghidangkan sajian alam yang tak terbayang bila kita mau
menyelusurinya. Mendaki gunung Andong membuat saya jadi serupa pujangga.
Bahkan ada sejenis tungku
terbuat dari tanah yang dilubangi sedemikian rupa. Keren.
Dan, lagi. Kita berempat
mengabadikan moment pertama kalinya mendaki gunung, bagi saya at least.
Udaranya lumayan dingin, tetapi karena kita membakar kalori dan menghasilkan
panas tubuh, kita tidak merasa dingin yang teramat sangat.
Oh ya, di sana kita juga
berjumpa dengan dua bule asal Brazil, dia berteriak pada temannya yang
sepertinya masih on the way di bawah..
“Bagaimana di
sanaaaaah???”
“Hiduuuuuuuuuuuuuuuup!!”
“Di sini sakit
sekaliiiiiiiiiiiiiii”
Yang setelah saya fikir
fikir, kemungkinan besar maksutnya begindang.
“Gimana di sanah???”
“Cemunguuuuuuuuuuuuuuth
eaaaaa!!”
“Sini capeeeeeeeek
beuuuuuth!!!”
Dan beberapa kali kita
saling menyapa. Kita mau foto bersama dengannya, tapi malu.
Yasyudah.
Lalu, kemanakah kaki ini
akan melangkah selanjutnyaaaa????
Let’s see.
Ini yang Yanta bilang
gunung Andong menyimpan geger sapi. You know geger? Punggung. Bentuknya bila
dilihat dari puncak, sisi terkiri itu, maka lengkungan eksotis itu akan
terlihat seperti punggung sapi.
Sejujurnya, saat kita
sampai di tempat inap itu kita tidak tahu kalau puncaknya adalah penghabisan
lengkungan raksasa itu. Kita hanya naik , naik, dan naik.
“Yanta, puncaknya itu?”
“Bukan..”
Naik lagi..
“Yanta, itu puncaknya??”
“Bukan, masih ketutupan
lereng yang ini..”
“Yanta, puncaknya ini??”
“BUKAAAAAAN, masih
nantiiiiiiiiiiiiiii!!!!”
“Yanta,”
“Bukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!!!”
Lalu kita menyanyi menuju
puncak gemilang cahaya dipadu padankan dengan lalala yeyeye. Luarrrr binasa...
Saat kita melangkahkan
kaki dari situ pun kita tahunya puncak itu adalah penghabisan dari tanjakan di
sebelah kanan. Karena sisanya masih tertutup kabut tebal. Dan kita mulai
perjalanan, lagi...
“Pucuk! Pucuk! Pucuk!!”
9.41 AM
Sampai sudah kita ke
puncak pangkal dari gunung Andong.
Lelah sekali, tetapi
semua rasa lelah, kaki mau copot, gerah campur dingin, semuanya terkalahkan
dengan rasa excited.
Ya. Sepanjang perjalanan
kita mengobrol hal yang ringan. Lalu menyetel MP3 sebentar untuk meletupkan
semangat kita. Mengingat semua sikap bersumber dari otak, maka kita terus
menyuplai semangat.
“Ayo, cemunguuuuth
eaaaaa!!!”
“Kita pasti BISYAAAA
Angga, Agam, Yantaaa!!”
“Ibarat skripsi, ini
sedang revisi pertamaaaaah!!”
Dan semangat teredarkan
ke seluruh sel tubuh, kaki, tangan, pundak, semuanya. Dan selangkah demi
selangkah....
Kumpulan langkah langkah...
Dan sejauh ini kita
sampai di ambang ini..
“Yanta, ini puncaknya
kan??”
“Bukan, puncaknya di
sana, masih tertutup kabut. Nggak keliatan.”
Dia menunjuk ke arah
gumpalan kabut dengan pangkal jalan setapak tak berujung dengan bertepikan tebing
yang kemiringannya sadis. Hanya saja karena waktu itu sangat tertutup kabut
tebal, kita tidak bisa melihat apa yang ada di kanan kiri kita. Apakah ada
naganya? Apakah istana Nyi Roro Kidul? Atau ada tujuh bidadari mencari
Selendang yang disembunyikan Joko Tarub? Kita tak tahu menahu soal itu.
Lihat saja kalau tidak
percaya.
“Ah, amu pasti
bercanda....” Saya menelan ludah.
Melihat turunan agak
curam yang hanya selebar sekitar 100 sentimeter tebing menganga di kanan dan
kiri yang dalamnya tidak bisa dikatakan dengan susunan angka.
Setelah meyakinkan diri
sendiri, pikir kita sejauh ini kita telah naik tanjakan curam sampai merangkak
rangkak, menyelusuri titian ratusan tangga bertepikan tebing tanpa pembatas,
dan pucuk berada di ambang mata. Tinggal meniti punggung raksasa tanpa pembatas
ini, kita akan sampai.
Jadi ingat apa kata Merry
Riana. Biasanya, bila memulai suatu usaha, bila sudah ada di titik tertatih
tatih paling nadir, itu tandanya keberhasilan sudah ada di depan mata. Lalu dia
menganalogikan seperti orang hamil. Semakin lama semakin berat, tidur tak enak,
dan akan tiba dimana si Ibu akan merasakan sakit yang teramat sangat, mengejan
sedemikian rupa, sakit yang paling sakit selama 9 bulan mengandung. Begitu proses
itu terlewati, bidadari membuka mata siap meramaikan kancah di dunia yang fana
ini. Mengingat lusa saya juga akan melewati masa itu mengingat saya ini kan
wanita, sekarang pun pasti bisya! Bisya bisya!!!
9.56 AM
Nah, selangkah lagi
menuju ke puncak, ini adalah titik nadir kita. Bila ingin bisa mencapai puncak,
kita harus melewatinya.
“Ayoooo, kita pasti
BISYA.”
“Kalau takut, ngesot
saja.” Yanta memberi komando. Serta merta kita menuruti komando Yanta.
“Siap komandan!” Kita
merendahkan tubuh sedemikian rupa, duduk sedemikian hingga, dan tidak hanya
kaki yang ternyata bisa untuk berjalan, tumpuan penuh lemak ini juga bisa untuk
berjalan. Serupa tidak ada rotan akar pun jadi..
Bismillah mengiringi
setiap langkah saya, tarikan nafas saya, dentuman jantung saya. Karena ini
adalah musim penghujan, jalanan menjadi licin, dan bila tidak hati hati,
waduuuuh...jangan. jalan masih panjang. Masih buayaaaaak mimpi yang ingin saya
kecap.
Hanya sajaaa, saat kita
mengawali titian punggung ini, kita tidak bisa melihat apa yang ada di samping
kanan, kiri atau pun ujung titian ini. Nah, begitu sampai di tengah, Alloh
menyibakkan ‘kertas kadonya’.
Menghirup oksigen dan
menghembuskan karbon dioksida dari 21 tahun yang lalu hingga hari ini, kali
pertama itu saya melihat pemandangan yang sangat sangat sangat sangat sangat
menakjubkan. Bahkan, menakjubkan pun tidak bisa mencakup kesan yang
terbayangkan.
It was beyond
imagination!!!!!! Bahkan, saat meniti jembatan alam itu, saya benar benar tidak
tahu bahwa sebelah kanan saya seperti ini.
Eits!!
-to be continued-
Wassalam
masih senang ngeliat liat fotonya. asli, keren keren!
BalasHapusmakasih kukuh, terus pantengin sampe tamat yaaaa:D hehehe
Hapuswaaaaah pemandangannya *speechless*
BalasHapuskalo saya yg ngedaki di tengah2 kayaknya udah tepar hueueue
iya aku juga waktu di tkp sangat sangat speeechless!!!
Hapusah, nggak mungkin, aku bisa Alif juga pasti bisa. BISYA BISYA!!!
summppahhh gw makin penasaran, masalah gw ngikutin dri awal crta elu, itu klo gw ad disana, mungkin gw bakal benar2 ngesot, gw salut sama lu, cewek sndrian hebat....!!!
BalasHapushihihi, makanya pantengin terus yak Va:D makasih Va, kamu juga the best!!!menang LBI!! hahaha
Hapusbehh fotonya ajib ajib bgt
BalasHapuskayak di bromo. ada jalan yg kecil juga. dilarang dilalui, tapi aku ikutan jalan disana. heheh
BalasHapuswow keyen, kapan2 ajakin dong ka' masak sendirian kesana sih.. enggak sama aku wkwkkw
BalasHapuspunuk sapi tuh lebih mirip jika dibandingin geger sapi... you know punuk? ah, kalo enggak tau berarti gua yg terlalu tau ya
Eh, itu sampingnya jurang bukan sihh...
BalasHapusBaca bab 2 , makin excited nih,, mau banget bisa gitu
ayoo, penget liat puncaknya nihhh
Arggt, ngaak sabar
gimana sensasinya menuju puncak sambil ngesot mey?? :D
BalasHapusSepertinya disini ada kombinasi dari Akademi Fantasi Indosiar dengan Dahsyat dan Teh Pucuk... :D
Ini ketinggian kira2 berapa mdpl ya?
BalasHapus